Memasuki tahun pemilu dan pemilihan kepala daerah di 2024, tekanan politik terhadap Mahkamah Konstitusi dipastikan akan semakin menguat. Demikian pula berbagai gangguan terhadap independensi kekuasaan kehakiman juga berpotensi membesar.

Meskipun saat ini lembaga pengawas sekaligus penjaga etika hakim konstitusi sudah dibentuk, sejumlah pihak masih pesimistis bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) nantinya dapat bekerja secara efektif. Keberadaan MKMK hanya sedikit melegakan karena masyarakat kini memiliki tempat atau kanal untuk menyalurkan pengaduan atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh sembilan hakim konstitusi.

Demikian benang merah pendapat dari dua pakar hukum tata negara, yaitu Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Iwan Satriawan dan Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan HAM Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yance Arisona, yang dikutip Kompas, Senin (1/1/2024). Keduanya memaparkan refleksinya atas MK sepanjang 2023 dan outlook MK 2024 dalam dua acara terpisah, akhir pekan ini.

Dalam paparannya, Yance mengungkapkan data statistik kinerja MK. Sepanjang 2023, MK telah memutus 137 perkara yang terdiri dari pengujian materiil 127 perkara, pengujian formil 8 perkara, dan gabungan keduanya (materiil/formil) 2 perkara. Pengujian formil diajukan terkait adanya permasalahan dalam proses pembentukan undang-undang, pengajuan terbaik terkait UU Pengesahan Perppu Cipta Kerja.

Hakim konstitusi menyanyikan "Indonesia Raya" saat pelantikan Suhartoyo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028 di Gedung MK, Jakarta, Senin (13/11/2023).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Hakim konstitusi menyanyikan "Indonesia Raya" saat pelantikan Suhartoyo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028 di Gedung MK, Jakarta, Senin (13/11/2023).

Dari sisi kategori perkara, undang-undang yang paling banyak diuji adalah undang-undang yang berkaitan dengan politik dan pemilu (41 perkara), disusul ekonomi dan hukum pidana (masing-masing 15 perkara), dilanjutkan kekuasaan kehakiman (14 perkara), serta hak asasi manusia dan kebebasan sipil (13 perkara), pemerintahan daerah dan desa (enam perkara), serta lain-lain.

Di bidang politik dan pemilu, persoalan yang dibawa ke MK, antara lain, terkait syarat batas usia minimal dan maksimal calon presiden dan wakil presiden, pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik, batasan dua periode presiden/wakil presiden pada kedudukan yang sama untuk mencalonkan pada kesempatan berikutnya, presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden, serta sistem pemilu.

Dari jumlah putusan tersebut, MK paling banyak mengeluarkan putusan dengan amar ditolak (49 perkara), tidak dapat diterima (42 perkara), ketetapan/ditarik kembali (25 perkara), ditolak dan tidak diterima (8 perkara), dikabulkan dan ditolak (6 perkara), dikabulkan (lima perkara), dan lainnya (2 perkara). Secara total, hanya ada 13 perkara yang dikabulkan MK dari 137 perkara yang diputus tahun lalu.

Paling sering membolos

Yance juga mencatat hakim yang paling sering membolos dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) pengambilan putusan terhadap suatu perkara yang ditangani.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menyampaikan keterangan pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023).

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menyampaikan keterangan pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Mantan Ketua MK Anwar Usman tercatat paling sering absen dari RPH (28 kali), disusul Wahiduddin Adams (16 kali), Manahan Sitompul (15 kali), Enny Nurbaningsih (11 kali), M Guntur Hamzah (7 kali), Daniel Yusmic P Foekh (3 kali), dan Saldi Isra (2 kali).

”Anwar Usman adalah hakim yang paling sering tidak ikut dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutuskan perkara. Yang paling sering hadir hakim Suhartoyo. kalau kita lihat karakternya dalam penanganan perkara antara Anwar Usman dengan Suhartoyo itu kebalikan. Artinya, ketika menjadi hakim konstitusi, Suhartoyo adalah hakim yang paling punya concern dalam penanganan perkara di MK. Mudah-mudahan itu menjadi satu tanda baik untuk memperbaiki MK ke depan,” ujar Yance dalam acara Bulaksumur Legal Outlook 2024 akhir pekan lalu.

Sementara itu, hakim yang tercatat paling banyak mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion adalah Suhartoyo dan Guntur Hamzah (masing-masing enam perkara) dan Saldi Isra (empat perkara).

Yance mencatat, tahun 2023 merupakan tahun di mana independensi MK jatuh di titik nadir karena putusan batas usia capres-cawapres. Ia melihat ada praktik abusive judicial review.

Suasana sidang pada Selasa (16/7/2019) di Mahkamah Konstitusi.

KOMPAS/INGKI RINALDI

Suasana sidang pada Selasa (16/7/2019) di Mahkamah Konstitusi.

Hal ini terlihat dalam dua putusan MK, yaitu 54/PUU-XXI/2023 terkait pengujian UU No 6/2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja. Putusan itu bergeser jauh sekali dari putusan No 91/2020 terkait pengujian formil UU Cipta Kerja, bahkan menjungkirbalikkannya.

Masuknya Guntur Hamzah yang ditunjuk sepihak oleh DPR menggantikan hakim Aswanto mengubah peta dalam perkara 54/2023.

”Kedua, putusan MK yang mengubah syarat batas minimal capres-cawapres (perkara 91/PUU-XXI/2023). Putusan ini telah menjadi skandal yang berujung pada pembentukan Majelis Kehormatan MK,” tuturnya.

Bagi Yance, ada tiga persoalan yang turut menyumbang hal ini, yaitu desain kelembagaan MK yang rapuh, faktor eksternal terkait intensifnya penggunaan MK sebagai bagian dari strategi politik, dan faktor internal terkait dengan keberadaan hakim loyalis kepada institusi pengusung.

Lantas, bagaimana dengan tahun 2024?

Iklan

KOMPAS/SUSANA RITA KUMALASANTI

DPR menyetujui Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah untuk menjadi hakim konstitusi dari DPR menggantikan Wakil Ketua MK saat ini, Aswanto, dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (29/9/2022)

Pesimistis

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Iwan Satriawan sepakat bahwa citra MK mencapai titik nadir pada tahun 2023. Penurunan atau declining MK itu sebenarnya sudah dimulai sejak 10 tahun lalu saat Ketua MK saat itu, Akil Mochtar, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2013. Kemudian, hal ini dilanjutkan dengan penangkapan hakim konstitusi Patrialis Akbar pada 2017, dan sejumlah pelanggaran etik yang dilakukan hakim lainnya.

Pada 2023, kasus pelanggaran etik terus berlanjut dimulai dari terbuktinya Guntur Hamzah dalam kasus pengubahan/manipulasi putusan MK dan skandal ”mahkamah keluarga” akibat putusan 90/2023.

”Ini merupakan puncak declining yang serius dalam hal kapasitas dan integritas hakim MK. Dengan komposisi hakim MK yang ada sekarang, apakah masyarakat bisa berharap MK mampu mengawal konstitusi? Dengan komposisi sekarang, kita akan harap-harap cemas terus,” kata guru besar hukum tata negara tersebut dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2023 Mahutama (Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah) akhir pekan lalu.

Situasi harap-harap cemas tersebut lebih dikarenakan tidak ada jaminan apa yang secara hukum dibayangkan oleh para pengacara ataupun pemohon uji materi ataupun sengketa di MK akan diakomodasi oleh para hakim MK. Iwan kemudian membandingkan MK saat ini dengan MK periode awal berdiri. Pada masa-masa awal keberadaan MK, masyarakat masih bisa berharap ide ataupun gagasannya asal bagus dan dapat dijelaskan secara rasional, bakal diterima oleh para hakim.

https://cdn-assetd.kompas.id/_YeT2bKFtkRHiH48Mn0bwuuvpI8=/1024x3610/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F18%2F611894f9-05e2-480c-8fed-c289a575fcf8_png.png

”Kalau kita sekarang agak pesimistis. Meskipun kita tetap maju (ke MK), tapi kita punya sikap yang pesimistis,” kata Iwan.

Oleh karena itu, ia mengaku tidak heran jika para pengacara yang awalnya meniti karier sebagai pengacara konstitusi pada akhirnya memilih menjadi content creator atau Youtuber. ”Karena apa? Karena kita merasa sehebat apa pun kita berargumentasi di depan MK, kalau mereka sudah punya positioning harus menjadi loyalisnya Presiden dan DPR, ya enggak ada gunanya,” kata Iwan.

Beda halnya dengan Yance, ia merasa masih melihat ada sesuatu yang positif yang dilakukan MK belakangan ini, yaitu pembentukan Majelis Kehormatan MK yang diisi oleh orang-orang berintegritas, seperti I Dewa Geda Palguna (mantan hakim MK) dan Yuliandri (mantan Rektor Universitas Andalas, Padang). Sementara dari unsur hakim konstitusi aktif, ditunjuklah Ridwan Mansyur (mantan Panitera Mahkamah Agung yang baru saja dilantik menjadi hakim MK menggantikan Manahan Sitompul).

