Visi misi calon presiden dan calon wakil presiden terkait reforma agraria akan menentukan masa depan pangan Indonesia.
Kendati jadi salah satu agenda Nawacita dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2015-2019 dan 2020-2024, capaian program reforma agraria masih jauh dari harapan. Program ini masih bertumpu pada legalisasi aset ketimbang redistribusi tanah guna mengurai ketimpangan dan mencapai keadilan agraria.
Negara juga belum mampu menyelesaikan konflik-konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 2.939 konflik agraria selama 2015-2023. Konflik itu melibatkan 1,759 juta keluarga korban pada lahan seluas total 6,3 juta hektar. Selain itu, puluhan orang tertembak, bahkan meninggal, saat memperjuangkan hak atas tanah.
Pada masa transisi kepemimpinan kali ini, publik menumpukan asa pada calon presiden-calon wakil presiden. Para petani, nelayan, dan masyarakat di daerah-daerah konflik berharap presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilu 2024 bisa menuntaskan problem warisan turun temurun tersebut.
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Moch Maksum Machfoedz berpendapat, setiap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden salah menafsir reforma agraria. Dalam pelaksanaannya, reforma agraria tidak sebatas sertifikasi lahan dan bukan perhutanan sosial, melainkan redistribusi tanah sesuai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Pelaksanaan program reforma agraria harus dilakukan secara cermat, partisipatif, dan berkeadilan. ”Harus dibicarakan dengan petani, masyarakat adat, tetua desa dan adat sebagai subyek reforma agraria. Bicara dan bekerja sama dengan mereka,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (24/1/2024).
Baca juga: Sembilan Tahun Berjalan, Capaian Reforma Agraria Masih Timpang
Adapun keadilan bisa dicapai apabila reforma agraria diterapkan dengan benar. Sebab, redistribusi tanah kepada petani merupakan bagian dari hak asasi manusia. Maksum mencontohkan, seseorang yang kesulitan dimakamkan karena ketidaktersediaan lahan. Padahal, tetangganya punya ratusan hingga ribuan hektar tanah.
Ia juga menyinggung kemudahan redistribusi lahan untuk kepentingan investasi, bahkan dikemas secara kreatif agar legal. Sementara reforma agraria yang sudah jelas panduannya malah dikebiri. ”Kondisinya saat ini, hari ini dihibur, besok dibatalkan, lusa direvisi, lusa berubah lagi. Bak poco-poco,” tuturnya.
Anggota Dewan Pakar Timnas Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Sunraizal, menuturkan, apabila pasangan nomor urut 1 terpilih, berbagai masukan publik akan menjadi pertimbangan pelaksanaan reforma agraria lima tahun ke depan. Hal itu mencakup mengatasi ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat marjinal.
Pelaksanaan reforma agraria saat ini cenderung kontraproduktif dengan amanat UUPA 1960. Aturan terkait pertanahan perlu diperbaiki agar tidak merugikan kelompok masyarakat subyek reforma agraria. Pada saat bersamaan, kelembagaan reforma agraria juga harus dikaji kembali. Pasalnya, berbagai koordinasi yang dilakukan antarlembaga pemerintahan masih minim hasil positif.
”Reforma agraria diselesaikan secara paralel, tidak melulu sebatas registrasi atau sertifikat tanah. Penyelesaian konflik berjalan bersamaan dengan redistribusi lahan,” tambahnya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Tiga pasangan capres dan cawapres naik ke panggung di akhir acara Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Dradjad Wibowo, menyebut, perihal reforma agraria sudah disampaikan secara gamblang saat debat cawapres. Pasangan nomor urut 2 berkomitmen melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Presiden Joko Widodo.
”Iya, benar, kami (bertekad) menuntaskan reforma agraria yang sudah dijalankan Presiden Jokowi,” ujarnya.
Menurut Drajad, hal itu berupa sertifikasi dan pendataan lahan masyarakat, kebijakan satu peta, hingga redistribusi lahan bekas perjanjian hak guna usaha. Tanah tersebut akan disimpan terlebih dahulu lewat bank tanah untuk diredistribusi kepada pengusaha lokal, petani, dan sebagainya.
Baca juga: Terus Diwariskan, Konflik Agraria Tak Berkesudahan
Direktur Pemberdayaan Perempuan Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, Sandrayati Moniaga, mengatakan, reforma agraria tak cukup dilaksanakan sebatas legalisasi, redistribusi, dan restitusi atau pemulihan hak. Ada aspek penyelesaian konflik yang butuh perhatian.
Pasangan nomor urut 3 ini juga bertekad melanjutkan agenda reforma agraria Presiden Jokowi. Namun, mereka ingin program tidak sekadar fokus pada legalisasi sertifikat kepemilikan lahan. ”Dalam dokumen visi misi Ganjar-Mahfud, menjelaskan penyiapan pembentukan lembaga khusus penyelesaian konflik serta pengadilan agraria,” katanya.
Kebijakan dan program reforma agraria semestinya beririsan dengan program ketahanan pangan. Namun, selama hampir satu dekade terakhir, kedua hal itu belum selaras, bahkan bertolak belakang. Harmonisasi diperlukan agar kelak tak terjadi limbung pangan.
Ketidakselarasan itu tecermin dari bertambahnya petani gurem, petani dengan lahan 0,5 hektar atau lebih kecil, yakni dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 jadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Proporsi rumah tangga petani gurem terhadap total rumah tangga petani di Indonesia juga meningkat, yakni dari 55,33 persen menjadi 60,84 persen selama kurun itu.
