Kekerasan berbasis jender terkait kepemiluan berpotensi terjadi pada calon anggota legislatif, tim sukses, dan pemilih.

BANDA ACEH, KOMPAS — Praktik kekerasan berbasis jender terhadap perempuan saat pemilu rawan terjadi. Sayangnya, belum ada mekanisme pelaporan dan pencegahannya. Kekerasan berbasis jender terkait pemilu dapat berdampak pada minimnya partisipasi perempuan dalam pemilu.

Koordinator Program Kalyanamitra Lailatin Mubarokah dalam Workshop Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan dalam Pemilu, Rabu (7/2/2024), di Banda Aceh, mengatakan, kekerasan berbasis jender berpotensi terjadi, seperti narasi kebencian, kekerasan fisik, intimidasi, kekerasan seksual, hingga pemaksaan memilih calon tertentu.

Baca juga: Capres Sudah Singgung Isu Perempuan, tapi Belum Sentuh Akar Persoalannya

”Banyak potensi kecurangan dalam pemilu, bisa jadi ada sebagian adalah kekerasan pada perempuan. Ini akan berdampak pada minimnya partisipasi perempuan terhadap pemilu,” kata Lailatin.

Kekerasan berbasis jender terkait kepemiluan dapat terjadi sejak tahapan prapemilu, masa kampanye, pemungutan suara, dan pascapemilu. Pada tahapan penetapan daftar urut calon anggota legislatif (caleg)), banyak perempuan tidak diberikan nomor urutan atas karena dianggap tidak layak.

Pada masa kampanye, perempuan juga berpotensi mengalami intimidasi agar memilih calon tertentu dengan ancaman jika tidak memilih, maka bantuan sosial akan dihapus.

”Selama ini tidak mekanisme perlindungan dan penanganan kekerasan berbasis jender dalam pemilu,” kata Lailatin.

Workshop tersebut diikuti oleh para perempuan caleg, perempuan pekerja sosial, dan perempuan jurnalis. Acara tersebut untuk mendokumentasikan bentuk kekerasan berbasis jender terkait kepemiluan yang ditemukan dan dirasakan oleh perempuan. Pencatatan serupa dilakukan di DKI Jakarta, Ambon, dan Makassar.

https://cdn-assetd.kompas.id/Ggzo3tIXo3shV73pFeuV0EjNsrw=/1024x1169/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F10%2F158e0664-df41-458a-b76b-356ba43684b1_png.png

Iklan

Kalyanamitra menyusun 47 indikator potensi bentuk kekerasan berbasis gender terkait kepemiluan. Potensi kekerasan tersebut dapat dialami oleh perempuan anggota partai politik, perempuan calon anggota legislatif, tim sukses calon, masyarakat pemilih, hingga pekerja profesional.

”Catatan dokumentasi indikator akan menjadi basis data bagi Kalyanamitra menyusun mekanisme pencegahan kekerasan dalam pemilu. Kami akan menyerahkan catatan ini kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,” kata Lailatin.

Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati mengatakan, kekerasan berbasis jender terkait kepemiluan berpotensi terjadi di ranah domestik dan ruang publik. Di ruang domestik, misalnya, perempuan rawan dipaksa untuk mengikuti pilihan calon suami.

Baca juga: Narasi Perlindungan Perempuan Dinilai Hampir Tak Pernah Muncul di Pemilu

”Dalam pemilu, kekerasan terhadap perempuan dan anak juga terjadi, tetapi sayangnya tidak banyak yang memantau,” kata Riswati.

Riswati mengatakan, perlu pemantauan dan kampanye pencegahan kekerasan berbasis jender terkait kepemiluan agar perempuan dapat berkontribusi maksimal terhadap pemilu.

Adanya ketidakberpihakan pada perempuan. Caleg perempuan banyak hanya dijadikan sebagai pelengkap. Jadi, tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga ketidakadilan dalam memberikan peluang.

Kelompok perempuan di akar rumput kerap dijadikan sasaran eksploitasi untuk kepentingan pemenangan calon tertentu. Perempuan sering diimingi bantuan tertentu agar memilih calon tertentu. Praktik seperti ini justru membuat perempuan kehilangan daya kritis terhadap calon.

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak KPU untuk segera merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 di kantor KPU, Jakarta, Sabtu (13/5/2023). Tuntutan ini bertujuan agar terwujud pemenuhan hak politik perempuan dan meminimalkan terjadinya instabilitas politik yang berujung pada wacana penundaan Pemilu 2024.

KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak KPU untuk segera merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 di kantor KPU, Jakarta, Sabtu (13/5/2023). Tuntutan ini bertujuan agar terwujud pemenuhan hak politik perempuan dan meminimalkan terjadinya instabilitas politik yang berujung pada wacana penundaan Pemilu 2024.

Direktur Forum LSM Aceh Sudirman mengatakan, ketidakberpihakan terhadap perempuan juga dilakukan oleh partai politik. Misalnya perempuan hanya dijadikan pelengkap kuota 30 persen calon perempuan. ”Adanya ketidakberpihakan pada perempuan. Perempuan caleg banyak yang hanya dijadikan sebagai pelengkap. Jadi, tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga ketidakadilan dalam memberikan peluang,” kata Sudirman.

Pada Pemilu 2024 yang digelar pada 14 Februari, sebanyak 204.807.222 orang akan memberikan hak suara, separuh di antaranya adalah pemilih perempuan.