Tingginya frekuensi bencana di Indonesia membuat seluruh wilayah di negeri ini tidak luput dari risiko bencana alam.

Oleh YOESEP BUDIANTO

Fenomena perubahan iklim kian memberikan tekanan yang berat terhadap degradasi lingkunganBanjir, tanah longsor, kebakaran, kelangkaan sumber daya air, dan kegagalan panen karena kekeringan merupakan bentuk ancaman anomali iklim yang sering terjadi akhir-akhir ini.

Tingginya frekuensi bencana di Indonesia membuat seluruh wilayah di negeri ini tidak luput dari risiko bencana alam. Risiko setiap individu berada di level mengkhawatirkan karena bencana alam dapat terjadi setiap saat. Dampak perubahan iklim ini kian nyata dirasakan masyarakat Indonesia.

Berdasarkan jajak pendapat Kompas pada 18-20 Desember 2023, mayoritas responden (88,4 persen) meyakini bahwa dampak perubahan iklim pada tahun 2023 jauh lebih terasa dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Responden menyatakan, dampak paling signifikan yang dirasakan adalah iklim dan musim menjadi makin tidak menentu.

Anomali iklim dan musim berimbas pada munculnya banyak kejadian cuaca ekstrem yang membahayakan. Sepanjang tahun 2023 terjadi 4.938 bencana alam di Indonesia. Ada tiga bencana yang paling mematikan di Indonesia, yaitu bencana kebakaran hutan dan lahan sebanyak 1.802 kejadian, banjir 1.168 kejadian, serta cuaca ekstrem 1.155 kejadian.

Bencana tersebut mengakibatkan sedikitnya 265 orang meninggal, 33 orang dinyatakan hilang, dan 5.783 orang mengalami luka-luka karena terdampak bencana. Selain itu, total ada sekitar 8,85 juta jiwa yang harus mengungsi karena tempat tinggalnya rusak.

Salah satu yang paling dirasakan adalah cuaca panas ekstrem di sejumlah kota di Indonesia pada September 2023. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat suhu harian bahkan mencapai 38 derajat celsius. Dampaknya tidak hanya cuaca terasa lebih panas, tetapi juga berdampak pada tubuh yang lebih cepat lelah dan dehidrasi.

Santi Wulandari (46), dokter salah satu rumah sakit swasta di Jakarta Pusat, menyebut udara terasa jauh lebih panas dibandingkan dengan musim kemarau pada tahun-tahun sebelumnya. Debu dan polusi juga lebih pekat sehingga menyulitkan pernapasan. Santi yang setiap hari melakukan perjalanan selama hampir dua jam dari Tangerang Selatan ke Jakarta Pusat menggunakan transportasi umum dan ojek daring merasakan dampak buruk dari fenomena alam ini.

”Cuaca panas memang terasa jauh lebih menyengat. Tubuh terasa lebih cepat lelah, kepala pusing, dan tidak nyaman saat bernapas. Sampai akhirnya asma saya kambuh karena tubuh dalam kondisi drop karena cuaca panas,” tutur Santi, Minggu (7/1/2024).

Tak hanya dirasakan oleh Santi, cuaca panas ekstrem juga dirasakan ribuan warga lain di sejumlah lokasi. BMKG menyatakan, cuaca panas ekstrem terjadi karena fase minim pertumbuhan awan hujan akibat semakin menguatnya El Nino serta posisi semu Matahari yang sedang bergerak ke sisi selatan Bumi.

https://cdn-assetd.kompas.id/vhtwEoMq34vdJsVGcnrakSw-LjU=/1024x2301/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F09%2F838048bd-4d1f-4833-8ae5-c15167e49220_png.png

Dampak perubahan iklim lain adalah kegagalan panen di sejumlah lumbung padi nasional karena kekeringan parah. Hasil analisis Litbang Kompas pada Oktober 2023 menunjukkan bahwa setiap kenaikan suhu udara sebesar 1 derajat celsius setahun akan menurunkan produksi padi sekitar 4.500 ton di Indonesia.

Analisis ini dilakukan melalui pemodelan regresi data panel untuk melihat sejumlah variabel yang berpengaruh pada produksi padi di Indonesia. Regresi mengombinasikan data runtut waktu empat tahunan sepanjang 2002-2022 dan cross section di 34 provinsi. Analisis ini menggunakan variabel-variabel yang memiliki pengaruh kuat terhadap produksi padi, termasuk suhu udara.

Fenomena kenaikan suhu yang diikuti kekeringan dan gagal panen dirasakan petani padi di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah; petani di Desa Purwosari, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan; dan petani di Desa Karangsetia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

”Tanahnya pecah-pecah dan sangat kering, seperti tidak ada air sama sekali. Dari bawah tidak ada air, dari atas tidak hujan sama sekali. Kami bingung dan hanya bisa menangis melihat lahan sawah seluas 1 hektar gagal panen,” ucap Misdiana (57), petani di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, saat ditemui di rumahnya, Selasa (3/10/2023).

