Isu ”greenwashing” marak tidak hanya di level industri atau perusahaan, tetapi juga dalam konteks kebijakan pemerintah
Oleh YOESEP BUDIANTO
Selama beberapa dekade terakhir, isu terkait lingkungan dan pembangunan berkelanjutan telah menjadi fokus publik di tengah riuhnya berbagai persoalan kemanusiaan. Isu lingkungan ini terkait erat dengan fenomena pemanasan global yang berdampak serius bagi kelangsungan kehidupan di masa depan. Salah satunya ialah praktik greenwashing yang merugikan lingkungan kian marak terjadi.
Istilah greenwashing pertama kali digunakan pada tahun 1986 oleh seorang ahli lingkungan yang bernama Jay Westervelt. Dia menerbitkan sebuah tulisan yang mengkritik sistem manajemen handuk di banyak hotel. Sementara itu, dalam Webster’s New Millennium Dictionary of English, istilah greenwashing diartikan sebagai strategi komunikasi mempromosikan program ramah lingkungan sebuah entitas tertentu yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari aktivitas perusakan lingkungan oleh entitas bersangkutan.
Kesadaran terhadap lingkungan mendorong sejumlah produsen mengkreasi banyak produk yang diberi label tertentu dan diklaim ramah lingkungan. Produk dengan label eco-friendly, nature-friendly, biodegradable, atau save the earth belum menjamin keberlanjutan yang sesungguhnya karena ada institusi atau perusahaan yang melakukan praktik greenwashing.
Berdasarkan laman Earth.org, terpantau sejumlah entitas holding besar dunia yang diduga belum sepenuhnya memenuhi kriteria menghasilkan produk dengan status ramah lingkungan. Ragam bisnis yang terpantau Earth.org ini tersebar mulai dari industri otomotif, tambang, makanan dan minuman, plastik, hingga fesyen. Meski demikian, semuanya memiliki klaim bahwa produknya telah berstatus hijau dan berorientasi pada keberlanjutan.
Temuan ragam perusahaan yang belum memenuhi orientasi lingkungan tersebut menjadi gambaran bahwa praktik belum pedulinya pengendalian emisi karbon itu telah merajalela di banyak lini dan banyak tempat termasuk Indonesia. Kurang maksimalnya kepedulian lingkungan ini juga berpotensi besar terjadi dalam implementasi kebijakan pemerintahan.
Di Indonesia, salah satu kebijakan yang sempat disorot publik dalam pengelolaan lingkungan dan emisi karbon adalah kebijakan tambang pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Semangat peraturan tersebut adalah melakukan pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang berupa pasir dan lumpur secara berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya bahari yang berkelanjutan tentu berorietasi pada lingkungan, apalagi ekosistem laut turut menyumbang wadah penyimpanan karbon. Hanya saja, di satu sisi kebijakan tersebut dikhawatirkan bakal merusak lingkungan bahari dengan diizinkannya kembali ekspor pasir laut.
Setelah lebih dari dua dekade dihentikan, ekspor pasir laut kembali dibuka dengan terbitnya aturan tersebut. Selain untuk ekspor, pemanfaatan lain meliputi reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, dan pembangunan prasarana oleh pelaku usaha.
Kebijakan lain yang juga dikhawatirkan berdampak buruk terhadap keberlanjutan lingkungan adalah food estate atau lumbung pangan. Pemerintah menjalankan kebijakan ini sebagai upaya mengantisipasi krisis pangan sehingga ketahanan pangan nasional meningkat. Selain itu, untuk mengurangi ketergantungan pangan impor karena sejumlah negara melakukan pembatasan ekspor produk pertanian.
Namun, upaya mengantisipasi krisis pangan ini juga tidak luput dari potensi kerusakan ruang ekologi. Setidaknya ada tiga persoalan lingkungan yang timbul karena program food estate, yaitu produktivitas pertanian, pembukaan lahan dan kebakaran lahan gambut, serta konflik lahan dan sosial. Program food estate mengorbankan ribuan hektar hutan di Kalimantan dan wilayah lain untuk diubah menjadi lahan komoditas pertanian, seperti padi, singkong, atau jagung.
Apalagi, sejumlah lahan yang digunakan untuk program tersebut merupakan lahan gambut. Artinya, berpotensi besar terjadi pelepasan karbon ke atmosfer dalam skala besar sehingga turut memperparah perubahan iklim. Padahal, produktivitas lahan gambut untuk pertanian juga tidak sebaik lahan-lahan di Pulau Jawa ataupun tempat lain yang kaya unsur mineral.
Contoh kebijakan lain adalah penggunaan kendaraan listrik yang gencar dipromosikan pemerintah dan diberikan subsidi agar masyarakat tertarik membelinya. Kendaraan yang digadang-gadang akan mengurangi emisi karbon karena lebih hemat dan ”hijau” ternyata belum sepenuhnya benar, setidaknya hingga saat ini. Hal tersebut dipengaruhi bagaimana cara mendapatkan energi listrik yang sebagian besar masih mengandalkan PLTU berbahan bakar batubara yang merupakan energi kotor.
Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang komprehensif untuk menilai apakah sebuah kebijakan pemerintah dan langkah perusahaan melakukan praktik greenwashing. TerraChoice, lembaga konsultan lingkungan dan pemasaran di Kanada, mengeluarkan laporan tentang cara identifikasi greenwashing melalui deteksi tujuh poin greenwashing pada tahun 2007 lalu.
Pertama adalah trade-off atau pertukaran yang tersembunyi. Poin ini menjelaskan bahwa ada suatu fenomena masalah lingkungan yang tampak terselesaikan, tetapi justru menimbulkan masalah pelik lain. Contohnya, kebijakan plastik berbayar di banyak supermarket bertujuan untuk mengurangi penggunaan plastik. Sayangnya, alih-alih mengurangi, konsumen tetap tidak keberatan membayar untuk plastik dan malah muncul tas belanja yang justru menimbulkan sampah lebih banyak.
Poin kedua adalah tanpa bukti transparan, yaitu banyak entitas melakukan klaim berkelanjutan tanpa didukung bukti yang kuat, tepercaya, dan mudah diakses oleh pihak eksternal. Contohnya adalah produk tisu wajah atau tisu toilet yang mengklaim bahan dasarnya berasal dari bahan daur ulang, tetapi tidak dapat memberikan cukup bukti tentang klaim tersebut.
Poin berikutnya adalah ketidakjelasan, yaitu kuatnya promosi dan komunikasi publik oleh sebuah entitas atau kebijakan yang menyatakan berstatus hijau. Padahal, klaim tersebut tidak sepenuhnya benar. Contohnya, semua produk alami belum tentu ramah lingkungan. Ada banyak faktor, seperti penggunaan air, bahan bakar pengolahan, dan bahan kemasan yang dipakai.
Keempat adalah label palsu yang menunjukkan klaim hijau melalui foto, video, atau media promosi lain yang menyatakan adanya jaminan pihak ketiga sebagai pemberi klaim. Namun, pihak ketiga tersebut tidak memiliki kejelasan kelembagaan atau tidak ada jaminan bahwa itu asli. Sejumlah praktik ilegal dilakukan untuk meloloskan klaim hijau tersebut.
Poin kelima adalah klaim yang tidak relevan dengan tujuan utamanya. Sebagai contoh, ada sejumlah entitas mengklaim produknya ramah lingkungan karena bebas chlorofluorocarbon (CFC). Padahal, penggunaan CFC sebenarnya dilarang berdasarkan Protokol Montreal yang menekankan agenda global untuk menahan penipisan lapisan ozon di atmosfer. Artinya, klaim bebas CFC sebenarnya tidak relevan karena memang dilarang.
Keenam adalah anggapan tentang minimnya pelanggaran kejahatan lingkungan dengan menggunakan produk berklaim hijau atau organik. Klaim hijau atau organik mungkin benar dalam kategori produknya secara umum, tetapi hal itu tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah lingkungan. Contohnya, produk rokok organik yang memang diproduksi lebih ramah lingkungan, tetapi tetap tidak menyelesaikan masalah sampah puntung rokok dan kemasannya. Contoh lain adalah kendaraan listrik yang masih menggunakan batubara dalam penyediaan suplai listrik untuk baterai kendaraan.
Poin terakhir adalah tindakan kebohongan yang dilakukan secara sadar dan mutlak. Tidak ada sedikit pun upaya dalam kebijakan atau produk yang berorientasi pada pemenuhan klaim hijau. Semuanya diproduksi tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan, tetapi produk tersebut langsung dipromosikan sebagai produk hijau.
Ketujuh poin tersebut dapat menjadi bekal penting bagi masyarakat yang menjadi konsumen akhir dari mata rantai pemasaran agar lebih jeli dan teliti dalam membeli produk. Edukasi yang cukup dan daya kritis tinggi akan mendorong semua institusi atau produsen untuk menciptakan produk yang aman dan ramah bagi lingkungan. Pemerintah juga dapat terus berperan aktif menciptakan regulasi yang mendorong semua pihak turut serta dalam upaya mereduksi emisi karbon. Termasuk dalam upaya menekan praktik-praktik greenwashing yang terkesan mengelabui publik. (LITBANG KOMPAS)