Potensi kecurangan dapat dicegah jika setiap saksi memiliki salinan formulir C Hasil dari seluruh TPS.

JAKARTA, KOMPAS — Rekapitulasi suara di tingkat kecamatan merupakan tahapan paling rawan terjadi kecurangan. Potensi kecurangan, seperti memanipulasi suara, relatif besar dapat menggagalkan calon anggota legislatif memperoleh kursi parlemen. Oleh karena itu, kapasitas saksi partai dan Panitia Pengawas Kecamatan atau PPK harus diperkuat untuk mencegah kecurangan.

Saat ini, proses rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat kecamatan oleh PPK masih berlangsung, yakni sejak 15 Februari hingga 2 Maret 2024. Selanjutnya, rekapitulasi dilakukan di KPU kabupaten/kota pada 17 Februari hingga 5 Maret 2024.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.

Kunjungi Halaman Pemilu

 

Kemudian, pada 19 Februari hingga 10 Maret 2024, rekapitulasi suara digelar di KPU provinsi. Setelah itu, rekapitulasi tingkat nasional dimulai pada 22 Februari hingga 20 Maret 2024 yang dilakukan KPU RI.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Periode 2017-2022 Abhan menyampaikan, potensi manipulasi suara paling besar terjadi saat proses rekapitulasi tingkat kecamatan yang dilakukan PPK. Hal itu disebabkan banyaknya hasil perolehan suara yang harus direkapitulasi dari setiap tempat pemungutan suara (TPS).

Baca juga: Indikasi Kecurangan Pemilu Jangan Dibiarkan, Bisa Terulang di Pilkada 2024

Manipulasi suara itu, misalnya, kasus pengurangan suara calon anggota legislatif (caleg) dalam satu partai yang terjadi saat Pemilihan Legislatif 2019 di Kota Batam, Kepulauan Riau, dan Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Adapun pengurangan suara caleg antarpartai terjadi di Sleman, DI Yogyakarta. Aktor yang terlibat mulai dari Panitia Pemilihan Kecamatan hingga komisioner KPU daerah.

Ketua Badan Pengawas Pemilu periode 2017-2022 Abhan pada diskusi ”Menilai Kinerja KPU dalam Kasus Partai Prima” di Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/3/2023).

AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS

Ketua Badan Pengawas Pemilu periode 2017-2022 Abhan pada diskusi ”Menilai Kinerja KPU dalam Kasus Partai Prima” di Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/3/2023).

Contoh lainnya, Abhan menuturkan, terjadi pada Pileg 2019, yakni kasus caleg Partai Gerindra untuk DPRD Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan VI Hendri Makaluas. Saat itu, kasusnya hingga Mahkamah Konstitusi karena KPU tidak melakukan penetapan suara yang benar atas suara Hendri.

”Bahkan, kasus ini sampai pemecatan Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik kala itu oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,” ujar Abhan saat diskusi daring bertajuk ”Potensi Pelanggaran dan Penanganan Administrasi dalam Proses Rekapitulasi Suara Pemilihan Umum 2024”, Minggu (25/2/2024).

Menurut Abhan, pengawas pemilu dan saksi peserta pemilu pada setiap tingkatan rekapitulasi harus mengawasi dengan jeli dan teliti untuk menekan terjadinya manipulasi suara. Mereka harus membawa salinan formulir C Hasil dari tiap-tiap TPS. Para saksi pun harus membawa segala catatan keberatan yang disampaikan saat penghitungan suara di TPS.

Baca juga: Kamera Ponsel hingga Aplikasi Jaga TPS, ”Senjata” Saksi Peserta Pemilu

Selain itu, pengawas TPS dan saksi peserta pemilu juga harus membawa hasil rekapitulasi sebelumnya. Misalnya, ketika akan mengikuti rekapitulasi di PPK, saksi harus punya data formulir C Hasil dari TPS. Begitu pula ketika akan menyaksikan rekapitulasi suara di kabupaten/kota, saksi sebaiknya membawa hasil rekapitulasi di PPK dan seterusnya sampai tingkat nasional.

”Potensi kecurangan bisa dicegah jika setiap saksi memiliki salinan formulir C Hasil dari seluruh TPS. Jajaran PPK dan Panitia Pemungutan Suara mesti menjaga integritas karena kecurangan hanya bisa terjadi apabila ada kerja sama kedua belah pihak,” ujar Abhan.

Suasana sidang pelanggaran administratif Pemilu 2024 yang diduga dilakukan KPU Provinsi Kalimantan Timur di Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (5/7/2023).

BAWASLU RI

Suasana sidang pelanggaran administratif Pemilu 2024 yang diduga dilakukan KPU Provinsi Kalimantan Timur di Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (5/7/2023).

Abhan juga menyarankan agar setiap laporan dugaan manipulasi sebaiknya dilaporkan sebagai pelanggaran administratif ke Bawaslu dibandingkan dengan membawa masalah ke Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian di Bawaslu bisa diadukan dalam waktu tujuh hari dan waktu penyelesaian bisa lebih cepat. Sementara kalau membawa masalah ke MK, perlu rekomendasi dari parpol karena yang memiliki legal standing peserta pemilu adalah parpol.

Baca juga: Sempat Berhenti, Unggahan Data Sirekap Kembali Diperbarui

Pengajar di Universitas Andalas, Khoirul Fahmi, menambahkan, setiap temuan dugaan pelanggaran administratif pemilu diharapkan dapat segera diselesaikan pada tiap tingkatannya. Misalnya, jika ada temuan manipulasi suara pada tingkat perhitungan suara di kecamatan, sebaiknya diselesaikan di tingkat Panitia Pengawas Kecamatan jika tidak bisa dapat diselesaikan di tingkat ​​Bawaslu kabupaten/kota.

”Proses hari itu harus diselesaikan segera. Pernyataan bahwa kecurangan pemilu dapat diselesaikan di MK itu tidak tepat karena dapat segera dilaporkan ke Bawaslu. Pembuktian penyelesaian kecurangan pemilu segera saja dibuktikan di Bawaslu,” katanya.

Peserta aksi berdiri di depan spanduk berisi tuntutan demonstran di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (21/2/2024). Peserta aksi yang tergabung dalam Poros Buruh menggelar demonstrasi di depan kantor KPU. Peserta aksi menganggap terdapat banyak permasalahan dalam pelaksanaan pemilu tahun ini.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Peserta aksi berdiri di depan spanduk berisi tuntutan demonstran di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (21/2/2024). Peserta aksi yang tergabung dalam Poros Buruh menggelar demonstrasi di depan kantor KPU. Peserta aksi menganggap terdapat banyak permasalahan dalam pelaksanaan pemilu tahun ini.

Masalah Sirekap

Sementara itu, Abhan juga menyoroti masalah data anomali dari Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik KPU yang menimbulkan kegaduhan bagi publik. Oleh karena itu, KPU harus bisa membenahi kesalahan data tanpa harus menutup Sirekap. Penggunaan rekapitulasi elektronik di pemilu bisa menjadi solusi atas penyimpangan manipulasi suara yang kerap terjadi.

”Dokumen yang diunggah di Sirekap bisa menjadi pegangan bagi peserta pemilu dan publik untuk membandingkan data hasil rekapitulasi agar sesuai dengan perolehan suara di TPS,” katanya.