Skema pembayaran uang kuliah tunggal via pindar dengan bunga tentu tidaklah etis dan tak memberikan jalan keluar.

 
Oleh:
CECEP DARMAWAN

https://cdn-assetd.kompas.id/-G543rJwfgfRGeMqCbig5Ll3TyU=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F01%2F4775a585-cf88-40f1-b4ea-cc8d554bdb42_jpg.jpg

Persoalan uang kuliah tunggal atau UKT serta hak pendidikan mahasiswa akan jadi isu yang terus berulang dan akan menjadi preseden buruk dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Benar saja, di awal tahun 2024, polemik soal UKT ini kembali mencuat.

Alih-alih membenahi akar persoalan, tawaran kebijakan kampus yang diberikan justru menuai kontroversi. Kampus justru menawarkan skema pinjaman daring atau pindar—juga dikenal sebagai pinjaman online atau pinjol—dari pihak ketiga dengan bunga yang cukup tinggi guna menyelesaikan persoalan pembayaran UKT mahasiswa.

Sungguh ironis, di perguruan tinggi yang diharapkan menjadi perguruan tinggi kelas dunia (world class university), kebijakan yang diberikan justru tidak sejalan dengan koridor akademik.

Selain itu, skema pembayaran UKT via pindar dengan bunga ini tentu tidaklah etis dan tak memberikan jalan keluar. Kebijakan ini hanya akan menjadi jebakan bom waktu yang siap meledak di kemudian hari. Efek dominonya akan terasa ketika para mahasiswa mulai terjerat utang pindar plus bunga yang harus dibayarkan.

Kondisi ini tentu sangat miris di tengah angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK PT) di Indonesia masih begitu rendah, yakni baru 31,45 persen berdasarkan data BPS tahun 2023. Artinya, masih ada 68,55 persen siswa lulus SLTA yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Dengan kondisi ini, tentu tidak mengherankan jika Presiden Joko Widodo, beberapa minggu lalu, dalam sebuah forum merasa kaget dengan rasio penduduk berpendidikan tinggi terhadap populasi produktif di Indonesia yang masih sangat rendah, bahkan tertinggal, dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia.

Kebijakan ini hanya akan menjadi jebakan bom waktu yang siap meledak di kemudian hari.

Kembali pada regulasi

Melihat persoalan ini, kampus harus segera mencari solusi yang saling menguntungkan (win-win solution) agar tidak jadi polemik berkepanjangan dan menghambat perkuliahan mahasiswa.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun harus mengevaluasi kebijakan UKT mahasiswa yang terus naik berkali lipat setiap tahun. Dibutuhkan alternatif permanen agar persoalan UKT mahasiswa ini tidak terus berulang.

Dari aspek regulasi, Pasal 76 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) menyebutkan dalam Ayat (1) bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi (PT) berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.

Adapun mekanismenya diatur dalam Ayat (2), yakni bahwa pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: a) beasiswa kepada mahasiswa berprestasi; b) bantuan atau membebaskan biaya pendidikan, dan/atau; c) pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

Berdasarkan ketentuan di atas, skema pembayaran UKT via pindar dengan bunga tentu berpotensi melanggar UU Dikti. Meskipun pada dasarnya pemenuhan hak mahasiswa, termasuk pembayaran UKT, dapat dilakukan dengan memberikan pinjaman dana, hal itu wajib dilakukan tanpa bunga.

Kampus semestinya lebih kreatif dan solutif dalam menyelesaikan permasalahan UKT mahasiswa ini. Tanpa difasilitasi kampus, mahasiswa secara mandiri pun bisa melakukan pinjaman daring.

https://cdn-assetd.kompas.id/JEGRtDDBzZfQ8C6OJFEn85jAUpA=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F20%2F1ea1b076-d33d-424d-ba87-fdc20f71bb67_jpg.jpg

Kampus sebaiknya jangan berpangku tangan pada solusi pinjaman bagi mahasiswa meski tanpa bunga sekalipun. Masih banyak alternatif yang dapat dilakukan oleh kampus untuk menyelesaikan permasalahan UKT mahasiswa.

Misalnya, dengan menjalankan amanat Permendikbud No 25/2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud.

Pada Pasal 9 Ayat (4) permendikbud ini disebutkan bahwa dalam hal mahasiswa, orangtua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa mengalami penurunan kemampuan ekonomi—antara lain karena bencana alam dan/atau non-alam—mahasiswa dapat mengajukan: a) pembebasan sementara UKT; b) pengurangan UKT; c) perubahan kelompok UKT; atau d) pembayaran UKT secara mengangsur.

Begitu pun pada Pasal 12 Permendikbud No 25/2020 disebutkan, dalam hal penghitungan besaran UKT terdapat: a) ketidaksesuaian data dengan fakta terkait ekonomi mahasiswa, orangtua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa; atau b) perubahan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai, pemimpin PTN dapat menurunkan atau menaikkan besaran UKT melalui penetapan ulang pemberlakuan UKT pada mahasiswa.

Berbagai ketentuan itu semestinya dijalankan secara imperatif oleh setiap PTN di lingkungan Kemendikbudristek. Kampus wajib melakukan verifikasi atau peninjauan ulang terhadap perhitungan ulang besaran UKT yang diajukan oleh mahasiswa setiap tahun, atau bahkan setiap semester.

Kampus sebaiknya jangan berpangku tangan pada solusi pinjaman bagi mahasiswa meski tanpa bunga sekalipun.

Bahkan, Permendikbud No 25/2020 itu perlu direvisi dengan mencantumkan ketentuan baru, yakni adanya sanksi administratif jika kampus tidak menjalankan ketentuan verifikasi ulang terhadap besaran UKT mahasiswa.

Sanksi administratif itu, misalnya, dapat dijatuhkan kepada PT, yakni berupa penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk PT dan penurunan tingkat akreditasi untuk PT. Atau, dapat dijatuhkan sanksi administratif terhadap pimpinan kampus berupa teguran tertulis dan penghentian dari jabatan pimpinan PT.

Selain itu, perlu ada ketentuan yang mewajibkan kampus melaporkan hasil verifikasi ulang besaran UKT mahasiswa setiap tahun atau bahkan tiap semester.

Adanya berbagai ketentuan di atas merupakan bentuk pemantauan dan evaluasi yang bisa dilakukan oleh Kemendikbudristek agar permasalahan UKT mahasiswa tidak terus berulang.

Hal ini karena ada indikasi atau dugaan bahwa berbagai ketentuan dalam Permendikbud No 25/2020 tidak dijalankan sepenuhnya oleh kampus. Kampus sering kali hanya memberikan kebijakan berupa cicilan atau angsuran UKT dan pinjaman dana bagi mahasiswa untuk membayar UKT. Padahal, mahasiswa yang mengalami kondisi penurunan ekonomi pun berhak mendapatkan pengurangan ataupun perubahan besaran UKT sesuai kondisi ekonominya.

https://cdn-assetd.kompas.id/_lg-BK5lIkGEcHjaGPTmdvkF42U=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F12%2Fc804cfdc-e63d-43cf-8d1d-81e87321a9fd_jpg.jpg

Kembali ke asas dan prinsip

Di samping solusi di atas, kampus semestinya mengingat kembali asas dan prinsip utama dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pada Pasal 3 Huruf i UU Dikti disebutkan, salah satu asas pendidikan tinggi ialah ”keterjangkauan”.

Adapun Penjelasan Pasal 3 Huruf i UU Dikti menyebutkan, yang dimaksud dengan ”asas keterjangkauan” adalah bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya.

Hal ini untuk menjamin warga negara yang memiliki potensi dan kemampuan akademik memperoleh pendidikan tinggi tanpa hambatan ekonomi.

Selain itu, dalam Pasal 6 Huruf i UU Dikti disebutkan, salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi ialah keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi.

Asas dan prinsip ini sejatinya harus menjadi pedoman dan koridor utama bagi kampus untuk menentukan kebijakan UKT mahasiswa. Asas keterjangkauan dan prinsip keberpihakan terhadap masyarakat marjinal yang kurang mampu secara ekonomi harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan besaran UKT mahasiswa.

Skema pembayaran UKT via pindar dengan bunga jelas tidak selaras dengan asas keterjangkauan dan prinsip keberpihakan kampus terhadap mahasiswa yang lemah secara ekonomi.

Sebaliknya, kampus telah melakukan bentuk komodifikasi pendidikan dengan menempatkan mahasiswa sebagai konsumen dan pihak pindar sebagai produsen yang sedang meraup keuntungan dari derita mahasiswa dan orangtuanya.

Atas dasar ketentuan di atas, kebijakan skema pembayaran UKT via pindar dengan bunga tak mencerminkan fungsi dan peranan utama PT.

Dengan kembali pada asas dan prinsip di atas, pada hakikatnya kampus telah menjalankan misi sosial utamanya: membuka aksesibilitas pendidikan tinggi yang terjangkau dan berkualitas seluas-luasnya bagi masyarakat sebagai legacy utama kampus bagi bangsa dan negara.

Terakhir, kampus harus mengingat kembali fungsi dan peranannya sebagaimana amanat Pasal 58 Ayat (1) UU Dikti bahwa PT melaksanakan fungsi dan peran sebagai: a) wadah pembelajaran mahasiswa dan masyarakat; b) wadah pendidikan calon pemimpin bangsa; c) pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; d) pusat kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran; dan e) pusat pengembangan peradaban bangsa.

Atas dasar ketentuan di atas, kebijakan skema pembayaran UKT via pindar dengan bunga tak mencerminkan fungsi dan peranan utama PT. Kebijakan ini jelas tak memberikan pembelajaran kepada mahasiswa dan masyarakat, bahkan tidak selaras dengan nilai-nilai akademis dan peradaban bangsa yang berlandaskan Pancasila.

Kampus dengan kebijakan seperti ini hanya akan melahirkan mahasiswa sebagai generasi yang terjerat utang pindar dan bukan sebagai calon pemimpin bangsa. Bahkan, kebijakan ini hanya akan menempatkan kampus sebagai ”mercusuar pindar”.

Baca juga: Biaya Kuliah Makin Tinggi, PTN Badan Hukum Perlu Dikaji

Baca juga: Pinjaman Daring agar Mahasiswa Lancar Bayar Uang Kuliah

Cecep DarmawanGuru Besar dan Ketua Program Studi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN