Kecelakaan Jumat lalu memunculkan pertanyaan keamanan kereta cepat Whoosh yang bisa melaju sampai 350 kilometer per jam.

Oleh MOCH S HENDROWIJONO

Tabrakan maut yang melibatkan dua rangkaian kereta api, yakni KA Turangga dan Commuterline Bandung Raya, di Bandung, Jawa Barat, dan menewaskan empat orang serta menyebabkan puluhan luka-luka, Jumat (5/1/2024), sangat tragis dan mengejutkan.

”Adu banteng” dua kereta di petak jalan Cicalengka-Haurpugur, Kabupaten Bandung, itu mirip tragedi tabrakan kereta api di Bintaro, Pondok Betung, 19 Oktober 1987. Saat itu tabrakan memakan korban jiwa 156 orang dan 300 orang lainnya luka-luka.

 

Mengejutkan dan sangat mengecewakan karena sudah cukup lama perjalanan kereta api aman-aman saja. Selain itu, layanan kereta api sebenarnya termasuk moda transportasi yang paling aman jika dibandingkan dengan alat transportasi darat dan laut lain, karena kereta api memiliki aturan keselamatan yang berlapis-lapis.

Penggandaan komponen prosedur keselamatan—sebagaimana juga diterapkan dalam pengoperasian pesawat terbang—diberlakukan pada kereta api untuk meningkatkan keandalannya.

Kecelakaan pada kereta api berbeda dengan kecelakaan penerbangan yang variannya sangat banyak karena pesawat terbang bisa bermanuver sebelum kecelakaan. Dalam hal ini, kecelakaan kereta api setidaknya tidak meninggalkan jejak terlalu banyak, tidak bisa segera berhenti begitu rem diinjak, atau berkelit seperti halnya mobil pribadi.

Adapun panjang pengeremannya berbanding lurus dengan kecepatannya. Kereta api berkecepatan 70 kilometer per jam, misalnya, baru bisa berhenti sekitar 500 meter sejak rem diinjak. Semakin berat massanya, semakin panjang pula jarak pengeremannya. Masinis atau siapa pun tidak bisa membelokkan kereta keluar dari relnya. Hal ini berbeda dengan pesawat, bus, kapal, atau alat transportasi lainnya.

Semua perjalanan kereta api diatur oleh Grafik Perjalanan KA (Gapeka), termasuk di stasiun mana suatu kereta harus berhenti untuk menunggu kereta lain lewat dari arah lawannya; atau dari belakangnya.

Ada aturan baku, yakni untuk menghindari tabrakan, dalam satu petak jalan tidak boleh ada dua kereta. Oleh karena itu, pemimpin perjalanan kereta api (PPKA) sebuah stasiun tidak boleh memberangkatkan kereta api sebelum ia mendapatkan kode aman dari PPKA dari stasiun di depannya.

Prinsip lain di perkeretaapian adalah kereta api yang lebih mahal tarifnya—termasuk kereta api jarak jauh—mempunyai hak lebih tinggi untuk memanfaatkan petak dibandingkan dengan kereta api yang kastanya lebih rendah, seperti KA Lokal Bandung Raya atau kereta api barang yang terpaksa harus mengalah.

 

Panah aman yang sama

PPKA juga wajib melaporkan setiap pergerakan kereta api di wilayahnya kepada pengendali perjalanan kereta api terpusat (PPKP).

Antara Cicalengka dan Haurpugur, PT Kereta Api Indonesia masih menggunakan jalur tunggal (single track), sedangkan Haurpugur ke Bandung, ke barat sampai Padalarang, sudah menggunakan jalur ganda (double track).

Adanya sistem penguncian elektrik (interlocking) yang diterapkan pada operasionalisasi kereta api membuat PPKA tidak bisa mengarahkan rel dan membuka sinyal keluar ke stasiun di depannya, tanpa dibukakan kuncinya oleh PPKA di stasiun di depannya.

Sayangnya, untuk berkomunikasi dengan Stasiun Cicalengka, Stasiun Haurpugur, atau sebaliknya, masih digunakan komunikasi manual.

Sementara ke arah Rancaekek, Bandung, hingga Jakarta, sudah digunakan sinyal mekanik. Komunikasi verbal antar-PPKA tadi dilakukan untuk memastikan keamanan petak jalan, selain juga ada tanda berupa panah yang menunjukkan status petak di depan aman atau tidak.

