TIMBOEL SIREGAR

 

Tahun ini, pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN memasuki tahun ke-11. Selama satu dekade (2014- 2023), program ini sudah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Akses kepesertaan dan manfaat semakin meningkat. Dengan bergotong royong, seluruh rakyat tertolong.

Jumlah peserta yang terdaftar bertambah banyak. Hingga akhir Desember 2023, jumlahnya 267.311.566 orang, termasuk pekerja asing yang sudah bekerja minimal enam bulan di Indonesia.

 

Dalam sepuluh tahun, pemanfaatan layanan JKN naik 557 persen. Total pemanfaatan pada 2023, baik layanan sakit maupun sehat (preventif), 606,65 juta layanan atau 1,66 juta layanan per hari. Total beban jaminan selama satu dekade itu Rp 912,4 triliun. Sejak 2021, program JKN telah mencatatkan aset bersih Dana Jaminan Sosial positif (surplus), yang di akhir 2023 nilainya Rp 57,75 triliun.

Pembiayaan penyakit katastropik terus meningkat. Kenaikan cukup signifikan (44,4 persen) terjadi pada 2023, dengan total pembiayaan Rp 34,75 triliun. Dari angka ini, 50,7 persen untuk penyakit jantung. Guna mengatasi peningkatan kasus penyakit katastropik ini, pemerintah terus menambah manfaat skrining yang telah diatur di Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3/2023.

Dari capaian baik ini, tentunya masih ada masalah yang dialami peserta JKN, seperti penonaktifan kepesertaan masyarakat miskin secara sepihak, semakin banyaknya peserta yang menunggak iuran dan denda yang besar untuk rawat inap, masalah ketersediaan obat, serta perilaku fraud oknum fasilitas kesehatan.

Landasan yuridis

Permasalahan substansial yang juga muncul adalah pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di luar negeri luput dari perlindungan JKN. PMI adalah warga negara Indonesia (WNI) yang juga harus dijamin pembiayaan kesehatannya oleh JKN. Saat ini, pekerja asing yang bekerja di Indonesia dijamin JKN, tetapi PMI tak dilindungi JKN.

Hak PMI mendapat perlindungan program JKN merupakan amanat Pasal 28H Ayat (3) dan Pasal 34 Ayat (2) UUD 1945. Amanat konstitusi ini dioperasionalkan oleh UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan UU No 18/2017 tentang Perlindungan PMI.

Pasal 1 angka 1 UU SJSN dan Pasal 1 angka 18 UU PPMI dengan tegas menyatakan jaminan sosial adalah salah satu bentuk pelindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Frasa seluruh rakyat pun ditujukan kepada PMI yang bekerja di luar negeri.

Prinsip Kepesertaan Wajib pada Pasal 4 huruf (g) UU SJSN dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Pasal 6 Ayat (1) Perpres No 82/2018 tentang JKN menegaskan setiap penduduk Indonesia wajib ikut program JKN.

Penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan adalah WNI dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Kepesertaan PMI di JKN pun ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 4/2023, dan Instruksi Presiden No 1/2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN yang menginstruksikan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk memperkuat kepesertaan wajib PMI di JKN.

Merujuk pada ketentuan yuridis tersebut dan penyelenggaraan jaminan sosial PMI dan keluarganya merupakan bagian dari UU SJSN dan UU BPJS, PMI pun seharusnya wajib jadi peserta JKN. Secara sosiologis, PMI sangat butuh jaminan kesehatan karena memiliki risiko sakit saat bekerja di luar negeri.

Kemunduran perlindungan

Sebelum jaminan sosial PMI diintegrasikan ke SJSN, pelaksanaan jaminan kesehatan bagi PMI diatur dalam Permenakertrans No Per.07/Men/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Dalam ketentuan ini, PMI yang sakit di luar negeri klaim biaya pengobatan dan perawatannya maksimal Rp 50 juta untuk setiap peristiwa sakit, dan untuk perawatan di dalam negeri maksimal Rp 25 juta untuk setiap peristiwa sakit.

Saat ini program JKN belum memberikan penjaminan bagi PMI yang sakit di luar negeri. Artinya terjadi kemunduran perlindungan bagi PMI. Pengintegrasian perlindungan PMI ke SJSN hanya pada program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua. Untuk mengembalikan perlindungan, PMI wajib mengikuti JKN.

Secara operasional, klaim manfaat JKN oleh PMI dapat merujuk pada Pasal 23 Ayat (3) UU SJSN, yaitu dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis, BPJS wajib memberikan kompensasi. Berdasarkan Pasal 64 Perpres No 82/2018, kompensasi tersebut dapat berupa penggantian uang tunai.

Merujuk Pasal 30 Ayat (1) UU PPMI juncto Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf j Peraturan BP2MI No 9 /2020, PMI tak boleh dibebani membayar iuran jaminan sosial, termasuk iuran JKN. Seharusnya yang membayar perusahaan penempatan PMI (P3MI) atau pemerintah yang menyelenggarakan penempatan. Atas amanat ini, seharusnya pemerintah mengintegrasikan PMI sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya dibayar pemerintah.

Untuk merealisasikan kepesertaan wajib PMI di JKN, revisi Perpres No 82/2018 harus memuat kepesertaan PMI dan mengatur iuran dan manfaatnya. PP No 76/2015 tentang PBI JKN juga harus direvisi dengan memasukkan PMI sebagai peserta PBI untuk semua program jaminan sosial.

Setelah JKN, pemerintah harus membuka akses PMI ke Program Jaminan Pensiun dan Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP), agar pada masa tua memiliki pensiun dengan manfaat pasti, dan saat pulang ke Tanah Air karena berhenti bekerja, PMI dapat manfaat JKP berupa uang tunai, pelatihan, dan informasi pasar kerja.