Pakar hukum berharap MK memperjuangkan keadilan substantif sehingga tidak hanya sekadar mengadili hasil di Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diharapkan tidak menjadi ”mahkamah kalkulator” yang hanya mengadili hasil penghitungan suara dalam Pemilu 2024. Mahkamah Konstitusi diharapkan mengambil peran lebih esensial dari itu, yakni menangani kecurangan dalam proses atau tahapan pemilihan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto saat dihubungi di Jakarta, Minggu (11/2/2024), mengatakan, ada dua problem yang membuat Mahkamah Konstitusi (MK) justru dipersepsikan sebagai ”mahkamah kalkulator”. Problem pertama, UUD 1945 diinterpretasikan secara gramatikal sehingga MK hanya berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan presiden (pilpres).
”Tak heran, ranah MK hanya berhubungan dengan angka-angka atau disebut paradigma mahkamah kalkulator,” ujar Aan.
Baca juga: Pojok Pemilih
ARSIP PRIBADI
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto
Padahal, dalam ranah mengadili perselisihan hasil pemilu, MK perlu ditempatkan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution). MK seharusnya memperjuangkan keadilan substantif sehingga tidak hanya sekadar mengadili hasil. Dengan begitu, dalam mengadili hasil, itu harus dimaknai pula sampai pada menelaah ke prosesnya.
”Tidak bisa hanya melihat hasilnya. Tetapi, kalau hasil itu dihasilkan oleh proses yang salah, tentunya mahkamah juga harus melihat potensi pelanggaran asas pemilu yang adil dalam proses ini,” ucap Aan.
Tidak bisa hanya melihat hasilnya. Tetapi, kalau hasil itu dihasilkan oleh proses yang salah, tentunya mahkamah juga harus melihat potensi pelanggaran asas pemilu yang adil dalam proses ini.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Tiga pasangan capres dan cawapres, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, berkumpul dan berbincang sejenak dalam acara Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Juang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Menurut Aan, kemungkinan besar dua hal itu bakal banyak dilaporkan dalam perselisihan hasil pilpres nanti. Apalagi, ini melihat salah satu kandidat yang maju merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. ”Inilah kesempatan terakhir dari MK untuk membuktikan bahwasanya MK betul-betul sebagai penjaga konstitusi. Jangan sampai ikut campur dalam pemilu. Kalau kepercayaan publik hilang, itu akan berbahaya terhadap proses demokrasi. Ini yang harapan kita tidak terjadi,” tuturnya.
Ketua Pusat Studi Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yance Arizona memprediksi, pencalonan Gibran akan dipersoalkan dan sangat berpotensi muncul dalam sengketa pemilu tahun ini. Dalam sengketa Pemilu 2019, persoalan serupa sebenarnya sudah muncul, tetapi tidak terbukti.
Pada Pemilu 2019, sengketa pilpres di MK diwarnai masalah cacat formil syarat calon wakil presiden, yaitu Ma’ruf Amin, yang tidak mundur dari jabatannya di Badan Usaha Milik Negara (Dewan Pengawas Syariah dari Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah).
Ia menambahkan, isu pelanggaran TSM juga ramai dibicarakan dalam pemilu kali ini. Namun, perlu diingat, pelanggaran TSM itu merupakan domain Bawaslu. ”Kalau kandidat pilpres sudah membayangkan adanya pelanggaran TSM, tetapi tidak melaporkan ke Bawaslu terlebih dahulu, saya yakin nanti MK akan mempertanyakan juga. Bisa jadi MK tidak akan mengabulkan dalil itu,” katanya.
DOKUMENTASI PRIBADI
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona.
Juru bicara MK, Enny Nurbaningsih, dalam artikel tertanggal 30 September 2023 yang dikutip dari di situs MK, Minggu (11/2/2024), menegaskan bahwa MK memang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hasil. Apabila dibaca dengan cermat UU Pemilu, sesungguhnya UU tersebut sudah membagi habis semua kewenangan.
”Kewenangan KPU tegas, apalagi Bawaslu, MK itu adanya di ujung, yaitu terkait dengan perselisihan hasil. Hasil itu keluarnya angka-angka yang ditetapkan oleh KPU. Ini yang kadang-kadang oleh beberapa orang bilang MK itu kayak ’mahkamah kalkulator’ begitu, lho, yang dihitung itu cuma angka-angka. Jangan melihatnya secara sempit seperti itu. Kenapa? Karena memang yang diberikan oleh konstitusi ataupun undang-undang adalah penyelesaian perselisihan hasil,” tutur Enny.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih