JAKARTA, KOMPAS — Desakan agar Komisi Pemilihan Umum memberikan penjelasan kepada publik mengenai dugaan kebocoran data pemilih muncul dari sejumlah pihak. Apalagi sudah ada hasil investigasi yang dilakukan Badan Siber dan Sandi Negara serta permintaan klarifikasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Tanpa penjelasan dan pertanggungjawaban mengenai dugaan tersebut, kepercayaan publik bisa tergerus tidak hanya terhadap institusi penyelenggara, tetapi juga penyelenggaraan pemilu.
”KPU harus bisa menjelaskan ke publik dan juga ada investigasi yang detail agar hal ini tidak menjadi liar dan membuat masyarakat mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi,” kata Dave saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (3/12/2023).
KOMPAS/DHANANG DAVID
Dave Laksono
Selain itu, tambah Dave, semua kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan keamanan data dan mengawal jaringan data juga perlu berkoordinasi untuk mengatasi dugaan kebocoran data KPU. Sejumlah lembaga dimaksud adalah KPU sebagai pengendali data, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Polri. Koordinasi antarlembaga ini dinilai penting karena berperan utama dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu.
Hal yang sama sebelumnya juga diungkapkan pimpinan dan sejumlah anggota Komisi I DPR pada rapat kerja dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Rabu (29/11) lalu. Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Kharis Almasyhari mengingatkan bahwa KPU sebagai pengendali data semestinya memperhatikan ketentuan yang ada di Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
Dalam UU tersebut, pengendali data wajib mengumumkan kepada masyarakat jika terjadi kegagalan pelindungan data pribadi yang dikelola. Apalagi, KPU juga sudah mendapatkan surat permintaan klarifikasi mengenai dugaan tersebut dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Dugaan kebocoran data KPU juga sudah diinvestigasi oleh BSSN. Laporan hasil investigasi dan forensik digital tahap awal juga sudah diserahkan ke Direktorat Tindak Pidana Siber Polri dan KPU pada Sabtu (2/12) lalu.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana di Gedung Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang baru di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat, Senin (7/3/2022).
Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, sepakat, perlu ada penanganan serta penjelasan dari KPU mengenai dugaan kebocoran data tersbut. Selain menyangkut keamanan dan kepentingan pelindungan data pribadi warga, kasus tersebut juga sangat memengaruhi kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024.
”Kalau tidak segera ditangani dengan penjelasan yang jelas dan terukur oleh KPU, sejauh mana KPU sudah mengambil tindakan untuk memastikan keamanan data pemilih Pemilu 2024 itu bisa membawa ekses ketidakyakinan dan keraguan publik terhadap profesionalitas dan kredibilitas penyelenggaraan pemilu,” kata anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.
Titi menambahkan, sistem teknologi informasi dalam pemilu memang merupakan alat bantu atau pendukung. Akan tetapi, ketidakmampuan mengelolanya juga berarti bahwa KPU tidak bisa meyakinkan publik bahwa lembaga tersebut mampu bekerja secara optimal dalam menangani dan mengendalikannya. Dengan begitu, dugaan kebocoran data pemilih yang terjadi akan terus dihubungkan dengan potensi kebocoran data pemilu dalam lini lain, tidak terkecuali hasil pemilu.
Menurut dia, KPU semestinya berkaca dari pengalaman Pemilu 2019 ketika sistem informasi penghitungan (situng) suara KPU performanya tidak sesuai dengan perencanaan. Hal tersebut mengakibatkan munculnya polemik dan kontroversi. Bahkan, tidak optimalnya kerja situng juga dihubungkan dengan dugaan manipulasi hasil pemilu yang berujung pada materi perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: DPR Desak KPU Pertanggungjawabkan Kebocoran Data Pemilih
DOKUMENTASI KPUD NTB
Petugas KPU Nusa Tenggara Barat, Jumat (19/4/2019), di Mataram mulai mencatatkan surat suara ke aplikasi sistem informasi penghitungan (situng).
”Saat itu, mayoritas materi sengketa hasil pemilu di MK menyoroti soal dugaan rekayasa hasil yang dihubungkan dengan teknologi Situng KPU yang under performance. Nah, ini yang KPU harus pahami bahwa kebocoran data bukan sekadar soal teknologi sebagai alat bantu, tetapi juga sangat berkaitan dengan kredibilitas KPU selaku penyelenggara pemilu,” kata Titi.
Ia menambahkan, jika masyarakat membaca ketidakseriusan KPU menangani isu kebocoran data ini, di saat yang sama potensi munculnya keraguan publik terhadap kemampuan KPU menyelenggarakan proses dan tahapan pemilu lainnya juga akan meningkat. Di tengah konteks itu, hasil pemilu pun rentan untuk dipolitisasi sebagai produk dari proses yang tidak kredibel atau bermasalah. Akibatnya, legitimasi hasil pemilu pun bakal diragukan, hal yang berbahaya bagi demokrasi Indonnesia.
Sementara itu, anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, tidak menjawab saat ditanya tanggapan mengenai desakan dari DPR dan masyarakat sipil untuk memberikan penjelasan kepada publik ihwal dugaan kebocoran data DPT. Ia hanya mengatakan, terkait dengan hal itu, KPU masih memprosesnya. ”Masih on process,” katanya.