Menyiapkan perpustakaan dengan buku-buku yang menarik berarti membangun peradaban bangsa ini.

Oleh:
ANGGI AFRIANSYAH

https://cdn-assetd.kompas.id/cGXgv26wrLtaQJG2ILTGSRlVTPI=/1024x718/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F19%2Fe784365f-1bf7-46c5-9c89-833ebf8d05ce_jpg.jpg

Ibu dan bapak saya merupakan guru yang mengabdi puluhan tahun di dunia pendidikan. Ketika saya masih kanak-kanak, kami tinggal di perumahan sekolah tempat ibu mengabdi. Kondisi tersebut membuat saya mendapat privilese kecil, membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka dengan label di kover “Milik Negara, Tidak Diperjualbelikan” yang merupakan milik sekolah, yang bahkan sering kali teronggok di kardus, tak menarik dijamah orang lain, sebab ketika itu perpustakaan sekolah tak berfungsi dengan baik.

Selain itu, bapak dan ibu saya juga menyisihkan gajinya yang tak seberapa itu untuk berlangganan majalah Bobo yang legendaris. Juga sesekali mengajak saya dan adik ke toko buku untuk mencari bahan bacaan menarik. Dengan keterbatasan finansial, tak banyak bahan bacaan yang dapat dibeli.

 

Membaca buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah dan membaca majalah Bobo menjadi salah satu penghiburan terbaik di masa kecil, menjadi pintu masuk pertama untuk mengenal dunia yang kompleks. Pengalaman tumbuh bersama buku sangat penting untuk diri saya.

Baca juga: Optimalnya Peran Perpustakaan untuk Menumbuhkan Literasi

Berkaca dari pengalaman tersebut, saya berpendapat bahwa anak-anak Indonesia harus tumbuh bersama buku-buku berkualitas. Namun, sudah pengetahuan umum, buku-buku bukan hal yang dapat ditemukan dengan mudah di perpustakaan sekolah-sekolah di Indonesia, apalagi di rumah-rumah.

Jika melakukan riset di sekolah, pertanyaan yang sering saya tanyakan adalah di mana perpustakaan sekolah? Tak banyak kepala sekolah atau guru yang menjawab dengan cepat. Mereka biasanya menyampaikan bahwa ada perpustakaan, tetapi ketika ditelusur, perpustakaannya tutup dan tidak dimanfaatkan anak-anak untuk membaca.

Anak-anak membaca buku yang dibawa motor layanan perpustakaan keliling Sudin Perpustakaan dan Kearsipan (Sudin Pusip) di SDN 04 Pondok Bambu, Jakarta, Rabu (26/10/2022).

KOMPAS/RIZA FATHONI

Anak-anak membaca buku yang dibawa motor layanan perpustakaan keliling Sudin Perpustakaan dan Kearsipan (Sudin Pusip) di SDN 04 Pondok Bambu, Jakarta, Rabu (26/10/2022).

Menghadirkan buku

Tahun lalu saya berkesempatan melakukan riset terkait literasi di Papua Barat Daya. Oleh sahabat saya, Dayu Rifanto, yang juga aktivis literasi, saya diajak ke Pinjam Pustaka yang dikelolanya di Sorong. Ketika saya datang, ada beberapa anak yang sedang membaca bersama dengan salah satu fasilitator yang menemani. Pinjam Pustaka memiliki ragam koleksi buku anak dan berbagai aktivitas yang mendekatkan anak-anak dengan buku.

Dari informasi yang diberikan Dayu, Pinjam Pustaka memiliki 744 buku bacaan anak dan 459 buku bacaan remaja dan umum. Buku-buku koleksi Pinjam Pustaka didapat dari donasi masyarakat umum sebab Pinjam Pustaka memanfaatkan pengelolaan sosial media secara efektif, konsisten membuka layanan, membuat beragam kegiatan, memublikasikan dan mengomunikasikan berbagai kegiatan secara teratur, serta membuka peluang dukungan buku dari beragam donatur. Yang menarik, buku-buku bacaan awal yang ada merupakan donasi dari BTS Army Indonesia.

Posisi Pinjam Pustaka sangat unik, berada di atas sebuah toko pakaian “Tokitoki”. Dayu bercerita, sang pemilik toko, Danarti Wulandari yang juga aktivis yang peduli pada pendidikan di Tanah Papua, turut berkontribusi memberi ruang bagi anak-anak untuk membaca buku dan melakukan ragam aktivitas literasi di Pinjam Pustaka, di atas tokonya tersebut. Jadi untuk membaca buku-buku, anak-anak masuk melalui toko pakaian yang ramai, baru menjumpai koleksi buku yang ditawarkan Pinjam Pustaka. Tidak lazim memang, tetapi itulah keunikan lokasi Pinjam Pustaka.

Untuk membuat anak-anak nyaman membuka buku, memilih yang mereka suka, dan menjadikan mereka kasmaran terhadap buku (meminjam istilah dari Iwan Pranoto “kasmaran berilmu pengetahuan”) butuh proses panjang.

Dari cerita Dayu, tak mudah membuat anak-anak Papua yang ada di sekitar Pinjam Pustaka datang membaca. Pada tahap awal, membuat mereka merasa nyaman datang berkunjung menjadi utama. Selanjutnya, meyakinkan anak-anak bahwa membaca merupakan bagian penting dalam kehidupan mereka.

Untuk membuat anak-anak nyaman membuka buku, memilih yang mereka suka, dan menjadikan mereka kasmaran terhadap buku (meminjam istilah dari Iwan Pranoto “kasmaran berilmu pengetahuan”) butuh proses panjang. Demikian juga menghadirkan fasilitator tangguh yang menemani anak-anak untuk tekun membaca bukan perkara mudah.

Dua fasilitator lokal, Grace Burdam dan Gres Titiahy, yang baru saja lulus dari salah satu universitas di Sorong, setia menemani anak-anak yang membaca. Kehadiran mereka memberi warna pada penguatan literasi yang dilakukan Pinjam Pustaka.

Ruang tumbuh anak-anak Indonesia perlu diwarnai buku-buku bacaan yang menjadikan mereka kaya perspektif. Selain mendapatkan pengetahuan, melalui membaca, anak-anak mendapatkan penghiburan.

Siswa kelas 2 SD Inpres 14 Ende di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, antusias memilih buku bacaan yang diminati, 14 September 2018. Dengan dukungan Taman Bacaan Pelangi, 38 SD di Kabupaten Ende dibantu mengembangkan perpustakaan sekolah ramah anak untuk meningkatkan minat baca siswa sejak dini.

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Siswa kelas 2 SD Inpres 14 Ende di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, antusias memilih buku bacaan yang diminati, 14 September 2018. Dengan dukungan Taman Bacaan Pelangi, 38 SD di Kabupaten Ende dibantu mengembangkan perpustakaan sekolah ramah anak untuk meningkatkan minat baca siswa sejak dini.

Ada kisah menarik yang diceritakan Azar Nafisi dalam bukunya Read DangerouslyThe Subversive Power of Literature in Troubled Times. Ia menulis, “Membaca dan menulis telah melindungi saya melalui momen-momen terburuk dalam hidup saya, melalui kesepian, teror, keraguan, dan kecemasan. Dan mereka juga memberi saya mata baru untuk melihat, baik tanah air saya maupun negara yang saya pilih saat ini.” Nafisi, penulis asal Iran yang menetap di Amerika Serikat, memiliki kisah pilu di masa lalu. Ia berkisah bahwa melalui membaca dan menulis, dirinya dapat melalui masa-masa sulitnya.

Anak-anak yang didampingi Pinjam Pustaka, misalnya, yang memiliki keterbatasan sosial ekonomi. Anak-anak itu menghadapi hidup yang tak mudah. Namun, ketika membolak-balik buku, membaca ceritanya dengan lantang, tertawa akibat buku-buku yang lucu, mewarnai, atau berkenalan dengan teman-teman lain yang datang, mereka mendapat kebahagiaan-kebahagiaan kecil dan mampu melupakan sejenak kesulitan hidup mereka. Pertemuan-pertemuan kecil anak-anak dengan buku menjadi bagian dari aktivitas kebudayaan penting untuk membangun peradaban.

Baca juga: Mengurai Benang Kusut Krisis Literasi

Upaya yang harus dilakukan

Secara struktural, untuk menopang budaya baca di masyarakat, intervensi pemerintah menjadi utama. Jika diamati, berbagai program sudah hadir untuk penguatan literasi masyarakat, tetapi memang masih sangat memerlukan penguatan. Di level sekolah, misalnya, sudah ada Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah yang bertujuan menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran berbudaya literasi dan membentuk warga sekolah yang literat dalam baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, budaya, dan kewargaan.

Selain itu, terdapat Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional (2017) yang berupaya menjadikan literasi sebagai kecakapan hidup dan gerakan nasional melalui Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi Masyarakat. Terbaru, kebijakan Merdeka Belajar Episode 23 “Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia” berfokus pada pengiriman buku bacaan bermutu untuk jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD) yang disertai dengan pelatihan bagi guru. Namun, tantangannya adalah membuat program-program tersebut mengakar dan terimplementasi dengan optimal dan konsisten.

Jika pemerintah serius ingin mengkreasi peradaban terbaik, Generasi Emas Indonesia 2045, maka menghadirkan buku-buku berkualitas bagi setiap anak bangsa menjadi kewajiban yang tak bisa ditinggalkan.

Secara personal dan kelembagaan, peluang untuk mendapatkan donasi buku sangat terbuka. Beberapa kali teman baik yang bekerja di penerbitan memberi peluang untuk membantu rekan-rekan guru atau komunitas yang membutuhkan buku-buku bacaan untuk sekolah atau komunitasnya.

Secara personal, saya kenal beberapa rekan yang tekun membantu komunitas perbukuan dengan kocek pribadinya. Saat ini yang dikeluhkan adalah mahalnya ongkos kirim sebab program free cargo literacy yang menjadi penghubung bagi terkirimnya buku-buku ke berbagai pelosok Tanah Air sudah terhenti. Akan sangat baik jika program tersebut dihidupkan kembali.

Perspektif baru salah satunya bisa hadir ketika anak-anak berkesempatan membaca beragam buku bermutu. Menyiapkan perpustakaan dengan buku-buku yang menarik berarti membangun peradaban bangsa ini. Seperti dikutip Nafisi dalam bukunya, “Membaca, seperti diungkap Ray Bradbury dalam sebuah wawancara, berada di pusat kehidupan kita. Perpustakaan adalah otak kita. Tanpa perpustakaan, Anda tidak memiliki peradaban”,

Maka, jika pemerintah serius ingin mengkreasi peradaban terbaik, Generasi Emas Indonesia 2045, maka menghadirkan buku-buku berkualitas bagi setiap anak bangsa menjadi kewajiban yang tak bisa ditinggalkan dan harus ditunaikan. Buku-buku ini yang akan membawa terang peradaban Indonesia.

Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

Anggi Afriansyah

TWITTER ANGGI AFRIANSYAH

Anggi Afriansyah

 
Editor: YOVITA ARIKA