Kecelakaan kereta api berulang harus disudahi. Pemerintah perlu membuat kebijakan transportasi yang memihak kereta api.

Oleh REDAKSI

Sejak terbit perdana, harian Kompas edisi 7 Juli 1965 mulai melaporkan kecelakaan kereta api. Berita itu melaporkan sidang pengadilan subversif di Purwokerto, Jawa Tengah, 30 Juni 1965.

Dalam sidang, jaksa menuntut tiga kondektur karena memaksakan kereta api (KA) menarik 31 gerbong barang dengan berat 538 ton. Padahal, daya tarik lokomotifnya 225 ton. Akibatnya, di rel menurun, KA tersebut bertabrakan dengan KA ekspres malam. Lima orang meninggal.

Sejak itu, ratusan jenis kecelakaan melibatkan KA dilaporkan, mulai dari tabrakan antar-KA, kendaraan bermotor tertabrak KA, warga tertabrak KA, hingga KA anjlok.

Pemerintah memberi perhatian, misalnya, ditunjukkan Menteri Perhubungan (Menhub) Frans Seda, seperti dikutip pada edisi 30 September 1968. Menhub melaporkan hasil penyelidikan tabrakan KA di Depok antara KA listrik jurusan Jakarta dan KA cepat dari arah Bogor pada 20 September 1968. Sebanyak 43 orang meninggal. Menhub menjelaskan, kecelakaan terjadi akibat kelalaian petugas.

Kecelakaan dengan korban terbanyak terjadi 19 Oktober 1987 pukul 07.10. KA dari Rangkasbitung bertabrakan dengan KA Patas arah Merak di Bintaro, Jakarta Selatan. Kecelakaan tersebut mendapat perhatian khusus Presiden Soeharto dengan mengunjungi para korban di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada malam harinya. Sebanyak 101 orang meninggal hari itu, ditambah korban meninggal hari-hari berikutnya. Kecelakaan terjadi karena kurang ditaatinya aturan kerja yang berlaku di PJKA.

Kecelakaan serupa ”Tragedi Bintaro 1987” terjadi pada Jumat (5/1/2024) pukul 06.03. KA Turangga jurusan Surabaya Gubeng-Bandung bertabrakan dengan KA Commuterline Bandung Raya jurusan Padalarang-Cicalengka di Kilometer 181+700 di Haurpugur, Cicalengka, Jawa Barat. Empat orang meninggal.

Sekali lagi, faktor kelalaian manusia diduga menjadi salah satu pemicunya. Komite Nasional Keselamatan Transportasi meminta waktu tiga bulan untuk menginvestigasi guna memastikan penyebab kecelakaan.

Sembari menunggu hasil investigasi, PT Kereta Api Indonesia (KAI) memperbaiki prosedur pengamanan, yaitu menggunakan telepon selain pengaturan sinyal KA. Kita menggarisbawahi masukan pemerhati transportasi, termasuk arahan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, agar dilakukan pembenahan untuk mencegah kejadian serupa.

Kecelakaan KA Turangga dan KA Commuterline Bandung Raya terjadi saat pemerintah membanggakan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Dengan Whoosh, Indonesia memasuki babak baru modernisasi KA.

Kita berharap pemerintah menargetkan kecelakaan KA Turangga dan KA Commuterline Bandung Raya menjadi kecelakaan KA terakhir. Pemerintah perlu melanjutkan modernisasi teknologi KA dan jalurnya, juga peningkatan kapasitas sumber daya manusia PT KAI.