JAKARTA, KOMPAS – Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi seyogianya mendasarkan diri pada putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023 yang sudah dibacakan pada Rabu (29/11/2023) lalu. Dalam putusan itu, MK menyatakan, perubahan ketentuan, baik mengenai masa jabatan maupun syarat usia hakim tidak berlaku untuk hakim yang tengah menjabat. Aturan baru itu diberlakukan untuk hakim yang diangkat berdasarkan undang-undang yang baru.

”Putusan 81 tersebut sudah berlaku mengikat sejak diucapkan kemarin. Sehingga menjadi dasar dalam pembentukan undang-undang, termasuk revisi undang-undang,” kata Enny.

Dalam pertimbangan putusan 81, MK menyatakan perubahan undang-undang tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Ini juga sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memberikan jaminan atau perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak perubahan sebuah ketentuan perundangan.

Seperti diketahui, dalam draf revisi UU MK yang sudah disetujui fraksi-fraksi di DPR, ada ketentuan peralihan yang diatur di Pasal 87. Di dalam pasal itu disebutkan bahwa hakim konstitusi yang telah menjabat 5 tahun dan kurang dari 10 tahun, dapat melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun jika disetujui oleh lembaga pengusul. Sementara bagi hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 10 tahun, melanjutkan masa jabatannya hingga usia 70 tahun atau maksimal menjabat selama 15 tahun.

Sejumlah bukti dari salah satu pemohon, baru diajukan dalam persidangan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum pileg di Mahkamah Konstitusi pada Kamis (11/7/2019).

INGKI RINALDI

Sejumlah bukti dari salah satu pemohon, baru diajukan dalam persidangan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum pileg di Mahkamah Konstitusi pada Kamis (11/7/2019).

Dengan adanya ketentuan peralihan itu, ada tiga hakim konstitusi yang nasibnya belum jelas dan sangat bergantung pada keputusan lembaga pengusul. Mereka adalah Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih yang nasibnya di tangan Presiden, serta Suhartoyo yang keberlanjutannya sebagai hakim MK ditentukan oleh Mahkamah Agung.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menilai, ketentuan peralihan tersebut melanggar asas fairness atau keadilan.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menilai, ketentuan peralihan tersebut melanggar asas fairness atau keadilan. Pembentuk undang-undang tidak bisa memberlakukan ketentuan baru itu langsung terhadap hakim-hakim lama yang diangkat berdasarkan peraturan yang lama.

”Ketika jabatan sudah berjalan berdasarkan aturan yang lama, seharusnya peraturan yang baru itu menghormati peraturan yang lama, dengan tidak langsung menetapkan bahwa peraturan yang lama itu dikoreksi. Apalagi soal jabatan. Jadi, ini tidak fair. Artinya menjadi peraturan yang berlaku surut,” ujar Aan.

Ia menilai, ketentuan baru terkait mekanisme konfirmasi itu sebagai salah satu bentuk pemberhentian hakim konstitusi. Padahal, di dalam ketentuan yang lama maupun yang baru, pemberhentian hakim konstitusi hanya bisa dilakukan apabila yang bersangkutan mengundurkan diri, masa jabatannya habis, atau meninggal.

Akan tetapi, apabila ketentuan konfirmasi itu tetap diberlakukan, artinya hukum yang ada sangat represif.

”Merampas hak orang. Tidak ada fairness di situ,” katanya.

https://cdn-assetd.kompas.id/NhavkOTXlYdQJVk4GkJu18ZZfsI=/1024x768/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F07%2F12%2F290044cc-609f-4b92-82c5-bb3555944c6a_jpg.jpg

Majelis hakim konstitusi, Jumat (12/7/2019) memimpin jalannya persidangan sengketa Perselisiham Hasil Pemilihan Umum pada pemilihan legislatif di Mahkamah Konstitusi. Hari itu merupakan jadwal persidangan terakhir dengan agenda pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan dari pemohon.

Mengikuti kondisi politik

Dari sisi konfigurasi politik, revisi keempat UU MK dilakukan di tengah situasi yang tidak terlepas dari gonjang-ganjing pascaputusan 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi dasar pencalonan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo, menjadi calon wakil presiden. Selain itu, saat ini juga tengah masa menjelang Pemilu 2024 di mana MK akan bertindak sebagai pemutus akhir sengketa hasil pemilu. Apabila konfigurasi politik tersebut berpengaruh pada pembentukan hukum, hukum yang dibentuk akan mengikuti kondisi politik yang ada.

”Jadi, hukum itu akhirnya mengikuti keinginan politik. Padahal, hukum itu tujuannya untuk keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Itu tidak tercapai. Hukum justru akan menjadi alat rekayasa agar kepentingan politiknya tercapai. Nah, ini yang kemudian banyak orang mengindikasikan ada hakim yang disasar untuk bisa diberhentikan melalui mekanisme konfirmasi tadi,” katanya.

Mekanisme konfirmasi sebagai jalan untuk memberhentikan hakim konstitusi sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh DPR saat memberhentikan Aswanto yang kemudian digantikan oleh Guntur Hamzah. Aswanto diberhentikan karena dinilai tidak mempertahankan produk-produk hukum DPR saat menjadi hakim MK.

Terkait dengan diabaikannya putusan 81 oleh DPR, Aan rupanya tidak terkejut dengan kenyataan ini. Sebab, DPR menghadapi putusan MK dengan tebang pilih. ”Ketika putusan MK sangat menguntungkan, dipakai. Tapi kalau keputusan MK tidak menguntungkan kepentingan politiknya, itu tidak dipakai. Inilah ciri-ciri negara fasisme,” tegasnya. Putusan yang langsung diterapkan dicontohkan oleh Aan antara lain Putusan MK Nomor 90 yang memberi jalan bagi pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo.

 
 
Editor:
MADINA NUSRAT