Kesadaran politis siswa harus dimulai dengan kesadaran akan realitas di sekitarnya. Tugas guru untuk mengasahnya.
Menjelang Pemilu 2024, berbagai lembaga survei berlomba-lomba mengkaji arah politik pemilih muda. Mulai dari isu-isu spesifik yang menjadi perhatian segmen ini, kriteria pemimpin ideal, hingga kecenderungan arah dukungan mereka kepada calon yang tersedia.
Hal itu tidak mengherankan mengingat jumlah pemilih dengan rentang usia 17-40 tahun mencapai 52 persen dari total jumlah pemilih (CNN, 2023). Sedangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan jumlah yang lebih tinggi, yakni 55 persen pemilih dalam pemilu mendatang merupakan kelompok gen Z dan milenial (KPU, 2023).
Baca juga: Orientasi Pemilih Gen Z Sudah Kokoh, tetapi Mudah Rapuh
Secara spesifik di tingkat SMA memang belum (atau tidak akan) ada mata pelajaran ilmu politik. Beberapa mata pelajaran yang beririsan tema dengannya, seperti Sejarah ataupun Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), juga masih harus berhadapan dengan begitu banyaknya materi konseptual yang memaksa siswa menghafal nama ataupun angka-angka. Maka, sejauh mana sekolah, terutama para guru, menempatkan dirinya dalam pembentukan kesadaran politis siswa, akan menjadi sangat menentukan bagi sebuah generasi di masa depan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Kotak suara dengan latar belakang guru yang mengawasi proses pemilihan ketua dan wakil OSIS pada pemilu di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (7/12/2023). Para siswa menggelar pemilu sebagai bentuk simulasi belajar tentang menyuarakan hak politik dan berdemokrasi.
Paulo Freire dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang terbit pada 1970 telah menjelaskan kepada kita banyak hal tentang itu, salah satunya adalah conscientizepdo. Istilah ini mengacu pada pembelajaran untuk memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi serta untuk mengambil tindakan terhadap elemen-elemen realitas yang menindas (Freire, 1970). Kesadaran akan realitas tersebut adalah modal awal sebelum berbicara lebih jauh tentang apa yang dapat dilakukan sebagai seorang warga negara.
Perhatian generasi muda terhadap isu-isu nasional memang dapat dipahami sebagai dampak dari masifnya akses terhadap sumber yang melimpah di media sosial. Namun, guru seyogianya dapat lebih aktif memberikan pendidikan politik secara konkret.
Hal paling kecil adalah memahamkan siswa tentang apa yang bisa mereka lakukan dengan hak (ber)suara. Bahwa isu-isu sosial, politik, ataupun ekonomi dalam skala nasional sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah, yang dampaknya tidak hanya dirasakan hari ini tetapi juga di masa-masa mendatang.
Guru seyogianya dapat lebih aktif memberikan pendidikan politik secara konkret.
Pada bagian ini, dialog antara guru dan siswa menjadi sangat penting dalam membangun kesadaran pihak kedua. Melalui dialog, guru dapat membimbing siswa untuk mengonseptualisasikan pengalamannya dalam bingkai kesadaran politis.
Sebagai contoh, seorang guru Ekonomi dapat mengaitkan masifnya pembangunan industri manufaktur dengan terbukanya lapangan pekerjaan, begitu pula pemahaman tentang inflasi dan hubungannya dengan upah minimum regional. Dari sana, siswa dapat mengevaluasi proporsionalitas antarelemen tersebut dan lebih lanjut menyadari bahwa apa pun hasil yang mereka dapati adalah sebuah realitas yang telah dan akan mereka rasakan.
Begitu pun guru Geografi dapat mengaitkan sumber daya alam Indonesia dengan kesejahteraan nasional. Guru Biologi dapat memahamkan siswa bahwa kebijakan pemerintah adalah ujung tombak dari segala usaha konservasi alam.
Baca juga: Guru Berperan Kembangkan Pendidikan Politik di Sekolah
Freire menekankan bahwa dialog harus melibatkan rasa ingin tahu epistemologis yang konstan tentang obyek pengetahuan, dan bukan hanya sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai sarana untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang obyek pengetahuan (Freire, 1970). Dengan pendekatan ini, akan menjadi sangat wajar jika siswa mulai mempertanyakan hal-hal paradoksal, seperti mengapa negara dengan sumber daya alam melimpah seperti Indonesia belum mampu menyejahterakan rakyatnya.
Alih-alih menghindari pertanyaan semacam itu, seorang guru hendaknya menanamkan kesadaran politis kepada siswa bahwa mereka dapat memperbaiki keadaan dengan tenaga, pengetahuan, dan hak politik yang dimiliki. Dengan demikian, seorang siswa tidak hanya akan menjadi insinyur pertambangan yang mampu berinovasi kepada sektor produksi dan pengolahan, tetapi juga diharapkan mampu menjadi seorang warga negara yang secara konsisten menghayati dan mengamalkan amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3).
KOMPAS/SAMUEL OKTORA
Dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), guru menggelar pembelajaran dengan model siswa memberikan pemaparan dan pendapat, lalu diselingi dengan tanya jawab antarsiswa di kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (29/4/2019).
Dalam upaya mewujudkan pendidikan politik di sekolah, guru harus menunjukkan contoh nyata nilai-nilai demokrasi yang dimaksud, minimal melindungi hak siswa untuk berpendapat. Setiap pendapat siswa adalah gambaran nilai-nilai serta cara pandang generasi mereka, sementara guru sebaiknya lekas menyadari bahwa memaksakan nilai-nilai dan cara pandang generasinya hanyalah sebuah kesia-siaan.
Terciptanya dialog yang bersifat horizontal dan dilandaskan kepada nilai-nilai cinta, kerendahan hati, kepercayaan, serta harapan (Freire, 1970), diharapkan mampu menumbuhkan pemikiran kritis dan kesadaran politik dari siswa untuk mengubah kondisi bangsa diawali dengan penggunaan hak pilih mereka pada Pemilu 2024.
Di lain sisi, siswa hanya akan tumbuh menjadi generasi yang apatis jika sang guru justru menjadi elemen penindas. Pemilihan ketua OSIS dapat menjadi contoh, sering kali didapati jajaran pimpinan di sebuah sekolah terlibat terlalu jauh dalam penyaringan kandidat ketua, bahkan ada sebuah sekolah yang mengizinkan guru untuk ikut serta memberikan suaranya dalam kontestasi tersebut.
Begitu pula program kerja OSIS yang sering kali didikte oleh guru sehingga aspirasi siswa tidak pernah dapat benar-benar terserap. Hal-hal semacam ini lebih jauh akan menguatkan ketidakyakinan sebuah generasi pada sistem demokrasi.
Baca juga: Bekal Pendidikan Demokrasi di Sekolah Belum Optimal
Untuk cakupan yang lebih luas, tentu seorang guru tidak dapat terlalu gamblang menunjukkan preferensi politiknya kepada siswa. Membahas sebuah permasalahan politik aktual di tingkat nasional sering kali membawa kesulitan-kesulitan bagi guru, terutama jika statusnya adalah aparatur sipil negara (ASN). Salah satu alternatif adalah memberikan pemahaman dengan contoh-contoh yang bersifat mikro untuk mengonseptualisasikan permasalahan makro.
Contoh intervensi program kerja OSIS di atas dapat menjadi gambaran ideal ketika sebuah konstitusi tidak berjalan dengan logika yang benar. Program kerja yang seharusnya dari, oleh, dan untuk siswa akhirnya hanya dapat terealisasikan jika sesuai dengan selera dan kepentingan guru. Logika lebih kurang serupa dapat kita jumpai pada praktik penyelenggaraan negara, ketika kepentingan rakyat kerap tumpang tindih dengan kepentingan partai politik dan oligarki.
Akhir kata, kesadaran politis siswa harus dimulai dengan kesadaran akan realitas di sekitarnya. Adalah tugas guru untuk mengasah kesadaran tersebut dalam sebuah dialog yang bersifat horizontal.
Lebih lanjut, sekolah harus menjadi laboratorium politik bagi siswa sehingga iklim demokrasi dapat dirasakan secara langsung. Untuk itu, guru sebagai sekelompok intelektual harus memberikan contoh konkret aktor demokrasi dan bagaimana sistem tersebut memberikan manfaatnya bagi setiap individu.
Najib Khilmi, Mahasiswa S-2 Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
instagram.com/mnajibkhilmi