Kondisi itu kontras dengan lahan yang dikuasai perusahaan. Pada 2022, di sektor perkebunan, misalnya, terdapat 16,8 juta ha lahan perkebunan sawit yang dikuasai 2.400 perusahaan. Di sektor kehutanan, ada 11,2 juta ha kawasan hutan tanaman produksi yang dikuasai 314 perusahaan. Di sektor properti, ada 63.000 ha tanah di Jabodetabek yang dikuasai oleh 25 perusahaan saja.
Luas lahan pertanian pangan juga semakin susut karena terkonversi menjadi nonsawah. Merujuk data Auriga, luas sawah di Indonesia berkurang dari sekitar 10 juta ha pada 2018 jadi 9,88 ha pada 2022. Penggantian atau penambahan lahan baru, seperti program food estate, juga tidak berjalan mulus. Bahkan, upaya ini justru menimbulkan bencana ekologis dan menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat sebelumnya.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto memberikan sertifikat kepada sejumlah petani dalam kegiatan Redistribusi Tanah Rakyat di Dusun Cijoho, Desa Muktisari, Kecamatan Cipaku, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis (12/10/2023).
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, selama hampir satu dekade, pembangunan infrastruktur dan investasi di bidang agraria banyak menyasar lahan-lahan produktif pertanian. Di banyak kasus penggusuran, banyak lumbung pangan berubah fungsi jadi bandara, tol, kawasan bisnis, perumahan dan investasi lain seperti perkebunan.
Hal itu tidak hanya menyebabkan lahan pertanian berkurang, tetapi juga menambah jumlah rumah tangga petani gurem. Jika sejak awal masa pemerintahan redistribusi lahan berpihak pada petani gurem, laju penurunan lahan pertanian dan bertambahnya petani gurem bisa lebih ditekan.
Menurut Dewi, situasi itu membuat produksi beras nasional turun dan impor beras semakin masif. Swasembada pangan, khususnya beras, juga semakin jauh dari capaian. Ketahanan pangan nasional menjadi limbung.
Baca juga: Mengurai Regulasi, Menanti Janji Redistribusi
”Sungguh, ironis. Sebab, pemerintah telah membuat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional pada 2019-2022 stagnan di kisaran 31,3 juta ton hingga 31,5 juta ton. Pada 2023, produksi beras makin susut menjadi 30,9 juta ton.
Sebaliknya, impor beras yang semula berada di kisaran 350.000 ton hingga 445.000 ton pada 2019-2022, melonjak menjadi 3,08 juta ton pada 2023. Tahun ini, pemerintah bahkan berencana mengimpor beras sebanyak 2 juta ton mengingat produksi beras pada tahun lalu berkurang akibat dampak El Nino.
Dalam acara Outlook Ekonomi Sektor-sektor Strategis 2024, Selasa (23/1/2024), Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa menilai, program food estate gagal lantaran melanggar kaidah akademis. Kaidah itu mencakup kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan sosial dan ekonomi, serta kelayakan teknologi.
Kaidah-kaidah tersebut merupakan empat pilar empat pilar pengembangan lahan pangan. ”Jika salah satu pilar tidak dijalankan dengan baik, maka jawabannya pasti gagal,“ kata Andreas dalam acara yang digelar Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia secara hibrida di Jakarta.
Sementara itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, food estate bukan proyek instan sehingga membutuhkan proses. Pemerintah tengah menggarapnya, termasuk di lahan yang sebelumnya bukan lahan pertanian sehingga membutuhkan proses dan teknologi agar menjadi lahan produktif. ”Hasil dari berbagai proyek food estate yang dikerjakan di beberapa daerah juga telah berjalan baik dan sesuai target,” katanya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (24/1/2024).
Amran mencontohkan, saat ini, food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, luasnya mencapai 418,29 ha. Adapun di Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah, luasnya mencapai 907 ha dan telah berhasil panen komoditas hortikultura. Di Kalimantan Tengah, pemerintah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan hingga mampu panen padi dengan produktivitas 5 ton per ha. Begitu pula di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Kabupaten Keerom, Papua, yang telah mampu panen jagung di lahan seluas 500 ha.
”Food estate Gunung Mas di Kalimantan Tengah juga sudah panen jagung di lahan seluas 10 ha dan singkong 3 ha. Saat ini, produksi jagung yang kami panen di lahan 10 ha sebanyak 6,5 ton per ha,” kata Amran.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Truk tangki melintasi kebun jagung untuk mengisi bak air di Desa Fatuketi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Rabu (16/8/2023).
Dewi berharap, ke depan, kebijakan dan program reforma agraria harus benar-benar sejalan dengan sektor pangan. Redistribusi tanah bagi para petani gurem dan petani di kawasan hutan atau lahan eks HGU perlu digulirkan.
Jangan sampai redistribusi itu hanya terjebak pada mekanisme bank tanah. Selain prosesnya lama dan berbelit, petani akan kesulitan mendapatkan kepemilikan tanah dan hanya menjadi penggarap lahan yang diredistribusikan bank tanah.
”Kemerdekaan petani atas kepemilikan lahan sangat penting karena menyangkut masa depan pangan Indonesia. Dengan kepemilikan lahan yang sah, petani tidak perlu lagi khawatir digusur dari lahan yang digarapnya puluhan tahun,” tuturnya.