Sejalan dengan upaya pemerintah mengurangi emisi karbon, jasa transportasi mulai mengoperasikan kendaraan listrik.

Oleh YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA

Pemerintah terus mendorong penetrasi kendaraan listrik di Indonesia. Pemerintah menargetkan 2 juta mobil penumpang kendaraan listrik dan 13 juta sepeda motor listrik diadopsi pada tahun 2030.

Dalam laporan PricewaterhouseCoopers (PwC) bertajuk Survei Konsumen Kendaraan Listrik Indonesia 2023, mayoritas kepemilikan mobil pribadi masih berbahan bakar fosil. Begitu pula dengan sepeda motor.

Mobil pribadi berbahan bakar fosil dimiliki 19 persen responden, diikuti mobil hibrid (3 persen), dan mobil listrik (2 persen). Sementara sepeda motor berbahan bakar fosil mendominasi hingga 85 persen, tepat di bawahnya berjenis listrik (10 persen), serta hibrida (7 persen).

Meski demikian, lebih dari setengah total responden tertarik membeli kendaraan listrik pada masa mendatang. Sebanyak 78 persen berminat membeli mobil listrik dan 74 persen ingin membeli sepeda motor listrik.

Pada 2030, pasar kendaraan listrik Indonesia diprediksi melampaui 20 miliar dollar AS. Nominal itu setara dengan Rp 315,5 triliun dengan kurs Rp 15.775 per dollar AS. Kesadaran masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik menjadi faktor penting.

”Ada pergeseran untuk mengakomodasi permintaan yang berkelanjutan dan kemajuan teknologi. Namun, adopsi kendaraan listrik di Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan pasar global,” ujar Pemimpin PwC Indonesia bidang otomotif, Hendra Lie, dikutip dari laman resmi PwC.

https://cdn-assetd.kompas.id/P9AVrOdqHtAF8X0coKEdiWVLIJg=/1024x2096/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F16%2Fd866437f-309b-4c11-985d-7997f34ed02e_png.png

Sejumlah perusahaan swasta telah bergerak mendorong perubahan ini. Perusahaan-perusahaan transportasi mulai menggunakan kendaraan listrik, baik mobil maupun motor.

PT Blue Bird Tbk (Bluebird), misalnya, telah mengoperasikan lebih dari 200 armada mobil listrik hingga 2023. Dari jumlah kendaraan itu, Blue Bird telah menekan hingga 2.600 ton emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e). Jumlah kendaraan listrik ditargetkan akan bertambah hingga tiga kali lipat pada 2024.

Namun, jumlah kendaraan listrik di perusahaan itu masih sedikit dibandingkan dengan total armada. Sebagai transisi, Bluebird memanfaatkan bahan bakar gas atau compressed natural gas (CNG). Pada tahun lalu, 3.200 armada beroperasi di jalan-jalan raya. Volume ini diklaim berhasil mengurangi 24.800 ton emisi CO2e.

”Kami akan melakukan penambahan terus lebih agresif karena ketersediaan kendaraannya, konversi lebih cepat, lebih affordable, dengan dampak juga cukup baik,” ujar Direktur Utama Bluebird Adrianto Djokosoetono dalam konferensi pers ”Sustainability Progress and Outlook” di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Ia mengakui, walau berdampak cukup signifikan, CNG hanya mereduksi emisi. Maka, perusahaan ini menerapkan strategi dengan melihat waktu dan tipe kendaraan. Kendaraan berteknologi baru akan meminimalisasi perawatan serta memiliki daya tahan yang lebih baik. Peremajaan kendaraan tiap lima tahun diperlukan untuk mengikuti tren ini.

Penetrasi kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEVjuga diupayakan terus diadopsi. Ini menjadi modal utama Bluebird mengembangkan sistem transportasi publik di Ibu Kota Nusantara (IKN). Tak tanggung-tanggung, pihaknya telah menanamkan modal Rp 250 miliar. Menurut rencana, dana itu akan dialokasikan untuk pengadaan bus raya terpadu, taksi listrik, mobil rental listrik, serta fasilitas pendukung lain.

Upaya serupa dilakukan layanan akses kendaraan berbasis permintaan (ride hailing), Grab. Perusahaan rintisan ini memiliki lebih dari 8.500 total armada berbasis listrik yang tersebar di delapan provinsi. Pihaknya bekerja sama dengan beberapa perusahaan untuk memasok kendaraan listrik, yakni Swap Energi, Gesits, Viar, Kymco, Honda, dan Hyundai.

”(Kami) terus menambah penggunaan mobil hybrid dan low cost green car (LCGC) sebagai armada GrabRental yang saat ini memiliki 12.000 unit sehingga dapat mengurangi buangan emisi dibandingkan mobil konvensional,” ujar Director of Digital and Sustainability Grab Indonesia Rivana Mezaya secara tertulis.

