Jangan Sepelekan Mengantuk, Kasus Pilot Batik Air Tertidur Bisa Dicegah

Oleh DEONISIA ARLINTA

 

JAKARTA, KOMPAS – Kasus pilot dan kopilot Batik Air yang tertidur selama 28 menit patut menjadi pelajaran bagi masyarakat. Insiden tersebut dapat menjadi peringatan akan bahaya bekerja dalam kondisi mengantuk.

Risiko bahaya tersebut terutama pada seseorang yang harus bekerja dengan konsentrasi tinggi, seperti pilot, masinis, sopir, dan dokter yang melakukan tindakan operasi. Apabila memaksakan diri bekerja dalam kondisi mengantuk, akibatnya bisa fatal.

Mengantuk bisa terjadi kapan saja. Rasa kantuk bisa muncul pada seseorang dengan kualitas tidur yang kurang. Pada beberapa kasus, rasa kantuk ini bisa memunculkan microsleep atau kondisi ketika seseorang secara tiba-tiba tertidur karena hilangnya kesadaran akibat mengantuk. Kondisi microsleep dapat terjadi meski dalam waktu singkat.

Oleh karena itu, pengajar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI), Hening Pujasari, mengatakan, kondisi mengantuk jangan disepelekan. Banyak kasus kecelakaan di jalan terjadi karena sopir yang tertidur karena mengantuk. Risiko dari microsleep akan sangat fatal pada situasi yangmembutuhkan konsentrasi penuh dan butuh keputusan yang cepat.

Baca juga: Beberapa Skandal Pilot Tidur Sebelum Insiden Batik Air

”Ketika mengantuk, kemampuan tubuh dalam konsentrasi akan hilang. Jika ini terjadi pada pilot atau sopir bisa fatal, juga pada dokter yang harus mengoperasi ataupun tenaga kesehatan yang melakukan penyuntikan. Risikonya nyawa,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (9/3/2024).

Ia mengatakan, rasa kantuk akan muncul pada seseorang dengan kualitas tidur yang kurang. Kualitas tidur tidak hanya didapatkan dari durasi tidur, tetapi juga tingkat kedalaman ketika tidur.

Umumnya, orang usia dewasa membutuhkan waktu tidur 7-9 jam. Namun, tidur selama enam jam bisa tetap berkualitas asalkan mampu mencapai tingkat kedalaman tidur yang baik.

Tidur dalam (deep sleep) bisa didapatkan ketika seseorang bisa cepat tertidur setelah memejamkan mata. Apabila seseorang masih harus menunggu satu sampai dua jam untuk tidur, padahal sudah memejamkan mata dan membaringkan tubuh sebelumnya, tidur dalam cenderung sulit didapatkan.

Selain itu, tidur dalam juga didapatkan jika seseorang tidak sering terbangun di tengah-tengah waktu tidur. ”Terbangun sekali dua kali di tengah-tengah tidur masih wajar. Namun, jika terbangun sampai lima kali, itu sama saja tidak tidur. Sekalipun sudah tidur selama delapan jam, tetapi terbangun beberapa kali, tidurnya tidak akan berkualitas,” tutur Hening.

Tanda lain dari tidur yang tidak berkualitas, antara lain, waktu bangun yang lebih cepat dari yang direncanakan, bangun tidur dengan tubuh tidak segar atau lemas, raut muka yang tampak lelah, tidak bisa beraktivitas dengan baik di siang hari, serta kurang konsentrasi. Pada kondisi tersebut, seseorang akan rentan untuk mengantuk dan berisiko mengalami microsleep.

https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2024/03/10/6deef670-6b1b-4ddb-8b3b-b01ccc82a3ff_gif.gif

Kondisi mengantuk memang manusiawi, tetapi tidak boleh terjadi di situasi yang tidak tepat, seperti ketika sedang bertugas sebagai pilot atau ketika sedang menyopir kendaraan. ”Sebelum akhirnya mengantuk, jika memang sebelumnya kualitas tidurnya tidak baik, sebaiknya jangan melakukan pekerjaan yang butuh konsentrasi tinggi,” ucap Hening.

Insiden pilot dan kopilot Batik Air A320 yang tertidur, menurut dia, perlu menjadi pelajaran bersama. Hal tersebut bisa dicegah dengan melakukan penapisan sebelum seorang pilot ataupun awak pesawat hendak bertugas.

Setiap awak pesawat, termasuk pilot, harus jujur jika sebelumnya kurang tidur ataupun tidur tidak berkualitas. Selain itu, pemeriksaan dan penapisan juga harus dilakukan untuk memastikan setiap awak pesawat dalam kondisi yang bugar.

Sebelumnya, hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebutkan, pilot dan kopilot Batik Air BTK6723 tertidur selama 28 menit saat menerbangkan pesawat Airbus A320 rute Kendari-Jakarta pada 25 Januari 2024. Insiden ini disebabkan kopilot kelelahan karena sebelumnya sibuk mengurus anak. Pilot pun ikut tertidur di dalam kokpit (Kompas.id, 9/3/2024).

Mengutip laporan European Cockpit Association pada 19 September 2023, tiga dari empat atau 75 persen pilot mengalami setidaknya satu kali microsleep saat mengoperasikan pesawat. Selain itu, hampir 25 persen melaporkan mengalami lima atau lebih microsleep ketika bertugas. Para pilot mengatakan sangat kelelahan sehingga sulit untuk tetap terjaga ketika mengoperasikan pesawat. Adapun survei tersebut dilakukan terhadap sekitar 6.900 pilot di Eropa dari 31 negara.

Pengajar Program Studi Spesialis Kedokteran Penerbangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Retno Wibawanti, menyebutkan, kelelahan atau fatigue merupakan salah satu risiko terbesar bagi pilot. Kelelahan ini bisa disebabkan jam kerja yang panjang, bertugas untuk penerbangan malam, jet lag, adanya multiple takeoff-landing dalam satu hari, cuaca buruk, adanya dinamika dengan kru penerbangan lain, serta tuntutan yang intens dari tugas penerbangan.

Itu sebabnya, risiko seorang pilot untuk mengalami kelelahan sangat besar. Risiko kelelahan akan signifikan berdampak langsung pada keselamatan penerbangan. Ketika harus bertugas dalam kondisi lelah, kewaspadaan pilot menjadi menurun serta memperlambat reaksi yang harus dilakukan.

Untuk mencegah kelelahan, pengaturan tidur bagi pilot menjadi sangat penting. Sesuai dengan buku Panduan Praktis Pengelolaan Fatigue bagi Penerbang: Aktivitas Fisik, Latihan Fisik, dan Waktu Tidur, disebutkan beberapa rekomendasi terkait pengaturan tidur. Rekomendasi tersebut, antara lain, menjaga berat badan, menjaga pola hidup aktif, menghindari alkohol sebelum tidur, berhenti merokok, dan melakukan power nap atau tidur singkat.

Pilot harus menjaga berat badan agar terhindar dari obesitas. Kondisi obesitas dapat menyebabkan obstructive sleep apnea (OSA) yang dapat mengganggu kualitas tidur sehingga menimbulkan rasa kantuk dan kelelahan saat bekerja. Selain itu, penting pula untuk menjalankan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang cukup setidaknya 30 menit per hari dapat membantu meningkatkan kualitas tidur sekaligus mencegah kecemasan dan depresi.

Para pilot pun harus menghindari mengonsumsi alkohol sebelum tidur. Konsentrasi dapat menurun bahkan hilang setelah beberapa jam tidur. Efek dari konsumsi alkohol ini justru mengganggu kualitas tidur.

Power nap atau short nap juga bisa dilakukan untuk menyiasati kebutuhan tidur akibat jadwal yang padat dan waktu libur yang tidak teratur. Power nap dapat dilakukan selama 10-20 menit. Power nap bisa mengurangi fatigue, mengembalikan kewaspadaan, mengembalikan fokus, dan meningkatkan kualitas tidur malam,” tutur Retno.

Menurut dia, kasus pilot yang tertidur di kokpit sebenarnya bukan pertama kali dilaporkan. Akan tetapi, meski jarang terjadi dan sering kali dalam kondisi kopilot yang masih terjaga, kondisi ini dapat menjadi perhatian bersama akan pentingnya waktu istirahat bagi pilot.

Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya kelelahan harus diperhatikan. Hal tersebut terutama terkait panjangnya jam kerja, gangguan ritme sirkadian akibat penerbangan lintas zona waktu, serta tuntutan mental ketika mengoperasikan pesawat. Manajemen kelelahan pada pilot harus memadai untuk dijalankan.

Pemeriksaan

Ia menambahkan, pemeriksaan kesehatan sebelum terbang juga penting untuk dilakukan dalam menilai kondisi setiap pilot yang akan bertugas. Pemeriksaan sebelum terbang dapat dilakukan ketika persiapan terbang dalam pre-flight briefing. Sesama rekan pilot bisa juga saling menilai kesiapannya melalui komunikasi serta konsentrasi bersama. Jika ditemukan adanya penurunan kapasitas dari rekan pilot lain, itu perlu kewaspadaan bersama.

Penapisan pun bisa dilakukan secara pribadi. Sebelumnya, Program Studi Kedokteran Penerbangan FKUI pun telah meluncurkan aplikasi FRAMES atau Fatigue Risk Assesment with Medical Advices. Aplikasi ini dapat diakses oleh pilot dengan mengunduhnya di Android Play Strore.

Dalam aplikasi tersebut, terdapat fitur screening (penapisan), penilaian tingkat aktivitas fisik, serta penilaian kualitas tidur.

”Dengan adanya aplikasi ini, diharapkan fatigue dapat dicegah dan memastikan kinerja performa awak penerbangan tetap optimal. Aplikasi ini juga bisa diintegrasikan dengan sistem di maskapai untuk pengelolaan fatigue. Diharapkan pilot memiliki kesadaran diri untuk memelihara kesehatannya,” ujar Retno.