Caleg perempuan yang tak kuat modal finansial dan sosial akhirnya kalah dari caleg bermodal kuat.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Suasana rapat paripurna di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (16/5/2023). Dalam rapat paripurna tersebut, Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan pidato pembukaan masa persidangan V tahun sidang 2022-2023.
Pemilu 2024 tampaknya belum juga membawa angin segar bagi kaum perempuan. Cita-cita untuk menempatkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di Dewan Perwakilan Rakyat masih jauh panggang dari api.
Hasil simulasi konversi perolehan suara partai politik menjadi kursi menunjukkan, calon anggota legislatif (caleg) perempuan yang mendapatkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebanyak 129 orang. Capaian itu setara 22,24 persen dari total 580 kursi DPR periode 2024-2029.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi parpol dengan jumlah caleg perempuan yang lolos ke DPR terbanyak, yakni 27 orang. Namun, jumlah itu baru 24,55 persen dari total perolehan kursi PDI-P yang diperkirakan sebanyak 110 kursi.
Sementara itu, Partai Nasdem menjadi satu-satunya parpol dengan persentase caleg perempuan terpilih lebih dari 30 persen dari total kursi DPR yang diraih. Dari 69 kursi DPR yang kemungkinan didapatkan Nasdem, 22 kursi atau 31,88 persen bakal didapatkan oleh caleg perempuan. Namun, jumlah itu bisa berkurang apabila caleg peraih suara terbanyak dari daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur II, Ratu Ngadu Bonu Wulla, mengundurkan diri. Jika Ratu Ngadu mundur, kursi DPR di dapil NTT II diberikan kepada Victor Laiskodat, caleg dengan raihan suara terbanyak kedua setelah Ratu Ngadu.
Adapun jumlah caleg perempuan yang diprediksi akan terpilih dari Partai Golkar sebanyak 20 orang (19,61 persen), Partai Gerindra 19 orang (22,09 persen), dan Partai Kebangkitan Bangsa 14 orang (20,59 persen). Kemudian di Partai Keadilan Sejahtera sebanyak 9 orang (16,98 persen), Partai Amanat Nasional 9 orang (18,75 persen), serta Partai Demokrat 9 orang (20,45 persen).
Baca juga: Tak Semua Partai Penuhi Imbauan KPU soal Jumlah Minimal 30 Persen Caleg Perempuan
Caleg perempuan yang berhasil mempertahankan kursi DPR antara lain Puan Maharani (PDI-P), Nurul Arifin (Golkar), dan Desy Ratnasari (PAN). Tetapi, sebagian lain yang vokal menyuarakan kepentingan rakyat di parlemen justru terlempar, seperti Ribka Tjiptaning Proletariyati (PDI-P), Christina Aryani (Golkar), dan Luluk Nur Hamidah (PKB).
Sejumlah nama baru juga diperkirakan akan mengisi kursi DPR. Mereka, di antaranya, adalah putri Ketua DPR Puan Maharani, Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari (PDI-P); putri Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Putri Zulkifli Hasan (PAN), serta istri mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Atalia Praratya (Golkar). Selain itu, sejumlah pesohor juga diperkirakan lolos, antara lain Melly Goeslaw (Gerindra) dan Nafa Urbach (Nasdem).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus (kiri) dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin (kanan) berbincang sejenak di sela-sela pertemuan konsolidasi para sekretaris jenderal partai politik pengusung bakal calon presiden Prabowo Subianto di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Rabu (20/9/2023) malam.
Namun, dari hasil simulasi diperkirakan, tidak ada satu pun caleg perempuan yang terpilih di 15 dapil atau 17,85 persen dari total 84 dapil DPR yang ada. Dapil itu di antaranya Aceh I dan II; Jambi; Kepulauan Riau; Jawa Tengah I dan X, serta Jawa Timur II, IV, dan V. Selanjutnya adalah dapil Kalimantan Selatan I; Gorontalo; serta Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan.
Sementara itu, dari hasil simulasi juga diperkirakan empat kursi yang diperebutkan di dapil Bengkulu semuanya berhasil diduduki oleh caleg perempuan.
Caleg Golkar yang maju dari dapil Jabar I, Nurul Arifin, mengungkapkan, perilaku pemilih mengalami perubahan dalam beberapa pemilu terakhir. Pada awal implementasi sistem pemilu proporsional daftar terbuka pada 2009, pemilih cenderung mudah didekati melalui kerja-kerja advokasi dan turun ke lapangan. Namun, belakangan, pemilih makin permisif dengan politik uang karena mereka menganggap suaranya harus dikompensasi dengan materi.
Akibatnya, caleg-caleg harus berinovasi dalam memengaruhi pilihan pemilih. Caleg perempuan yang tidak kuat modal finansial dan modal sosial akhirnya tersisih oleh caleg yang punya modal kuat. Padahal, caleg perempuan yang memulai karier politik dari nol sering kali tidak punya modal finansial yang kuat.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Para pegiat hak-hak perempuan mengikuti aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11/2020).
”Saya pun akhirnya juga harus makan tabungan, bahkan defisit, karena harus lebih sering turun ke pemilih. Tanpa kedekatan yang kuat dengan konstituen, pemilih akan lebih mengutamakan caleg yang memberikan uang,” katanya saat dihubungi, Selasa (26/3/2024).
Menurut Nurul, diperlukan kebijakan yang lebih afirmatif kepada perempuan agar bisa mengantarkan minimal 30 persen perempuan di DPR. Sistem proporsional daftar terbuka yang berlaku dalam empat kali pemilu terakhir terbukti tidak mampu mengantarkan keterwakilan perempuan yang memadai di parlemen.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar Indonesia menerapkan mixed-member proportional agar mampu menghadirkan keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen. Caleg perempuan harus diberi kuota khusus sehingga representasinya memadai.
Caleg perempuan yang tidak kuat modal finansial dan modal sosial akhirnya tersisih oleh caleg yang punya modal kuat.
Lebih jauh, lanjut Nurul, anggota DPR perempuan mesti lebih meneguhkan kehadirannya di parlemen. Mereka mesti hadir dalam rapat-rapat dan aktif menyuarakan kepentingan rakyat. Meskipun jumlahnya sedikit, suara yang vokal dari sebagian anggota DPR perempuan bisa berdampak besar.
”Angka tidak selalu menjadi penentu. Meskipun jumlahnya sedikit, tapi vokal menyuarakan kepentingan rakyat, akan sangat efektif di parlemen. Tetapi, sekalipun jumlahnya besar, tapi tidak bersuara, maka angka itu tidak berarti apa-apa,” katanya.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, ekosistem politik di Indonesia membuat perempuan sulit meningkatkan keterpilihan secara signifikan. Politik yang mahal dan berbiaya tinggi, persaingan ketat caleg internal dan caleg antarpartai, praktik jual beli suara yang masif, wilayah cakupan dapil yang luas, serta adanya pemilih yang belum terbuka terhadap kepemimpinan perempuan membuat peluang keterpilihan kaum hawa rendah.
”Ditambah lagi partai tidak optimal memberikan pengawalan, pendampingan, dan dukungan memadai bagi kerja-kerja pemenangan yang dilakukan caleg perempuan,” ujarnya.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini
Akibatnya, konfigurasi caleg perempuan yang menduduki kursi DPR akan tetap sama seperti di periode sebelumnya. Caleg perempuan berlatar belakang pengusaha, pesohor, dan bagian dari politik dinasti memiliki potensi besar untuk lolos. Sebab, kekuatan modal kapital dan jejaring sosial di daerah sangat menentukan keterpilihan.
Menurut Titi, masih rendahnya persentase keterwakilan perempuan di DPR dapat berdampak pada sulitnya menghadirkan kebijakan yang inklusif dan ramah hak-hak perempuan. Caleg perempuan dengan persentase stagnan harus bekerja lebih keras untuk memberikan advokasi tentang isu dan kebijakan yang berpihak pada perempuan.
”Pada akhirnya, bukan tidak mungkin akan makin sulit bagi perempuan Indonesia untuk mencapai keadilan dan kesetaraan jender dalam lingkungan politik dan publik,” katanya.
Baca juga: Perempuan Semakin Tertatih Menuju Parlemen
Di sisi lain, dapil tanpa keterwakilan perempuan bisa menjadi contoh pendidikan politik yang buruk bagi pemilih. Isu perempuan makin sulit diperjuangkan dan bisa dianggap bukan prioritas bagi para wakil rakyat