Meskipun demikian, keberadaan MKMK saja dinilai belum cukup. Para hakim MK harus tetap menjaga integritas, publik juga turut menjaga dan mengoreksi jika MK melakukan kesalahan. Hal yang positif dari pembentukan MKMK permanen adalah masyarakat sudah memiliki kanal atau tempat untuk mengadukan pelanggaran etik hakim.

https://cdn-assetd.kompas.id/FZkS9IYjefkkUtZGtnrnzQqVgbM=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F25%2F1a95d6dc-ab66-45f2-ad5b-ddec2d1934a6_jpg.jpg

Namun, dengan kewenangannya yang terbatas, MKMK dinilai tak akan bisa bekerja maksimal. Menurut Iwan, MKMK tidak bisa menggunakan instrumen semaksimal mungkin untuk menginvestigasi sebuah kasus etik. Dalam konteks pelanggaran etik Anwar, MKMK tidak dapat menginvestigasi apakah yang sebenarnya terjadi antara Anwar, Presiden Jokowi, dan keluarganya.

”Tidak ada proses investigasi yang dalam dan tajam apakah ada komunikasi di antara mereka. Karena itu sebenarnya sebuah skandal serius. Kalau itu terbukti, berarti Presiden secara nyata melanggar konstitusi karena dia mengintervensi putusan MK melalui saudaranya,” ungkap Iwan.

Perbaikan

Ada sejumlah hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki MK. Iwan mengusulkan perlunya pembakuan standar sistem seleksi hakim konstitusi. Tidak standarnya sistem seleksi tersebut dapat dilihat dengan kasatmata ketika DPR mengganti secara sepihak Aswanto, kemudian menunjuk Guntur Hamzah sebagai penggantinya.

”Terpilihnya Guntur Hamzah itu mengulang saja bagaimana tidak standarnya rekrutmen hakim MK. Itu masalah laten yang sudah lama dan tidak pernah dibenahi oleh pemerintah dan DPR. Dibiarkan mengambang begitu saja,” kata Iwan. Dapur seleksi ini ada di tangan MA, DPR, dan presiden.

Suasana depan Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta,  Rabu (1/11/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana depan Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (1/11/2023).

Hal kedua yang harus diperkuat adalah sistem pengawasan. Iwan mengusulkan hakim MK tak hanya diawasi oleh internal, tetapi juga eksternal seperti yang dilakukan di Amerika Serikat melalui model impeachment. Dengan model tersebut, mantan-mantan jaksa tinggi dilibatkan untuk melakukan investigasi secara profesional.

”Sistem pengawasan dengan model MKMK ini tidak cukup. Memang ada hasilnya juga, tapi tidak maksimal,” katanya.

Hal penting lainnya adalah tidak terkonsolidasinya kekuatan masyarakat sipil. Menurut Iwan, hal ini terlihat dari sedikitnya kelompok yang secara konsisten mengawasi kinerja MK. Dalam peristiwa pelanggaran etik Anwar lalu, hanya Integrity milik Denny Indrayana dan sekelompok pakar HTN yang tergabung dalam CALS (Constitutional and Administrative Law Society) yang bersuara lantang.

”Tidak banyak yang berani bersuara terus. Seharusnya, lebih banyak lagi orang yang terlibat mengawasi kinerja para hakim dengan menggunakan teknologi,” katanya.

Baca juga: Etik, Hukum, dan Kekuasaan

Suasana sidang Mahkamah Konstitusi tentang perkara uji materi atas pasal-pasal makar di dalam KUHP yang diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Selasa (13/6), di Jakarta. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.

KOMPAS/RINI KUSTIASIH

Suasana sidang Mahkamah Konstitusi tentang perkara uji materi atas pasal-pasal makar di dalam KUHP yang diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Selasa (13/6), di Jakarta. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.

Pada akhirnya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk dapat mewujudkan mimpi MK sebagai pengawal konstitusi yang baik. MK yang baik, menurut Iwan, adalah Mk yang memiliki kemampuan untuk menjadi penjaga batas-batas kekuasaan, menyeimbangkan cabang-cabang kekuasaan agar tidak melebihi kewenangan yang diberikan konstitusi.

Dan, hal itu hanya dapat direalisasikan jika MK diisi oleh para hakim yang negarawan, punya kapasitas, dan integritas yang baik.

 
 
Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO