Politik bisa menjadikan siapa saja abai moral, maka, berhentilah puja-puji politisi. Demokrasi butuh pendukung kritis.
Tengoklah platform media sosial apa pun, nyalakan televisi, atau putar podcast hari-hari ini, dengan mudah kita akan menemukan contoh kemunafikan atau perilaku buruk dari para politisi, tak peduli latar belakang personal maupun usia. Seseorang seolah bisa mengubah standar moral, bahkan berperilaku tidak etis, ketika terlibat dalam dunia politik.
Jejak digital di media sosial kita banyak mendokumentasikan akrobat para politisi. Mereka yang semula berseberangan dan menghujat lawan politiknya dalam Pemilu 2019 lalu kemudian mendukung mati-matian dalam Pemilu 2024, dan demikian sebaliknya. Praktik ini tak hanya ditunjukkan politisi senior, tetapi banyak juga anak-anak muda yang baru terjun ke dunia politik.
Dalam dunia politik kita, dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pun bisa dibela, bahkan oleh para politisi yang pernah menjadi korbannya. Politisi dan kaki tangannya bisa juga membagi-bagi amplop, di tempat ibadah dan kemudian menyebutnya sebagai zakat.
Didorong oleh banyaknya pelanggaran etik, para guru besar dan sivitas akademika 64 kampus telah menyerukan kritik dan aksi moral mengenai penyelenggaraan pemilu kali ini. Kritik itu berpusat pada dugaan pelanggaran etik oleh hakim Mahkamah Konstitusi yang meloloskan syarat usia capres dan cawapres hingga soal dugaan politisasi bantuan sosial.
Namun, para politisi hingga pejabat negara banyak yang menyerang balik para guru besar dan sivitas akademika dan menuding mereka sebagai partisan. Berbagai keculasan, penyalahgunaan wewenang, hingga utak-atik aturan seolah dinormalisasi dalam dunia politik demi meraih kemenangan.
Sejarah mencatat, mereka yang dianggap banyak melanggar moral dan etika kerap menjadi pemenang. Siapa yang lebih bisa memikat dan mengeksploitasi pemilih, dialah pemenangnya sehingga melahirkan apa yang disebut Alex Hassam, profesor psikologi dari University of Queensland, sebagai ”kepemimpinan zombie” yang bermasalah, tetapi masih terus berlanjut hingga saat ini (The Leadership Quarterly, 2024).
Bagi masyarakat yang lapar dan lemah dalam literasi kritis, bantuan sosial itu lebih mudah dicerna dibandingkan dengan seruan moral dan etik dari para akademisi, yang cenderung masih elitis. Itulah yang kemudian dieksploitasi habis-habisan para politisi. Pemilu Indonesia tahun 2024 memberikan gambaran jelas mengenai jurang antara moralitas pribadi dalam kontestasi politik.
Tak hanya di Indonesia, ambiguitas moral dalam politik juga banyak dipertontonkan masyarakat di level global. Key Hull, peneliti dari Department of Political Science, University of Nebraska-Lincoln dan tim dalam laporan penelitian di jurnal Political Psychology pada 10 Januari 2024 menunjukkan mengenai kecenderungan diabaikannya moral dalam politik.
Dia mencontohkan kaum Evangelis Kristen Amerika Serikat mati-matian mendukung Donald Trump, yang secara terbuka melanggar perintah yang mendasari sistem etika mereka. Di sisi lain, kaum feminis membela Bill Clinton menyusul terungkapnya skandal seksual yang menimbulkan pertanyaan jelas tentang jender dan asimetri kekuasaan.
Berbagai studi akademis telah menegaskan bahwa penilaian moral bersifat situasional secara politis, dikondisikan oleh loyalitas dan keterikatan partai, atau antipati terhadap kelompok lawan. Hal ini seakan menegaskan, tidak ada lawan dan kawan abadi dalam politik. Namun, apakah politik memang identik dengan pengabaian moral dan etika universal?
Baca juga: Memahami Kemenangan Prabowo
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Wartawan merekam para guru besar, alumni, dan warga Universitas Indonesia (UI) yang menyampaikan deklarasi kebangsaan terkait kondisi terkini menjelang Pemilu 2024 di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/2/2024). Sivitas akademika UI prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi, hilangnya etika bernegara dan bermasyarakat, terutama korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Meskipun jelas merupakan fenomena yang dapat diamati dan sistematis, ketidakstabilan penilaian moral dalam politik menimbulkan suatu teka-teki. Berbagai kerangka teoritis dalam psikologi moral mengonseptualisasikan nilai-nilai moral sebagai sesuatu yang stabil dan bersifat universal, sebagai seperangkat kecenderungan bawaan dan terkondisi secara sosial yang membentuk komponen inti identitas diri.
Mengacu definisi dari Dictionary of Psychology, American Psychological Association, tahun 2022, moralitas dapat didefinisikan sebagai ”suatu sistem keyakinan atau serangkaian nilai yang berkaitan dengan perilaku yang benar, yang dengannya perilaku tersebut dinilai dapat diterima atau tidak dapat diterima”.
Meskipun secara spesifik berbeda, sejumlah teori ”intuisionis” berpendapat bahwa keyakinan tersebut merupakan produk dari pengondisian budaya dan evolusi, hasil dari gabungan pengaruh lingkungan sosial dan warisan evolusi masa lalu kita. Meskipun terdapat banyak variasi antarkelompok dan dalam individu, semua masyarakat memiliki sistem nilai moral, dan gagasan bahwa universalitas ini merupakan produk evolusi yang membedakan kita dengan hewan.
Jejak digital di media sosial kita banyak mendokumentasikan akrobat para politisi. Mereka yang semula berseberangan dan menghujat lawan politiknya dalam Pemilu 2019 lalu, kemudian mendukung mati-matian dalam Pemilu 2024, dan demikian sebaliknya.
Hal ini menunjukkan bahwa pilihan moral seharusnya dapat digeneralisasikan bahwa pelanggaran moral yang serupa harus menimbulkan penilaian yang serupa. Namun, di arena politik, mereka jelas tidak melakukan hal tersebut. Hal ini menunjukkan penilaian moral dan perilaku bergantung pada konteks. Daripada menerapkan gagasan inti tentang benar dan salah secara seragam tanpa memandang konteksnya, konteks itu sendiri memotivasi apa yang dianggap ”benar” atau ”salah”.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa kepentingan diri dan kelompok akan dikedepankan dan keberatan moral akan disingkirkan dalam politik? Mengapa loyalitas partisan mengalahkan gagasan utama masyarakat tentang benar dan salah?
Deretan pertanyaan inilah yang coba dijawab Hull dan kawan-kawannya dalam studi terbarunya. Penelitian yang dilakukan bersama kolega di kampusnya, Clarisse Warren dan Kevin Smith, ini mencoba menghubungkan ketidakstabilan dalam penilaian moral atau perilaku dengan suatu bentuk penalaran yang termotivasi. Keterikatan pada kelompok politik juga diakui secara luas sebagai komponen inti identitas diri.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Warga melintas di dekat mural bertema Pemilu 2024 di kawasan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (28/1/2024). Elite politik memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan Pemilu 2024 berlangsung dengan aman, damai, dan saling hormat antarkontestan. Kesantunan politik di tingkat elite akan menjamin suasana kondusif di akar rumput sekaligus menjadi bukti sahih kedewasaan politik kita.
Hull dan tim mengembangkan survei dan melibatkan empat sampel orang dewasa yang berbeda, berjumlah 2.472 responden, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Survei tersebut mencakup skala perilaku moral nonpolitik dan politik serta skala toleransi moral politik dan nonpolitik.
”Pada dasarnya, kami mengambil orang yang sama dan mengajukan pertanyaan yang hampir sama kepada mereka,” kata Smith menjelaskan risetnya. ”Satu-satunya perbedaan dalam item ini adalah kami mengubah ’orang’ menjadi ’politisi’. Dan hal itu sudah cukup untuk mengubah penilaian moral masyarakat. Hal ini berubah sedemikian rupa sehingga menghasilkan lebih banyak fleksibilitas dalam penilaian moral kita.”
Hal ini mencakup penilaian terhadap perilaku buruk politisi. Mereka menemukan bahwa orang-orang cenderung lebih toleran secara moral terhadap politisi yang mereka sukai, serupa dengan perilaku yang ingin mereka toleransi dari seorang teman. Bahkan, masyarakat cenderung rela mengubah moral mereka dan berperilaku tidak etis ketika terlibat dalam dunia politik.
Dalam lingkungan politik yang semakin terpolarisasi, terutama oleh menguatnya propaganda melalui media sosial, hal ini menjadi semakin mengkhawatirkan. Politik membuat kita melakukan hal-hal yang biasanya tidak kita lakukan dan menoleransi hal-hal yang tidak kita inginkan.
Cara beberapa politisi dan media berbicara tentang partai lain memicu kemarahan tersebut. Semakin kita terlibat dalam mengadu domba salah satu pihak sebagai pihak yang jahat, dan semakin Anda merasa seperti itu, semakin besar keinginan Anda untuk mengesampingkan moralitas.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa permusuhan terhadap lawan politik merupakan faktor pendorong ambiguitas moral yang terjadi ketika responden beralih dari ranah pribadi ke ranah politik.
Dan, tidak hanya ada satu pihak yang bersalah. ”Orang-orang, tanpa memandang usia atau ideologi, lebih bersedia untuk terlibat dalam perilaku dan penilaian tidak bermoral jika perilaku tersebut berada dalam ranah politik,” kata Hull. ”Dan, kebanyakan dari hal itu hanya didorong oleh ketidaksukaan terhadap pihak lain,” ujarnya.
Mengacu pada temuan Hull dan tim, masyarakat seharusnya belajar untuk menyikapi politik dan politisi secara lebih rasional agar tidak terbawa pada pemujaan personal. Para politisi cenderung menggunakan standar yang berbeda dalam perilaku moral atau pilihan moral dalam kehidupan pribadi dengan dunia politik.
Baca juga: Menggugat Pendidikan Etika
Politik tidak hanya menjadikan kaum kiri atau kanan menjadi tidak bermoral, tak peduli muda atau tua, kaya atau miskin. Dari perspektif psikologi, politik bisa menjadikan siapa saja menjadi bajingan, dan oleh karena itu, berhentilah puja-puji pada politisi. Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi dan pendukung yang kritis.