Seorang pejabat publik lebih tepat tidak berbicara di luar hal yang menjadi tugas pokok dan fungsinya.
Pernyataan Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menuai sorotan. Pidato mengenai pemimpin yang disampaikannya dalam Perayaan Natal Mabes Polri 2023 pada Kamis (11/1/2024) dinilai tendensius atau mengarah kepada kandidat presiden tertentu.
Pernyataan Kapolri yang menjadi sorotan publik adalah ketika dia menyinggung soal keberlanjutan atas pencapaian yang sudah dicapai saat ini. Menurut Listyo, prestasi ataupun capaian yang telah ditorehkan oleh pemimpin saat ini harus terus bisa dilanjutkan dan ditingkatkan. Dan, lanjut Listyo, siapa pun yang saat ini menjadi calon pemimpin merupakan para pemimpin terbaik yang saat ini ada.
Setelah kritik menghunjam akibat pernyataan Kapolri yang dianggap tidak netral tersebut, keesokan harinya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko buru-buru memberikan penjelasan. Menurut Trunoyudo, pesan Kapolri terkait dengan persatuan dan kesatuan dalam keberagaman.
Baca juga: Janji Netral dan Kode-kode dari Jokowi
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko
Demikian pula yang dimaksud dengan keberlanjutan adalah pembangunan di Indonesia yang selalu berkelanjutan dari satu pemimpin ke pemimpin lain, sejak presiden pertama RI hingga presiden saat ini. ”Estafet kepemimpinan tentu harus dilanjutkan siapa pun calon pemimpin baru dan apa pun program yang dibawanya,” kata Trunoyudo.
Meski demikian, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesian (PBHI) Julius Ibrani melihat pernyataan Kapolri tidak bisa disederhanakan seperti itu. Menurut Julius, secara normatif, netralitas Polri diatur secara tegas dan jelas serta bersifat imperatif atau memaksa dengan mewajibkan Polri bersikap netral dan dilarang berpolitik praktis.
”Itu berarti, dilarang untuk mengucapkan sesuatu, bersikap seperti apa pun bentuknya, apalagi bertindak baik mengarah maupun berupa dukungan. Dari situ saja sudah keras,” kata Julius, Senin (15/1/2024).
Oleh karena itu, lanjut Julius, ketika Kapolri memberikan pernyataan untuk memilih pemimpin tertentu, hal itu terasa sebagai usulan atau dorongan politik, khususnya Pemilu 2024. Kapolri juga dinilai tidak sensitif dengan penggunaan jargon atau slogan yang sudah digunakan capres-cawapres, seperti kata ”perubahan” atau ”keberlanjutan”.
Baca juga: Pelanggaran Netralitas ASN Kian Vulgar
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Julius Ibrani menyampaikan aspirasi di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (23/11/2022).
Padahal, di sisi lain, Polri tampak sangat sensitif terhadap salah satu calon legislator (caleg) dari sebuah partai politik yang menyampaikan dugaan pemasangan baliho oleh aparat kepolisian. Caleg tersebut kemudian dilaporkan ke kepolisian dan kasusnya kini sudah naik ke tahap penyidikan.
”Kenapa polisi tidak bisa sensitif terhadap dirinya sendiri terkait ucapan. Jangan seolah-olah Pak Kapolri tidak melihat situasi sekarang ini yang masyarakatnya sedang bersitegang,” kata Julius.
Pandangan berbeda diungkapkan anggota Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti. Menurut Poengky, pernyataan Kapolri itu mesti dilihat dalam satu kesatuan dalam Peringatan Natal Polri. Pesan tersebut adalah agar jajaran Polri menyukseskan pemilu damai supaya estafet kepemimpinan di Indonesia berlangsung dengan baik sehingga demokrasi akan tetap terjaga dan kesejahteraan rakyat akan terwujud.
”Tentu saja harus dimaknai sesuai konteksnya. Tidak bisa dipotong-potong dan ditafsirkan lain. Jadi out of context,” kata Poengky.
Meski demikian, Poengky memaklumi adanya kelompok masyarakat yang menjadi sensitif karena saat ini menjelang Pemilu 2024. Ia berharap publik lebih cermat dalam mengonsumsi informasi dan melihat konteksnya agar dapat memahaminya secara utuh.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo berpandangan, sensitivitas seseorang bisa beragam, semisal sensitivitas yang bersifat ideologis, sensitivitas terkait ekonomi, atau terkait keamanan. Maka, mereka yang memiliki kepentingan politik dalam Pemilu 2024 atau memiliki urgensi terhadap hajatan tersebut bisa jadi akan lebih sensitif.
Di sisi lain, dengan dunia yang semakin terbuka, beragam informasi dapat dinikmati publik tanpa bisa ditutupi. Dalam konteks ini, kritik terhadap pernyataan Kapolri oleh masyarakat merupakan hal yang wajar sebagaimana Polri juga berhak melakukan klarifikasi.
”Di tengah arus informasi yang seperti ini, pernyataan pejabat publik berpotensi dijadikan komoditas informasi baru. Karena itu, harus ada tata kelola informasi bagi pejabat itu sendiri atau kalau perlu tertulis jika memang dirasa itu riskan,” ujar Suko.
Baca juga: Masyarakat Sipil Gotong Royong Awasi Kecurangan Pemilu
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS
Suko Widodo
Meski demikian, Suko menggarisbawahi, kritik publik tersebut merupakan kontrol bagi pejabat publik. Selain itu, ibarat tidak ada asap jika tidak ada api, kritik muncul karena adanya prasangka atau persepsi tertentu terhadap Polri.
Oleh karena itu, Suko menyarankan, seorang pejabat publik lebih tepat tidak berbicara di luar hal yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Semisal, seorang rektor sebuah universitas seharusnya hanya berbicara mengenai hal akademis saja. Demikian pula Kapolri mestinya hanya berbicara mengenai keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana menjadi tugas dan wewenangnya.
Dengan demikian, tidak ada pihak yang kemudian menjadi baper atau bawa perasaan. ”Berpidatolah yang lugas dan jujur di tengah kesensian politik seperti terjadi sekarang ini,” kata Suko.
Lantas, siapa yang tidak sensitif dan siapa yang baper menurut Anda?