Undang-undang yang ada belum spesifik dan komprehensif mengatur perlindungan guru. Perlu UU Perlindungan Profesi Guru.

 
Oleh:
SUMARDIANSYAH PERDANA KUSUMA

https://cdn-assetd.kompas.id/mgPO5iN7rdexmvVJx_CUAtcBbS0=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F30%2F61e48903-9feb-4459-8c40-4bad22397439_jpg.jpg

Dewasa ini ditemukan fenomena guru yang berhadapan dengan proses hukum. Ironisnya, kebanyakan justru menimpa guru pada saat menjalankan tugasnya di sekolah. Di SMKN 1 Taliwang, Sumbawa Barat, guru Agama, Akbar Sarosa, yang menghukum muridnya karena tidak shalat dilaporkan ke polisi dan dituntut ganti rugi senilai Rp 50 juta karena dianggap melakukan kekerasan kepada murid.

Lalu, di SDN Sungai Naik, Musi Rawas, guru honorer Sularno divonis 6 bulan penjara dan didenda Rp 60 juta oleh majelis hakim karena mendisiplinkan murid yang tidak mengerjakan tugas. Di SMAN 7 Rejang Lebong, Bengkulu, guru olahraga Zaharman bernasib lebih tragis setelah dianggap menendang murid yang merokok di lingkungan sekolah, matanya dikatapel orangtua murid hingga terancam buta dan dilaporkan ke polisi oleh muridnya atas dugaan kasus penganiayaan.

Kemudian di SMAN 1 Semarang, Kepala Sekolah Kusno disomasi oleh alumni karena berinisiatif menciptakan keamanan di lingkungan sekolah dengan menebang pohon-pohon besar yang berusia puluhan tahun. Belakangan, di Bali, seorang anggota DPD membuat resah dengan melakukan sidak ke sekolah-sekolah dan memarahi guru SMKN 5 Denpasar karena memberikan tugas menulis kepada murid yang terlambat.

Karena itu, diperlukan perangkat perlindungan guru secara hukum ataupun kelembagaan yang memiliki kekuatan dan efektif dalam melindungi guru.

Baca juga: Horor Kekerasan dalam Pendidikan

Yurisprudensi MA

Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap muridnya. Guru juga tidak perlu takut memberikan hukuman kepada murid asalkan hukuman yang diberikan bersifat mendidik.

Hal itu tertera dalam Putusan MA Nomor 1554 K/PID/2013 tentang perkara pidana atas nama Aop Saopudin, guru di Majalengka yang dilaporkan ke polisi karena memberikan hukuman cukur rambut kepada empat muridnya yang berambut gondrong.

Semula, Aop didakwa melanggar dua pasal pada UU Perlindungan Anak.

Pertama, Pasal 77 huruf a yang menyatakan bahwa ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril, sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.”

Kedua, Pasal 80 ayat 1 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.”

Aop juga dijerat dengan Pasal 335 Ayat 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan sehingga pada 2 Mei 2013 Pengadilan Negeri Majalengka memutuskan Aop bersalah dan dikenai hukuman percobaan. Proses banding yang diajukan di Pengadilan Tinggi Bandung justru putusan Majelis Hakim PN Majalengka.

Aop akhirnya berhasil memperoleh keadilan, dia dibebaskan dari segala bentuk dakwaan pada tingkat kasasi setelah Hakim MA membacakan pandangan bahwa Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan muridnya yang berambut gondrong. Apa yang dilakukan Aop sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana sehingga tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatannya itu karena bertujuan untuk mendidik.

https://cdn-assetd.kompas.id/eaf3KNjqm_eNdeJT-lrFUkhjfG4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F20%2Fda618d4b-bafe-4614-93d7-0ac018fa54bf_jpg.jpg

Nota Kesepahaman PGRI dan Polri

Pada 2022, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Polri membuat nota kesepahaman tentang perlindungan hukum profesi guru. Ini merupakan pedoman yang dibuat sebagai bentuk sinergitas dalam rangka melindungi profesi guru secara hukum.

Nota kesepahaman dengan nomor PGRI 606/Um/PB/XXII/2022 dan Polri NK/26/VIII/2022 memiliki ruang lingkup: (1) pertukaran dan pemanfaatan data dan/atau informasi; (2) perlindungan dan penegakan hukum profesi guru, pendidik, dan tenaga kependidikan; (3) bantuan pengamanan; (4) peningkatan kapasitas dan pemanfaatan sumber daya manusia; (5) pemanfaatan sarana dan prasarana.

Secara spesifik perlindungan dan penegakan hukum profesi guru dijelaskan pada Pasal 4 Ayat 1 dan 2 bahwa antara PGRI dan Polri akan bekerja sama melindungi profesi guru, pendidik, dan tenaga kependidikan dari tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari masyarakat.

Lalu mengenai penegakan hukum sebagaimana Pasal 5 Ayat 1, 2, dan 3 disebutkan, apabila PGRI atau Polri menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat adanya dugaan tindak pidana oleh guru, kedua belah pihak akan berkoordinasi dalam rangka penyelidikan. Apabila hasil penyelidikan pidana tidak terbukti, penanganan diserahkan kepada Dewan Kehormatan Guru (DKG), dan apabila terbukti pidana, kepolisian akan melakukan penanganan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Guru pun tidak perlu khawatir karena sebagai warga negara mereka juga berhak mendapatkan keadilan, didampingi oleh organisasi profesi guru dan/atau kuasa hukum.

Bahkan, apabila guru merasa mendapatkan tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari masyarakat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 Ayat 1, 2, 3, dan 4, guru dapat meminta bantuan pengamanan kepada kepolisian baik secara tertutup melalui kegiatan deteksi aksi, penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan maupun pengamanan terbuka dengan kegiatan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli.

Seharusnya dengan adanya nota kesepahaman ini, kepolisian bisa lebih selektif dan bijak dalam menerima laporan atau aduan dari masyarakat, jangan sampai mengambil tindakan represif kepada guru sebelum berkoordinasi dengan organisasi profesi guru. Begitu juga fungsi DKG harus dihidupkan dan diperkuat keberadaannya.

Guru pun tidak perlu khawatir karena sebagai warga negara mereka juga berhak mendapatkan keadilan, didampingi oleh organisasi profesi guru dan/atau kuasa hukum, membela diri saat ada pelaporan, melaporkan balik, ataupun meminta perlindungan dari kepolisian.

https://cdn-assetd.kompas.id/VDMQpPcdbdWUOcdOZ8FZeNVNcPc=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F30%2F3f555660-dfd5-4f67-a72e-7cf34c21966a_jpg.jpg

Undang-Undang Perlindungan Guru

Selain Yurisprudensi MA dan Nota Kesepahaman PGRI-Polri, upaya memberikan perlindungan terhadap guru juga sudah dimulai dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 20/2023 tentang ASN, dan Permendikbud No 10/2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Namun, di antara UU yang ada tersebut, ketentuan mengenai perlindungan guru belum spesifik dan komprehensif diatur. Sementara peraturan operasional berupa permendikbud justru sering kali tidak berfungsi karena harus bersinggungan dengan peraturan lain, seperti KUHP atau UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

Karena itu, disarankan agar perlindungan guru dibuatkan peraturan tersendiri dalam bentuk UU Perlindungan Profesi Guru. Mengingat profesi guru sebagai officium nobile (profesi mulia dan terhormat), maka marwahnya harus senantiasa terjaga. Negara harus mengambil peran strategis dalam menjaga profesi guru. Sebab, masalah yang menimpa guru dalam persoalan hukum sudah mencapai tahap mengkhawatirkan.

Baca juga: Keseiramaan Guru dan Orangtua

Kewibawaan guru di sekolah seolah tergadaikan karena diintervensi atau dicampuri urusannya oleh pihak luar dan mereka yang memiliki relasi kuasa. Guru merasa terancam dan tidak merdeka lagi dalam menjalankan tugasnya mengajar dan mendidik. Mereka dihantui oleh kekhawatiran adanya laporan orangtua atau murid disebabkan tudingan atas perlakuan guru di sekolah.

Dalih pidana ataupun perlindungan atas hak anak yang dijamin UU menjadi senjata untuk menekan guru apabila ada satu tindakan oleh guru tidak diterima oleh murid atau orangtua. Rumitnya ada ranah abu-abu yang kadang kala menimbulkan kontroversi (seperti kasus Aop Saopudin) daripada memperlihatkan secara tegas mana benar mana salah, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan guru. Harmonisasi antarperaturan perundang-undangan juga perlu dilakukan untuk menghindari tumpang tindih dan ketidaksinkronan dalam penafsiran serta penerapannya.

Komisi Perlindungan Guru

Hal penting apabila gagasan UU Perlindungan Profesi Guru disambut positif dan bisa segera diinisiasi oleh organisasi profesi guru, Komisi X DPR, Kemendikbudristek, Kemenag, Kemenpan RB, di UU tersebut harus tercantum klausul pembentukan Komisi Perlindungan Guru Indonesia yang bersifat independen, berisikan para ahli dan praktisi pendidikan, dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Harapan besar dari pembentukan Komisi Perlindungan Guru Indonesia paling tidak ada tujuh. Pertama, melakukan monitoring dan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak guru. Kedua, memberikan masukan dan usulan dalam merumuskan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan guru.

Inisiasi pembentukan UU dan Komisi Perlindungan Guru Indonesia merupakan tanggung jawab moral yang harus diperjuangkan oleh semua pihak yang peduli terhadap perlindungan profesi guru.

Ketiga, mengumpulkan data dan informasi, serta melakukan kajian mengenai perlindungan guru. Keempat, menerima dan menelaah pengaduan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran hak guru. Kelima, melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak guru.

Keenam, bekerja sama dengan organisasi profesi guru dan aparat penegak hukum dalam melindungi guru. Ketujuh, mengedepankan pendekatan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana melalui dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait.

Inisiasi pembentukan UU dan Komisi Perlindungan Guru Indonesia merupakan tanggung jawab moral yang harus diperjuangkan oleh semua pihak yang peduli terhadap perlindungan profesi guru. Sebagai langkah politis perlu ada pendekatan kepada pemerintah disertai pengajuan naskah akademis mengenai perlunya UU Perlindungan Profesi Guru dan Komisi Perlindungan Guru Indonesia. Bisa dipastikan inisiasi kita hari ini akan berdampak terhadap nasib guru Indonesia di hari depan.

Sumardiansyah Perdana Kusuma, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, Pendiri Pusat Studi Pendidikan Publik

Sumardiansyah Perdana Kusuma

ARSIP PRIBADI

Sumardiansyah Perdana Kusuma

Editor: YOVITA ARIKA