Revisi UU Pilkada menunggu sikap pimpinan DPR. Ini seiring Mahkamah Konstitusi tetap menegaskan Pilkada November 2024.

JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan mengenai revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada kini tinggal menunggu sikap dari para pimpinan DPR. Komisi II DPR menganggap pembahasan revisi mendatang tak lagi fokus pada percepatan jadwal pilkada, tetapi aspek masa jabatan penjabat kepala daerah hingga keserentakan waktu pelantikan.

Surat presiden (supres) terkait revisi Undang-Undang (UU) Pilkada dikabarkan sudah diterima pimpinan DPR sejak tiga bulan lalu dan belum ada tindak lanjut. Padahal, wacana revisi telah bergulir sejak tahun lalu dalam rangka percepatan jadwal Pilkada dari November ke September 2024.

 
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menjelaskan, pihaknya masih menunggu kabar dari pimpinan DPR untuk membahas revisi UU Pilkada setidaknya lewat rapat konsultasi dengan Badan Musyawarah DPR. Meskipun begitu, surpres harus terlebih dulu dibacakan dalam rapat paripurna.

”Kami lagi menunggu dari pimpinan DPR karena supresnya udah masuk. Kalau saya konfirmasi dengan Menteri Sekretaris Negara, itu sudah dari tiga bulan yang lalu sebenarnya. Nah, jadi kami tinggal menunggu kapan pimpinan DPR membahas itu,” katanya seusai rapat dengar pendapat dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3/2024).

Baca juga: Usulkan Percepatan Pilkada, DPR Siap Bahas Kilat Revisi UU Pilkada

Jajaran tokoh yang masuk dalam bursa Calon Gubernur DKI Jakarta (kiri-kanan) Ahmad Sahroni, Ahmed Zaki, Ahmad Reza Patria, Tri Rismaharini, Heru Budi, dan Ridwan Kamil. Pilkada Jakarta direncanakan akan digelar pada November 2024.

REPRO TIM MEDSOS KOMPAS/SHEREN LIDYA

Jajaran tokoh yang masuk dalam bursa Calon Gubernur DKI Jakarta (kiri-kanan) Ahmad Sahroni, Ahmed Zaki, Ahmad Reza Patria, Tri Rismaharini, Heru Budi, dan Ridwan Kamil. Pilkada Jakarta direncanakan akan digelar pada November 2024.

Usulan revisi untuk memajukan jadwal pilkada sedikit berbenturan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan pilkada tetap berlangsung sesuai jadwal, yakni November 2024. Meski begitu, MK tetap membuka peluang aturan diserahkan kepada pembuat undang-undang, yaitu DPR.

Revisi UU Pilkada, kata Doli, tetap dibutuhkan untuk isu lain di luar percepatan jadwal pilkada. Sebab, per 31 Desember 2024, sekitar 270 penjabat kepala daerah akan habis masa jabatannya. Dengan begitu, pemerintah perlu menunjuk kembali penjabat penggantinya.

Kami lagi menunggu dari pimpinan DPR karena supresnya udah masuk. Kalau saya konfirmasi dengan Menteri Sekretaris Negara, itu sudah dari tiga bulan yang lalu sebenarnya. Nah, jadi kami tinggal menunggu kapan pimpinan DPR membahas itu.

”Jadi artinya kalau lewat Desember 2024 (belum dilantik kepala daerah), kami harus tunjuk lagi penjabat-penjabatnya. Kemudian, isu kedua adalah soal keserentakan pelantikannya. Selama ini yang diatur cuma keserentakan waktu pilkada, pelantikannya tidak, baik anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun kepala daerah,” jelasnya.

Oleh karena itu, revisi berfokus pada penanganan penjabat daerah yang bakal habis masa jabatannya serta polemik lainnya. Dalam konteks tersebut, Komisi II perlu merancang aturan untuk memperpanjang masa jabatan penjabat kepala daerah ketimbang menggantinya. Masa jabatannya bisa diatur hingga kepala daerah terpilih sudah dilantik, misalnya Januari atau Februari 2025.

Semakin pendek

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, putusan MK Nomor 12/PPU-XXI/2024 tidak memutuskan pilkada harus digelar pada 27 November 2024. Ia meminta publik agar membaca putusan tersebut secara saksama.

Baca juga: Pilkada 27 November 2024 Untungkan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik

Intinya penggugat meminta ada penambahan klausul dalam syarat anggota legislatif yang ingin maju menjadi kepala daerah harus mundur. Penggugat berharap mereka yang sudah terpilih berdasarkan keputusan KPU, juga harus mundur meski belum dilantik.

Ada dua alasan dari adanya syarat mundur bagi anggota legislatif terpilih ketika ingin maju pilkada. Pertama, dengan syarat harus mundur, para anggota Dewan terpilih itu tidak mengkhianati suara rakyat yang memilihnya. Alasan lain, dari sisi pragmatisnya.

Menurut Tito, ada dua alasan dari adanya syarat mundur bagi anggota legislatif terpilih ketika ingin maju pilkada. Pertama, dengan syarat harus mundur, para anggota Dewan terpilih itu tidak mengkhianati suara rakyat yang memilihnya. Alasan lain, dari sisi pragmatisnya, ia melihat adanya syarat tersebut untuk mengurangi saingan dalam pilkada. Sementara jika anggota Dewan terpilih harus mundur, mereka belum pasti memenangi pilkada.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian rapat bersama Baleg DPR dan DPD untuk membahas RUU Daerah Khusus Jakarta, Rabu (13/3/2024) di Kompleks Parlemen, Jakarta.

KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian rapat bersama Baleg DPR dan DPD untuk membahas RUU Daerah Khusus Jakarta, Rabu (13/3/2024) di Kompleks Parlemen, Jakarta.

”Maka MK, di dalam bagian pertimbangan, menyampaikan, itu kembali pada idealisme. Bahwa Anda dipilih menjadi DPR, konsisten dong di DPR. Makanya kalau bisa agar pembuat UU melaksanakan pilkada tanggal 27 November,” ujar Tito.

Namun, lanjut Tito, perlu diingat bahwa MK juga menegaskan persoalan jadwal pilkada adalah wewenang pembentuk undang-undang. Perubahan terhadap hal tersebut juga merupakan kewenangan pemerintah dan DPR karena bersifat open legal policy.

”Ini bersifat open legal policy. Open legal policy itu apa? Tidak ada batu uji di dalam UUD 1945 yang menyatakan tentang tanggal pilkada. Itu diserahkan kembali kepada pembuat undang-undang. Begitu. Nah, apakah itu mau di September. Kalau September, berarti yang tadi terpilih menjadi anggota DPRD, DPR, dan DPD, mereka kan belum dilantik, maka mereka bisa ikut lagi. Begitu kalah, 1 Oktober dilantik,” ungkap Tito.

Pengaruh kekuasaan

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago berpandangan, keinginan untuk mempercepat jadwal Pilkada 2024 ke September berpotensi dipengaruhi oleh kekuasaan terkini. Sebab, masa pemerintahan Presiden Joko Widodo bakal berakhir pada Oktober 2024.

Belajar dari Pemilu 2024, penyelenggaraannya sarat akan pengaruh kekuasaan untuk memenangkan calon tertentu. Apalagi, putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden mendampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Baca juga: Percepatan Pilkada Disepakati melalui Revisi UU, Sejumlah Fraksi Menolak

Lewat perhelatan pilkada, masih ada kemungkinan anggota keluarga Jokowi lainnya mengikuti kontestasi sebagai peserta sehingga berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Sejumlah isu pun kini mencuat, misalnya, menantu Presiden, Erina Gudono, masuk bursa calon Bupati Sleman.

”Kalau pilkada-nya September, presidennya masih Jokowi, kalau November tentu bukan. Dengan demikian, pengaruh Presiden bakal hilang dan tidak bisa menggunakan pengaruhnya untuk memenangkan anaknya hingga menantunya,” tutur Pangi.