Selain penetrasi kendaraan, Grab juga membangun lebih dari 600 infrastruktur kendaraan listrik. Hal ini diwujudkan dalam bentuk stasiun penukaran baterai serta stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum. Beragam upaya ini diklaim telah mengurangi emisi setara dengan 22.000 ton CO2 hingga Desember 2022.

Investasi masih mahal

Beragam upaya penetrasi sekaligus perkenalan kendaraan listrik kepada publik telah dilakukan perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak pada sektor transportasi. Namun, kondisi di lapangan tak mudah.

Sejak adopsi mobil listrik, Bluebird masih menghadapi tantangan untuk mengoperasikan bus listrik. Banyak aspek yang perlu lebih banyak dipertimbangkan.

Adri mengatakan, investasi mengembangkan bus listrik lebih besar ketimbang mobil. Selain itu, tempat pengisian daya bus dan mobil berbeda.

”Kalau mobil (listrik), kami bisa isi hampir penuh kurang dari satu jam, bahkan 40 menit sudah 90-95 persen (daya terisi). Kalau bus (listrik), lebih banyak energi yang juga jadi tantangan sejak awal kami implentasi kendaraan lsitrik,” katanya.

Dari segi keuntungan, baik kendaran berbahan bakar fosil maupun listrik sama-sama berkontribusi positif. Harga operasional dapat bersaing, tetapi investasinya yang belum setara.

Sementara itu, pihak Grab menilai bahwa membiasakan masyarakat menerima kendaraan listrik menjadi tantangan lain. Utamanya, hal ini mengacu pada kendaraan yang digunakan mengantar penumpang (on-bid).

Rivana mengatakan, tingkat adopsi kendaraan listrik yang masih rendah menjadi tantangan bagi perusahaannya. Butuh kerja sama dari seluruh pelaku industri untuk membumikan kendaraan ini.

Utamakan transportasi publik

Dalam laporan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai berpotensi menghindari emisi sektor transportasi hingga 10,8 juta ton pada 2030. Kondisi ini terjadi jika adopsi sepeda motor dan mobil listrik memenuhi target 100 persen. Rinciannya, adopsi sepeda motor listrik hingga 13 juta unit, sedangkan mobil listrik sebanyak 2 juta unit.

Pada 2030, emisi karbon Indonesia diperkirakan 2.869 juta ton CO2 (Kompas.id, 26/7/2023). Itu artinya, apabila target pemerintah berjalan sesuai rencana, kendaraan listrik tak berkontribusi banyak pada pengurangan emisi karbon.

Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Haris Muhammadun mengatakan, transportasi masih menjadi kunci utama penurunan emisi gas rumah kaca. Gaung dukungan pemerintah terhadap bus listrik nyaris tak terdengar dibandingkan dengan promosi kendaraan listrik pribadi.

Apabila masyarakat beralih dari kendaraan bermotor berbahan bakar fosil ke listrik, kontribusi terhadap penurunan emisi tak begitu berdampak. Angkutan umum perlu menjadi pilihan untuk memperbaiki kualitas udara.

”Karena, 40 persen emisi gas buang bahan bakar (fuel)yang memengaruhi kualitas udara kita dari kendaraan bermotor. Kalau semua pakai kendaraan, walau diganti listrik, masih belum efektif,” katanya.

Ia mengatakan, investasi untuk mengonversi dari kendaraan bahan bakar fosil ke listrik perlu dibuat menarik.

PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta, misalnya, perlu dapat intervensi pemerintah untuk menambah armada bus listrik. Pada akhirnya, upaya ini akan menguntungkan pemerintah juga karena kendaraan listrik memiliki biaya operasional yang lebih hemat walau biaya investasi awal memang lebih tinggi. Kualitas udara yang dihasilkan lebih baik.

Pemerintah dapat memanfaatkan pajak kendaraan bermotor untuk meningkatkan transportasi publiknya. Selama ini, pemerintah daerah cenderung memanfaatkan pajak tersebut untuk membangun jalan. Padahal, angkutan umum dibutuhkan, khususnya pada wilayah aglomerasi.

”Paling penting konsistensi mengawal angkutan umum, itu yang belum ada. Kalaupun ada, masih parsial,” ujar Haris yang juga Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta.

Baca juga: Merayu ”Kaum Elite” untuk Beralih ke Transportasi Publik

Secara terpisah, Direktur Angkutan Jalan pada Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Suharto menyatakan, alokasi daerah untuk pengembangan sarana transportasi publik berkisar 0,2-3,1 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Artinya, urusan transportasi masih dianggap belum jadi urusan dasar.

Pada saat yang sama, pertumbuhan kendaraan pribadi di Indonesia berkisar 8-13 persen per tahun. Namun, pertumbuhan infrastruktur transportasi hanya 0,1-1 persen per tahun.

Apabila akar masalah transportasi belum juga diperbaiki, keberhasilan penetrasi kendaraan listrik juga tak akan berdampak banyak menekan emisi gas rumah kaca. Penyelesaian suatu masalah tak dapat dituntaskan secara parsial. Keberpihakan pemerintah demi kemaslahatan orang banyak dinanti.