Butuh langkah progresif dari segenap pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan terkait untuk mengatasi polusi udara.
Oleh YOESEP BUDIANTO
Polusi udara mengancam kesehatan warga di sejumlah kota di Indonesia. Butuh langkah progresif dari segenap pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan terkait untuk mengatasi persoalan tersebut demi meningkatkan kualitas hidup.
Wilayah perkotaan Indonesia tengah dikepung paparan polusi udara yang pekat. Situasi ini membahayakan kesehatan karena berisiko memperpendek usia harapan hidup masyarakat. Polutan udara dihasilkan dari berbagai macam sumber pencemar, seperti kendaraan, pembakaran hutan, dan kegiatan pembakaran lainnya. Sayangnya, penanggulangan pencemaran udara belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan.
Salah satu kota paling berpolusi di Indonesia adalah Jakarta. Hingga pertengahan Januari 2024, indeks kualitas udara Jakarta berada di status sedang dengan konsentrasi polutan PM2,5 mencapai 17 mikrogram per meter kubik. Angka tersebut tiga kali lipat lebih tinggi dari anjuran WHO yang sebesar 5 mikrogram per meter kubik. Tingginya angka polutan di Jakarta itu sangat berisiko bagi penurunan kualitas kesehatan warga Ibu Kota.
Meskipun tergolong buruk, angka polutan di kawasan Jakarta itu cenderung cukup baik dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah saat ini Indonesia tengah memasuki musim hujan sehingga bahan polutan tercuci oleh jatuhnya air hujan. Konsentrasi bahan pencemar yang melayang di udara dapat turun cukup drastis karena hujan. Artinya, permasalahan polusi udara belum terselesaikan secara tuntas dan terus menghantui warga Jakarta.
Selama lima tahun terakhir, indeks kualitas udara Jakarta berada di level membahayakan. Rata-rata konsentrasi polutan PM2,5 mencapai 41,94 mikrogram per meter kubik sepanjang periode 2018-2022. Artinya, polusi di Jakarta delapan kali lipat lebih parah dari batasan minimal yang ditetapkan oleh WHO. Tak heran, usia harapan hidup warga Jakarta diprediksi berkurang hingga hampir tiga tahun.
Hasil liputan investigasi Kompas pada September 2023 lalu juga menunjukkan bahwa warga di banyak kota di Indonesia terpapar polusi udara secara signifikan. Apabila menggunakan ukuran WHO, hanya 0,6 persen dari 64,9 juta penduduk perkotaan Indonesia yang menikmati udara bersih. Bahkan, secara nasional usia harapan hidup warga perkotaan berkurang hingga 4,3 tahun dibandingkan wilayah dengan tingkat pencemaran udara lebih rendah.
Polusi udara tersebut tentu sangat membahayakan bagi tubuh manusia. Batuk, nyeri tenggorokan, hidung berair, dan sesak napas adalah tanda tubuh telah terpapar polusi udara. Dampak lanjutannya adalah sakit kepala, lemas, hingga mual. Apabila dibiarkan, hal itu berpotensi besar menyebabkan penyakit asma, pneumonia, tuberkulosis, hingga kanker.
Partikel polutan berukuran mikro mampu menyusup hingga bagian aveoli paru-paru yang merupakan tempat pertukaran oksigen dengan karbondioksida. Pada tingkatan pencemaran, polutan juga dapat masuk ke sistem peredaran darah manusia secara masif. Hal tersebut menyebabkan turunnya kemampuan darah atau hemoglobin untuk mengikat oksigen secara maksimal.
WHO mencatat tingkat kematian akibat polusi udara di dunia tergolong besar. Polusi udara menyebabkan kematian hingga 4,2 juta jiwa per tahunnya secara global. Apabila digabung dengan pencemaran udara skala domestik, mortalitasnya meningkat hingga 6,7 juta jiwa per tahun. Mortalitas terbesar berada di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
Persoalan polusi udara tak kunjung terselesaikan hingga kini sehingga dibutuhkan langkah progresif dari para pemimpin untuk turut serta menuntaskan permasalahan polusi udara. Mulai dari identifikasi akar permasalahan, pendataan dampak yang ditimbulkannya, hingga upaya mitigasi untuk mereduksi polusi tersebut. Menciptakan udara yang berkualitas dan layak hirup bagi warga perlu menjadi agenda yang diprioritaskan bagi para pemimpin.
