Pertemuan dengan Ketum Nasdem Surya Paloh mengindikasikan kembali dipraktikkannya politik akomodasi Presiden Jokowi.
Empat hari seusai pemungutan suara Pemilu 2024, Presiden Joko Widodo bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Selama satu jam, keduanya bertemu empat mata di Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (18/2/2024) malam. Baik Jokowi maupun Surya tak mau mengungkap apa yang mereka bicarakan. Namun, Jokowi memberikan petunjuk.
”Saya ingin menjadi jembatan untuk semuanya,” kata Jokowi seusai meresmikan Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara (RSPP), Jakarta, Senin (19/2) pagi.
Presiden tak memperjelas jembatan yang ia maksud. Namun, Partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh merupakan bagian dari Koalisi Perubahan yang mengusung pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Pasangan nomor urut 1 itu mengedepankan visi perubahan dan kerap dianggap sebagai antitesis dari pemerintahan Jokowi. Berbeda dengan pasangan kandidat nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, serta nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yang mengusung visi keberlanjutan program pemerintahan saat ini.
Berdasarkan hasil hitung cepat Litbang Kompas, hingga Senin pukul 10.57 dengan sampel data yang terhimpun sebesar 99,85 persen, Prabowo-Gibran unggul atas dua pasangan lainnya dengan perolehan suara 58,45 persen. Anies-Muhaimin menyusul dengan suara 25,25 persen, lalu diikuti Ganjar-Mahfud, 16,30 persen.
Baca juga: Setelah Bertemu Paloh, Presiden Jokowi: Saya Ingin Jadi ”Jembatan”
Meski tak pernah menyebut secara resmi, gerak-gerik Presiden dianggap sejumlah pihak, bahkan diakui oleh koalisi partai politik (parpol) pendukung Prabowo-Gibran, sebagai dukungan kepada pasangan calon nomor urut 2. Terlebih, Gibran merupakan putra sulung Jokowi. Beberapa pengamat menduga, pertemuan Jokowi dengan Surya merupakan langkah untuk merangkul lawan politik Prabowo-Gibran agar bergabung ke koalisi pemerintahan 2024-2029.
Sebelum bertemu dengan Surya, intensi Jokowi untuk merangkul kubu lawan dari Prabowo-Gibran juga muncul dengan keinginan bertemu Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri. Pekan lalu, Jokowi meminta bantuan Sultan Hamengku Buwono X untuk dipertemukan dengan Megawati. Sekalipun masih berstatus sebagai kader PDI-P, hubungan Jokowi dengan Megawati dikabarkan merenggang karena pilihan politik yang berbeda.
Gaya merangkul lawan atau politik akomodatif ala Jokowi bukanlah hal baru. Langkah tersebut sudah identik dengan mantan Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta itu sejak memenangi Pilpres 2014 dan 2019. Sebab, meski menang Pilpres 2014, kubu Jokowi yang diusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH), terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasdem, dan Partai Hanura, hanya menguasai 37,14 persen kursi di parlemen. Adapun kubu lawan, Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, mendominasi perolehan kursi.
Dengan peta kekuatan tersebut, KMP bermanuver dengan menguasai seluruh pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR juga pernah dibuat lumpuh atau tidak bekerja selama 48 hari. Akibatnya, kerja pemerintah terhambat.
Baca juga: Meredupnya Efek Ekor Jas pada Pemilu 2024
KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT
Presiden Joko Widodo makan bersama Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Sebagai jalan keluar, Jokowi memutuskan untuk mengakomodasi kepentingan politik lawan dengan cara memperbesar koalisi. Jokowi menarik Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) ke pemerintahan. Bergabungnya ketiga parpol itu mengubah peta penguasaan kursi di DPR yang didominasi koalisi pemerintahan.
Berhasil pada periode pertama, politik akomodatif Jokowi kembali diterapkan, bahkan mencapai titik kulminasi pada 2019. Setelah memenangi kontestasi pilpres untuk kedua kalinya, Jokowi membawa Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra untuk bergabung ke Kabinet Indonesia Maju, mengisi posisi Menteri Pertahanan. Langkah tersebut dilakukan setelah pertarungan sengit yang membelah masyarakat Indonesia karena pilihan politik yang didominasi alasan personal dan memunculkan karakter pemilih fanatik.
Selain Prabowo dan Gerindra, Jokowi berikutnya juga menggandeng Sandiaga Salahuddin Uno, cawapres pendamping Prabowo pada Pilpres 2019 untuk menjadi menteri pada akhir 2020. Tak berhenti di situ, pada pertengahan periode keduanya, Jokowi kembali memperbesar koalisi dengan menggaet PAN, salah satu parpol pengusung Prabowo-Sandiaga.
Bergabungnya sejumlah parpol pengusung Prabowo-Sandiaga membuat koalisi pemerintahan semakin dominan di parlemen dengan penguasaan kursi mencapai 81,9 persen dari total seluruh kursi di DPR. Dengan bekal itu, agenda pemerintahan pun cenderung mulus tanpa hambatan, termasuk perumusan undang-undang yang kontroversial karena dianggap merugikan publik, misalnya Undang-Undang Cipta Kerja.
Baca juga: Musim Gugur Oposisi
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Presiden Joko Widodo berbincang dengan rival politiknya dalam Pemilihan Presiden 2019, Prabowo Subianto, saat menumpang kereta dari Stasiun MRT Lebak Bulus menuju Stasiun MRT Senayan, Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
Seusai Pilpres 2024, kata Direktur Algoritma Research and Consulting, Aditya Perdana, Jokowi terlihat tengah melakukan langkah serupa. ”Ketika Jokowi sudah bicara jembatan, artinya politik akomodasi sudah disiapkan,” katanya.
Langkah akomodasi politik itu, menurut Aditya, tidak terlepas dari pembacaan atas perolehan suara parpol-parpol diprediksi lolos ambang batas parlemen. Berdasarkan hitung cepat Litbang Kompas, perolehan suara parpol saat ini tidak terpaut jauh. Dimulai dari PDI-P yang memimpin dengan suara 16,34 persen, disusul Golkar (14,62 persen), Gerindra (13,50 persen), PKB (10,71 persen), Nasdem (9.93 persen), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (8,41 persen). Setelah itu, ada pula Demokrat (7,59 persen) dan PAN (7,05 persen).
Jika dikelompokkan, kekuatan parpol pendukung Prabowo-Gibran, yakni Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN, relatif seimbang dengan parpol-parpol lainnya yang terbagi menjadi pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
”Kombinasi ini akan menarik. Apakah PDI-P, Nasdem, PKB, dan PKS akan menjadi oposisi? Karena itulah pentingnya Jokowi berperan. Setidaknya jika Jokowi berhasil mengajak Nasdem dan PKB, itu (membangun koalisi pemerintahan dominan) akan lebih mudah,” ujar Aditya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka saat tiba dan menyapa pendukungnya menjelang acara Pidato Kemenangan Prabowo-Gibran di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (14/2/2024).
Meski Prabowo dalam pidato kemenangannya selepas sejumlah lembaga survei merilis hasil hitung cepat Pilpres 2024, Rabu (14/2) malam, berkomitmen untuk merangkul semua potensi bangsa ke pemerintahannya, tetapi peran itu dinilai lebih strategis dilakukan oleh Jokowi. Menurut Aditya, belum ada tokoh politik yang bisa mengimplementasikan gaya politik akomodatif seberhasil Jokowi.
”Harus diakui, itu kelebihan yang tidak dimiliki politisi lain, termasuk Prabowo,” ujarnya.
Kendati demikian, upaya untuk merangkul parpol pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud diprediksi tidak mudah. Kedua kubu tersebut masih kukuh untuk mengawal tahapan penghitungan suara yang ditengarai diliputi kecurangan. Selain itu, dukungan dari masyarakat sipil yang mengkritisi penyelenggaraan pemilu serta prihatin atas kemunduran demokrasi karena berbagai manuver penguasa juga memperkuat posisi moral mereka untuk tetap berada di luar pemerintah.
Hingga saat ini, sejumlah parpol pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pun belum memberikan respons tertarik untuk masuk ke pemerintahan. Parpol dimaksud mulai dari Nasdem, PKB, dan PKS. Begitu juga PDI-P.
Baca juga: Surya Paloh Bertemu Jokowi, PKB Ingatkan Kesepakatan Koalisi Anies-Muhaimin
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sekretaris Jenderal PPP Arwani Thomafi, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq, dan Sekjen Partai Hanura Kodrat Shah (dari kiri ke kanan) saat konferensi pers di Gedung High End Kompleks MNC Tower, Jakarta, untuk menjelaskan mengenai pertemuan pimpinan partai politik pengusung bakal calon presiden Ganjar Pranowo pada Pemilihan Presiden 2024, Rabu (13/9/2023).
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menegaskan, sikap politik yang kini diambil oleh partainya adalah mengawal seluruh proses pemilu yang harus diselamatkan karena indikasi adanya kecurangan secara masif. PDI-P pun melihat kejanggalan dari pertemuan Jokowi dengan elite parpol peserta pemilu di tengah tahapan rekapitulasi suara yang masih berjalan.
”Ketika proses konsolidasi justru tetap dilakukan, itu menunjukkan ada question-mark (tanda tanya) yang kemudian harus dijawab bersama-sama bahwa demokrasi kita sedang berada dalam masalah besar. Kalau sudah aman dan yakin dengan dukungan rakyat, ngapain harus dilakukan suatu langkah-langkah seperti itu,” ungkap Hasto.
Lantas berhasilkah politik akomodatif diterapkan seusai Pilpres 2024 dan menyelamatkan jalannya pemerintahan seperti dua periode sebelumnya? Mengingat si ”pemilik” gaya politik tersebut bukan lagi presiden terpilih dan akan segera berakhir masa jabatannya.