Pada pukul 05.46 di hari kejadian itu, Stasiun Cicalengka mendapat pemberitahuan dari PPKP bahwa persilangan KA Turangga dan KA Bandung Raya ditetapkan akan dilakukan di Stasiun Haurpugur.

Pada pukul 05.49, PPKA Stasiun Cicalengka meminta pernyataan konfirmasi dari Stasiun Haurpugur via telepon antarstasiun bahwa petak aman. Namun, permintaan tersebut tidak direspons/tidak diangkat.

Akan tetapi, menurut informasi, ada tanda panah yang menunjukkan blok/petak antara Cicalengka dan Haurpugur aman. KA Turangga yang tiba dari arah Stasiun Nagrek pun dibiarkan melintasi Cicalengka menuju Haurpugur.

PPKA Haurpugur juga melihat hal yang sama, arah panah blok ke Cicalengka aman, tetapi belum diketahui apakah PPKP juga sudah memberi tahu Stasiun Haurpugur tentang persilangan dua kereta di stasiun mereka.

Maka, dia pun memberangkatkan KA Bandung Raya melaju ke Cicalengka pada pukul 05.56 dan kemudian terjadilah tabrakan dua kereta tersebut pada pukul 06.03 WIB.

Lokasi tabrakan sebenarnya merupakan kawasan terbuka tanpa hambatan, dengan hamparan sawah luas, persis melewati sebuah tikungan dari arah Haurpugur. Secara normal, pagi yang cerah membuat jarak pandang kedua masinis sebenarnya juga cukup bagus.

Bagaimana Whoosh?

Melihat dua gerbong terdepan dari kereta yang bertabrakan sampai menaiki lokomotif kereta lawan, kecepatan kereta api tersebut bisa jadi di atas 60 kilometer per jam pada saat tabrakan kereta terjadi, sesudah masinis dua kereta itu masing-masing menarik rem mereka.

Hal yang hampir sama persis terjadi tahun 1987 pada tragedi Bintaro. Kedua kereta waktu itu sama-sama kereta api lokal, hanya saja jumlah penumpang jauh berbeda, masing-masing di atas 1.000-2.000 orang. Pada tabrakan Jumat lalu, KA Turangga mengangkut 287 orang dan KA Lokal Bandung Raya 191 orang.

Sebagai catatan bisa disebutkan, sistem pengamanan yang redundant memang menyelamatkan, tetapi acap membuat pelaksananya jenuh. Apalagi, penyingkatan prosedur standar operasional (SOP)—yang sejatinya sangat dilarang—acap dilakukan karena ”biasanya juga tidak apa-apa”, terbukti memicu kecelakaan fatal dengan korban jiwa.

Mungkin pelatihan ulang rutin perlu dilakukan secara berkala kepada awak stasiun. Demikian pula rotasi petugas untuk menghindari kejenuhan, di samping juga pembaruan sistem keselamatan interlocking. Langkah-langkah tersebut penting untuk dilakukan meskipun jalur Bandung-Cicalengka hingga Kroya sebenarnya bukanlah jalur padat seperti pantura atau Jabodetabek.

Kecelakaan Jumat lalu membuat sebagian orang juga mempertanyakan keamanan kereta cepat Whoosh yang bisa melaju sampai 350 kilometer per jam.

Apa jadinya kalau tabrakan? Mengenai hal ini, penulis meyakinkan bahwa kemungkinan ini kecil terjadi. Alasannya, selain karena Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) beroperasi di jalur ganda, prosedur keamanannya juga ditunjang oleh sistem seluler GSM pada frekuensi 900 MHz selebar 4 MHz.

Sistem seluler ini bukan untuk komunikasi antarponsel, melainkan mengawal keamanan secara digital dari kemungkinan ”adu banteng” ataupun sundulan, dengan kontrol terkendali berkelanjutan di sepanjang perjalanan. Akibat sampingannya, tak boleh ada penggunaan komunikasi pada spektrum frekuensi 900 MHz di 40 kilometer kiri-kanan jalur.

Komunikasi ”liar” dikhawatirkan akan mengintervensi gelombang radio yang digunakan dan mengganggu sistem kendali yang bisa menyebabkan kecelakaan.

Moch S HendrowijonoWartawan Senior dan Ketua Masyarakat Perkeretaapian Indonesia (1993-2012)