Rekomendasi UNESCO, gawai tidak digunakan dalam belajar di sekolah. Kebijakan pendidikan Indonesia justru sebaliknya.

 
Oleh:
IMAN ZANATUL HAERI

https://cdn-assetd.kompas.id/q8sG2PEbZGuOREeqMXS2sDFW52E=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F15%2F08da6c64-4513-4d64-87c8-b1d84f34db8c_jpg.jpg

Masalah terbesar para guru dalam mengajar di era digital adalah melepaskan perhatian pelajar dari penggunaan gawai di luar konteks pembelajaran. Namun, pada sisi lain, pelarangan penggunaan gawai membuat guru dianggap tidak menyesuaikan perkembangan zaman, menutup akses sumber belajar, dan mengganggu hak pelajar berkomunikasi.

Dukungan penuh Pemerintah Indonesia atas digitalisasi pendidikan dan pembelajaran melahirkan sinyalemen bahwa guru yang berusaha membatasi akses dan jaringan tidak sesuai agenda pendidikan nasional. Namun ternyata, negara lain, seperti Swedia, berani mengambil solusi, berpihak pada kebutuhan proses belajar dan segera melakukan reformasi kebijakan pendidikan yang bertolak dengan kemajuan era digital.

Ketika hendak melakukan reformasi pendidikan dengan ”kembali ke dasar”, Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson ketika menyatakan kebijakan Pemerintah Swedia pada 12 September 2023 menyatakan, “We will therefore implement a historic investment in textbooks. Screen time will be exchanged for reading time.

Pidato ini menjadi gelombang kehebohan internasional (12/9/2023). Sebagai negara maju, pilihan Swedia dengan kembali membaca buku cetak dan menulis tangan sangat mengejutkan. Berkebalikan dengan tren global thus kebijakan pendidikan Indonesia yang menelan bulat-bulat kebijakan hyper-digital untuk semua level dan pemangku kepentingan. Dibuktikan pada forum G-20 dan ASEAN, Indonesia selalu konsisten menyatakan siap dan akan memimpin transformasi digital dalam dunia pendidikan di kawasan.

Baca juga: Program Digitalisasi Pendidikan untuk Siapa

Jika dibandingkan, negara manakah yang sebenarnya mengalami kemajuan dan kemunduran pendidikan? Indonesia atau Swedia? Sejak 2018, rangking Program International Student Assessment (PISA) Indonesia (70) terpaut jauh dengan Swedia (19). Namun krisis membaca juga terjadi di Swedia. “Satu dari lima siswa di kelas 4 mengalami kesulitan membaca,” ungkap Ulf Kristersson. Begitu pun di Indonesia, hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2022 menunjukkan 1 dari 2 anak Indonesia bahkan belum mampu mencapai kompetensi minimum membaca (2/10/2023).

Jika Swedia mengambil putar arah, Indonesia memilih terus maju meyakini bahwa resep dari lemahnya literasi-numerasi adalah dengan penggunaan massal teknologi pendidikan. Bagi Swedia, fakta lemahnya literasi siswa mereka segera diatasi dengan “mengambil tindakan tegas … meninjau kembali penggunaan layar di ruang kelas yang tidak bijaksana”. Sementara Indonesia, fakta lemahnya literasi sejak tes PISA tahun 2018, malah membuat kementerian terus menambah beban penggunaan layar untuk hampir semua kegiatan pembelajaran hingga asesmen.

Bagian paling berat adalah madrasah. Selepas mengikuti AN dari Kemendikbudristek, mereka (madrasah) juga mengikuti Asesmen Kompetensi Madrasah Indonesia (AKMI) dari Kementerian Agama pada waktu berdekatan. Tentu kualitas asesmen dua kementerian ini terpaut jauh. Produk AKMI Kemenag selalu saja ekor dari AN Kemendikbudristek. Namun, penyelenggaraan asesmen dua kementerian ini pada dasarnya adalah ciri pendidikan neoliberalisme dengan paradigmatik ”pabrik” yang mementingkan ”manajerial kontrol kualitas produk” daripada proses pembelajaran.

David W Hursh (2016) dalam buku The End of Public Schools sudah memprediksi siklus asesmen yang bertubi-tubi semacam ini. Ia menyatakan bahwa matinya sekolah negeri (public school) ditandai ketika siswa dan guru terus diperiksa secara tidak terbatas.

Suasana pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di SMK Negeri 15, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (22/9/2021).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Suasana pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di SMK Negeri 15, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (22/9/2021).

Sebuah pengorbanan?

Sekarang Pemerintah Indonesia menghadapi arus balik kedua dalam badai teknologi pendidikan dengan terbitnya laporan pemantauan pendidikan global Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) berjudul Technology in Education: A Tool on Whose Term? (2023). Hasil pemantauan UNESCO bertolak belakang dengan kebijakan teknologis-sentris pendidikan Indonesia saat ini.

Pertama, untuk semua negara miskin di dunia, dibutuhkan 1 miliar dollar AS per hari untuk menjaga konektivitas jaringan internetnya saja. Kedua, teknologi pendidikan telah berhasil diakses 1 miliar anak selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) masa pandemi Covid-19. Namun di saat yang sama juga gagal menjangkau setengah miliar anak di dunia atau 31 persen yang sebagian besar (72 persen) di antaranya anak miskin (UNESCO, 2023).

Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa penggunaan gawai dalam belajar di 14 negara cenderung memberikan dampak negatif karena lebih sering mendistraksi atau mengganggu pembelajaran. Pada negara maju saja, hanya 10 persen pelajar di bawah usia 15 tahun menggunakan perangkat digital lebih dari 1 jam per minggu untuk belajar matematika dan sains.

Sementara Indonesia menambah lebih banyak beban tatap layar melalui digitalisasi semua proses pembelajaran di kelas hingga asesmen (AN dan AKMI).

Fenomena ini segera dibaca beberapa negara sebagai waktu yang tepat untuk mengambil kembali kontrol sumber belajar dari internet ke guru dan sekolah. Misal, kebijakan pendidikan di China yang membatasi tatap layar hanya boleh 30 persen jam ajar guru.

Oleh sebab itu, UNESCO cenderung melarang penggunaan gawaidi sekolah. Sepertinya, isu teknologi pendidikan sangat serius bagi Swedia dan China sehingga mereka segera menarik rem tangan, mengganti tatap layar dengan buku dan membaca. Sementara Indonesia menambah lebih banyak beban tatap layar melalui digitalisasi semua proses pembelajaran di kelas hingga asesmen (AN dan AKMI).

Siswa kelas 5 SD 18 Pemecutan, Denpasar, belajar kelola keuangan di sekolah, Senin (15/4/2019). Mereka belajar melalui sarana gawai dengan aplikasi permainan dari Prestasi Junior Indonesia dan Citi Fondation.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI

Siswa kelas 5 SD 18 Pemecutan, Denpasar, belajar kelola keuangan di sekolah, Senin (15/4/2019). Mereka belajar melalui sarana gawai dengan aplikasi permainan dari Prestasi Junior Indonesia dan Citi Fondation.

Keluar dari labirin

Dalam pidato yang sama, PM Swedia menggarisbawahi bahwa para pelajar bukanlah obyek eksperimen. Penggunaan gawai di sekolah yang diasumsikan sudah pasti baik dan bermanfaat merupakan hasil eksperimen yang gegabah. Karena eksperimen tersebut menggunakan alat (teknologi pendidikan) yang sulit dikontrol. UNESCO menyebut hanya 16 persen negara yang secara eksplisit memberi garansi hukum perlindungan data dalam pendidikan.

Sampai hari ini algoritma platform pembelajaran tidak bisa diaudit. Laporan Human Right Watch (HRW) 2022 sudah membuktikan bahwa 89 persen dari 163 perusahaan teknologi pendidikan secara global telah menambang data anak selama pandemi Covid-19. Kita harus ingat bagaimana tujuh perusahaan teknologi edukasi langsung diberikan karpet merah oleh Kemendikbudristek pada awal pandemi sebagai aplikasi yang direkomendasikan kementerian (SE Kemendikbudristek, 36962/MPK.A/HK/2020).

Sangat sulit menyatakan bahwa taklid buta kebijakan pendidikan nasional terhadap teknologi digital adalah suatu kemajuan. Namun, berdasarkan skor literasi-numerasi PISA, solusi Swedia tepat sasaran, sedangkan Indonesia kesulitan membuat kebijakan pendidikan dengan sasaran yang tepat.

Baca juga: Negara Maju Biasakan Lagi Teks Cetak dan Tulis Tangan bagi Siswa

Ada beberapa pilihan yang bisa diambil dalam menentukan masa depan pendidikan di era artificial intelligence (AI) seperti sekarang. Pertama, memiliki kontrol yang cukup kuat atas semua jaringan internet seperti China. Negara tersebut sudah lama membangun great firewall (tembok besar digital) sehingga bisa mengontrol semua mesin pencari dan media sosial di negaranya. Oleh sebab itu, internet di China sering dianggap secara sinis sebagai ”intranet”. China juga sudah memiliki 70,9 persen hak paten AI yang ada di dunia (China Daily, 19/11/2022) sehingga mudah bagi China menciptakan AI yang melayani kebutuhan pendidikan negaranya.

Kedua, kembali ke dasar. Menyadari bahwa kontrol internet tidak mungkin dilakukan, Swedia mengikuti rekomendasi UNESCO agar gawai tidak digunakan dalam belajar di sekolah. Keputusan kedua negara tersebut sangat efisien dan tepat sesuai dengan kondisi negara masing-masing.

Persoalannya, kebijakan pendidikan Indonesia selalu mengambil posisi hanya mengikuti arus perubahan global. Ini tentu saja berbahaya karena negara-negara yang menciptakan tren global telah lebih dahulu mengambil porsi keuntungan mereka masing-masing. Sedangkan kita meraup beragam kegagalan yang telah mereka tinggalkan. Kegagalan ini yang akan membentuk anak-anak kita di masa depan.

Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)

Iman Zanatul Haeri

ARSIP PRIBADI

Iman Zanatul Haeri

Editor: YOVITA ARIKA