Akar permasalahan polusi udara yang berasal dari sumber pencemar sebagian besar telah terpetakan. Namun, banyaknya sumber pencemar yang sangat beragam itu memerlukan langkah kebijakan atau regulasi untuk mengendalikannya. Peran pemangku kebijakan sangat penting turut serta dalam pengendalian pencemar itu dengan intervensi regulasi. Dalam menciptakan kebijakan ini, peranan politik sangat besar dalam mengarahkan atau memengaruhi hasil keputusan yang berlaku di lapangan. Oleh sebab itu, sikap atau keberpihakan para eksekutif dan tokoh politik ekutif baik di level pusat maupun daerah sangat penting dalam menyelesaikan masalah polusi udara di Indonesia.
Saat ini ada tiga calon presiden dan wakil presiden yang mengikuti pemilihan umum pada Februari 2024 mendatang. Semua kontestan memaparkan visi-misinya terkait lingkungan dan juga menawarkan sejumlah solusi.
Pasangan nomor urut pertama, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, menjadikan agenda penanggulangan persoalan polusi udara sebagai bagian penting dalam agenda nasional apabila terpilih. Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menempatkan polusi udara di poin pendalaman misi ketiga, yaitu mewujudkan keadilan ekologis berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Anies-Muhaimin mendetailkan solusi permasalahan polusi udara itu ke dalam tiga poin. Pertama, mendorong solusi holistik terhadap pengurangan polusi udara melalui percepatan transisi energi baru terbarukan (EBT), penerapan teknologi pengendalian emisi yang lebih baik di PLTU, penyediaan transportasi publik, dan hunian yang terintegrasi dengan transportasi publik.
Kedua, memperketat dan menerapkan baku mutu pencemaran air dan udara berdasarkan kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat serta teknologi pengendalian beban pencemar terbaik. Terakhir, menyiapkan regulasi untuk produk rendah karbon dan menjadikan pemerintah sebagai konsumen utama produk rendah karbon dalam kegiatan pembangunan.
Bahkan, lebih spesifik lagi, Anies dan Muhaimin menjadikan isu polusi udara sebagai permasalahan yang paling mendesak untuk diselesaikan dalam skenario agenda khusus yang menargetkan 28 kelompok masyarakat. Bagi warga kota, untuk mencapai hidup layak, produktif, dan sejahtera, pasangan calon ini akan memastikan polusi udara, pencemaran air, dan pengelolaan sampah terkendali dengan baik.
Kandidat berikutnya, yakni pasangan calon nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, tidak mencantumkan persoalan polusi udara di perkotaan secara detail dalam visi-misinya. Misi Prabowo-Gibran tentang lingkungan tertuang di dalam poin kedelapan, yaitu memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan alam dan budaya, peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Meskipun tidak dijelaskan secara mendalam, aspek memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan alam ini tentu saja akan berkaitan dengan upaya menjaga keberlanjutan alam di Indonesia. Cakupannya sangat luas, dari mulai bumi (tanah), air, hingga udara.
Sementara itu, untuk pasangan nomor urut ketiga, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, persoalan polusi udara menjadi agenda khusus. Pada misi keenam disebutkan tentang mempercepat perwujudan lingkungan hidup yang berkelanjutan melalui ekonomi hijau dan biru. Poin pengurangan polusi udara dapat dicapai melalui tiga langkah utama demi mewujudkan lingkungan hidup berkelanjutan.
Langkah pertama adalah mengurangi emisi gas rumah kaca yang salah satu langkah pentingnya melalui pemangkasan polusi udara dari emisi kendaraan dan industri. Langkah kedua adalah pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan. Tiga agenda penting dalam langkah kedua untuk menuntaskan polusi udara adalah pengembangan kota hijau, industri hijau, serta penerapan regulasi ketat terhadap perusakan lingkungan.
Langkah ketiga adalah adaptasi dan mitigasi krisis iklim yang memiliki dua langkah progresif untuk menanggulangi polusi udara, yaitu penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai dan transportasi umum yang nyaman, aman, serta ramah lingkungan. Ganjar dan Mahfud MD memiliki rencana yang relatif jelas terkait penanggulangan polusi udara, khususnya wilayah perkotaan.
Dari ketiga kontestan tersebut, kita dapat melihat bahwa upaya mencegah degradasi lingkungan sudah menjadi agenda dalam rencana kerja mereka ketika terpilih memimpin negeri ini. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia harus mampu mendorong para pemimpin yang terpilih nanti untuk berkomitmen mewujudkan program-programnya agar lingkungan Indonesia terus lestari dan mendukung kemajuan nasional berkelanjutan. (LITBANG KOMPAS)