Para akademisi perlu menyadari identitasnya bukan sekadar seorang profesional, melainkan juga seorang penjaga peradaban.
HERYUNANTO
Ilustrasi
Kisruh problematika ekonomi-politik gelar guru besar memang patut mendapat sorotan. Para cendekia yang memangku gelar guru besar pada praktiknya ternyata tidak serta-merta berbanding lurus dengan identitasnya.
Seperti telah dibahas oleh Supriadi Rustad (Kompas, 28/11/2023) yang kemudian dibahas lebih jauh lagi oleh Masduki (Kompas, 22/12/2023), gelar guru besar belakangan ini hanya ”menghasilkan mudarat mendegradasi kualitas dan martabat perguruan tinggi”.
Seperti telah diobservasi oleh Masduki, masalah ini bisa dipicu oleh faktor kompleksitas dari jabatan yang terbuka terhadap celah-celah yang dapat dipelintir. Walau begitu, para akademisi perlu diingatkan juga untuk mawas diri terhadap bahaya ”di seberang sana”, alih-alih khawatir terhadap jurang penyalahgunaan gelar guru besar.
Artinya, seorang dosen yang bekerja dengan efektif sudah sepantasnya menunjukkan peningkatan kinerja. Memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi (PT) tak dapat ditawar. Bahkan ada PT yang memberi sanksi jika para dosennya ”malas”.
Pendek kata, kemajuan sebuah negara, bahkan dunia, bergantung pada kualitas para guru besar.
Penyalahgunaan gelar guru besar jangan dijadikan alasan untuk tak mengejar tuntutan di bidangnya. Lantas, bagaimana cara menghindari bandul yang dengan mudah terpelanting ke ekstrem yang satu dan yang lain? Solusinya tampak cukup sederhana. Tuntaskan saja tugas dan tanggung jawab sesuai dengan beban tuntutan yang diberikan.
Contoh umum, seorang dosen, apa pun jenjang jabatan akademiknya, harus mumpuni dalam melakukan pengajaran, publikasi ilmiah, dan pelayanan masyarakat sesuai bidangnya. Konsekuensinya, ia juga perlu membekali diri dengan kemampuan penunjang yang diperlukan guna mencetak lulusan berkualitas, menelurkan karya ilmiah yang memberi dampak dan dirasakan manfaat konkretnya oleh publik.
Kebalikan dari solusi sederhana tersebut adalah situasi yang termasuk dalam satu kategori dengan dua bentuk yang tampaknya berbeda.
Satu kategori yang dimaksud adalah melalaikan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan beban tuntutan yang diberikan. Termasuk dalam kategori ini adalah dua bentuk kelalaian. Pertama, tak melakukan pengajaran, publikasi, dan pelayanan masyarakat sama sekali. Kedua, melakukan pengajaran, publikasi, dan pelayanan dengan berbagai bentuk kecurangan.
Yang kerap kali menjadi musuh dalam selimut adalah bentuk kedua dari kelalaian seorang dosen. Jika seorang dosen tak pernah mengajar dalam ruang kelas, tidak melakukan publikasi, dan tidak pernah tampak batang hidungnya di masyarakat, ia akan dengan mudah dicopot jabatannya oleh PT bersangkutan.
Masalah yang lebih menggerogoti dunia akademisi adalah justru seorang dosen yang curang. Ia adalah seorang dosen yang menikmati segala manfaat yang dimungkinkan oleh jabatannya, tetapi tidak menjunjung integritas, baik secara akademik maupun moral.
Alhasil, sekalipun namanya tercantum sebagai penulis jurnal akademik internasional, misalnya, apa yang ditulisnya itu tidak menawarkan bobot akademik yang dinanti-nantikan dunia. Ia seolah menyelesaikan tanggung jawabnya, tetapi dengan curang. Misalnya, dengan memanfaatkan layanan publikasi jurnal berbayar.
Oleh sebab itu, secara internal, perlu ada perbaikan dalam diri para akademisi untuk menyadari peran dan tanggung jawabnya.
Dalam bukunya, Brothers, We are Not Professionals, John Piper, seorang teolog dari Amerika, menghardik para pendeta Kristen untuk tidak terjebak dalam mentalitas profesional. Yang ia maksud adalah bahwa seorang pendeta tidak terpanggil untuk menjadi seorang yang hanya menjalankan profesinya demi profesi itu sendiri.
Ia berkata bahwa profesionalisme jenis ini akan membunuh identitas esensial dari seorang pendeta yang menjalankan tugasnya demi kasihnya kepada Tuhan-nya. Sebab, tidak ada seorang pendeta yang mengasihi Tuhan secara profesional. ”Kasih” secara profesional itu bukan kasih sama sekali. Itu hanya sekadar menjalankan tuntutan secara profesional.
Senada dengan itu, para akademisi juga perlu ”membunuh” mentalitas profesional semacam ini. Seorang guru besar, misalnya, harus membaktikan dirinya bukan semata untuk menyelesaikan tuntutan profesinya sempurna secara standar rubrik saja, melainkan demi peningkatan mutu di bidangnya.
Para akademisi perlu menyadari identitasnya yang bukan sekadar seorang profesional, melainkan seorang penjaga peradaban manusia yang kepadanya, pada akhirnya, dapat disematkan gelar guru besar.
Baca juga: Guru Besar dan Krisis Keteladanan
Baca juga: Pemecatan Profesor
Steven, Dosen Teologi Universitas Pelita Harapan, Tangerang