Selain kekeringan, anomali iklim itu juga memicu bencana banjir di sejumlah daerah. Data bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 1-9 Januari 2024 mencatat terjadi 40 bencana. Sebanyak 25 bencana di antaranya ialah banjir. Salah satu bencana banjir terjadi di Desa Simangulampe, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Sabtu (2/12/2023). Bencana itu menelan 2 korban jiwa dan 10 orang lainnya masih hilang akibat terseret arus.

Outlook Indonesia 2024

BMKG mengeluarkan hasil analisis melalui ”Climate Outlook 2024” yang berisikan proyeksi kondisi cuaca dan iklim nasional sepanjang tahun 2024. Kajian tersebut menunjukkan bahwa secara umum akan terjadi gangguan iklim dari Samudra Pasifik, yaitu fase El Nino level lemah hingga moderat pada awal tahun. Anomali itu akan berlanjut hingga akhir tahun sebelum akhirnya masuk ke fase netral.

Meskipun El Nino diprediksi masih berlanjut tahun 2024, BMKG melihat ada peluang kecil munculnya anomali La Nina yang menyebabkan iklim lebih basah atau terjadi penambahan curah hujan. Selain La Nina, ada pula fenomena Indian Ocean Dipole pada level netral sepanjang tahun 2024.

Fase El Nino di level lemah hingga moderat berpengaruh pada jumlah curah hujan yang cenderung normal. Meskipun curah hujan bersifat normal, ada beberapa wilayah yang memiliki curah hujan di atas normal sehingga berisiko terjadi bencana hidrometeorologi. Wilayah tersebut tersebar di sisi selatan Pulau Sumatera, sisi barat Pulau Kalimantan, sisi tengah-utara Pulau Papua, dan sebagian kecil Pulau Jawa dan Sulawesi.

Sementara itu, wilayah yang memiliki curah hujan di bawah normal terkonsentrasi pada sisi utara dan timur Pulau Jawa, kepulauan Nusa Tenggara, sisi utara Pulau Sulawesi, dan selatan Pulau Papua. Rendahnya curah hujan berisiko menyebabkan kekeringan di berbagai wilayah Indonesia. Imbas paling besar adalah risiko kegagalan panen di lahan-lahan pertanian masyarakat.

Antisipasi yang perlu dilakukan adalah optimalisasi fungsi infrastruktur sumber daya air di wilayah urban dan rural. Infrastruktur tersebut meliputi sistem drainase, peresapan air, hingga penampungan air berupa waduk. Ancaman bencana hidrometeorologi senantiasa menanti di sejumlah lokasi di Indonesia. Perencanaan upaya mitigasi menjadi penting, apalagi BMKG telah memprediksi banyaknya anomali cuaca dan iklim yang akan terjadi sepanjang tahun 2024.

Lanskap global

Fenomena ini berlaku tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Tahun 2023 menjadi salah satu tahun paling mematikan karena masifnya dampak perubahan iklim. Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan, tahun 2023 memecahkan rekor iklim dengan suhu terpanas sepanjang 174 tahun pemantauan fluktuasi suhu Bumi.

Tak heran, dampak yang ditimbulkan sangatlah besar dan meninggalkan jejak kehancuran ruang hidup bagi jutaan orang. Panas ekstrem melanda banyak wilayah di dunia. Periode terpanas muncul pada pertengahan Juli 2023. Saat itu, suhu di Italia mencapai 48,2 derajat celsius, Tunisia 49 derajat celsius, Maroko 50,4 derajat celsius, dan Aljazair 49,2 derajat celsius.

Dampak lain dari panas ekstrem adalah kebakaran hutan. Salah satu contoh kebakaran yang masif terjadi di Kanada dengan luas area terdampak hingga 18,5 juta hektar.

Pemanasan global yang telah mencapai periode pendidihan menunjukkan bahwa kenaikan suhu akan terus berlanjut. Prof Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal WMO, menyebutkan bahwa gas rumah kaca, suhu global, dan kenaikan permukaan laut mencapai titik tertinggi.

Pemanasan global dan makin parahnya fenomena anomali iklim menuntut transformasi pengendalian dampak yang relevan dan radikal. Salah satu komponen penting untuk mengurangi dampak bencana adalah membangun sistem peringatan dini multibahaya yang efektif. Pengembangan dan penerapan strategi pengurangan risiko bencana perlu menjadi prioritas bagi semua daerah.

Oleh sebab itu, para pemangku kebijakan dari level pusat hingga daerah perlu meningkatkan kewaspadaan dan menerapkan early warning system yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Dengan demikian, ancaman bencana terhadap jiwa manusia dapat ditekan dan diantisipasi seoptimal mungkin. (LITBANG KOMPAS)