Partai Gerindra ingin menyederhanakan sistem pemilihan umum agar praktik demokrasi tidak melelahkan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif yang digelar berdekatan dengan pemilihan kepala daerah serentak dinilai tak hanya membuat lelah para politisi, tetapi juga masyarakat sebagai pemilih. Oleh sebab itu, Partai Gerindra berkeinginan untuk menyederhanakan proses pemilihan umum yang merupakan salah satu prasyarat demokrasi.
Dalam wawancara khusus dengan Al Jazeera yang dirilis pada Minggu (12/5/2024), Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus presiden terpilih Prabowo Subianto menyebut bahwa praktik demokrasi di Indonesia cenderung melelahkan dan terdapat sejumlah kelemahan. Masalah itu harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Menurut dia, demokrasi merupakan sistem politik yang terbaik dan tidak ada alternatif lainnya. Kondisi demokrasi yang membahayakan, melelahkan, dan berantakan, kata Prabowo, merupakan masalah yang akan dihadapi pemerintahannya.
Baca juga: Prabowo: Demokrasi Sistem Politik Terbaik
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menjelaskan, demokrasi melelahkan karena pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) berlangsung bersamaan. Selain itu, saat proses pileg dan pilpres belum selesai, tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak sudah dimulai. Pemungutan suara pilkada digelar pada 27 November 2024, berselang sembilan bulan dari pencoblosan untuk pileg dan pilpres pada 14 Februari lalu.
KOMPAS/WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Minggu (12/5/2024).
”Kami baru saja menyelesaikan pileg dan pilpres, sekarang kami harus menyiapkan pilkada untuk provinsi dan kabupaten/kota, bahkan nanti akan ada pilkades (pemilihan kepala desa). Jadi itu yang disebut melelahkan,” katanya.
Sebelum pasangan calon presiden dan wakil presiden dan calon anggota legislatif (caleg) terpilih dilantik, partai-partai politik harus menyiapkan bakal calon bupati, wali kota, hingga gubernur beserta wakilnya. Jumlahnya juga tidak sedikit karena pilkada digelar serentak di 37 provinsi dan 505 kabupaten/kota.
Muzani menegaskan, proses demokrasi yang melelahkan tersebut harus diperbaiki. ”Tapi sebagai ide (penyederhanaan sistem), kita cari solusinya bagaimana demokrasi itu bisa lebih sederhana sehingga rakyat tidak terus berhadapan dengan TPS (tempat pemungutan suara),” ungkapnya.
Kami baru saja menyelesaikan pileg dan pilpres, sekarang kami harus menyiapkan pilkada untuk provinsi dan kabupaten/kota, bahkan nanti akan ada pilkades (pemilihan kepala desa). Jadi itu yang disebut melelahkan.
Pengajar hukum pemilu pada Universitas Indonesia, Titi Anggraini, sependapat, penyelenggaran pilpres, pileg, dan pilkada dalam waktu yang hampir bersamaan tidak ideal serta melelahkan. Bukan hanya bagi para politisi, melainkan juga penyelenggara pemilu hingga pemilih.
”Penyederhanaan sistem pemilu dan jadwalnya merupakan suatu keniscayaan. Jika tidak dilakukan, masalah akan terus berulang dan kredibilitas penyelenggara dipertaruhkan,” katanya.
Persoalan lain seperti politik biaya tinggi dan kampanye minim gagasan merupakan konsekuensi dari mepetnya waktu penyelenggaraan pemilu. Imbas lainnya adalah penegakan hukum menjadi tidak optimal akibat beratnya beban penyelenggara dan kompleksnya tahapan pemilu.
Menurut Titi, langkah konkret yang bisa diambil adalah dengan merevisi paket undang-undang politik. Tak hanya UU tentang Pemilu, UU tentang Partai Politik juga hendaknya diperbaiki. Kedua UU politik itu penting untuk disempurnakan agar pilihan sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem presidensial yang efektif, dapat terhubung satu sama lain. Revisi UU politik juga diyakini dapat jalan keluar dari pragmatisme peserta pemilu yang berdampak pada suburnya politik uang.
Hal yang juga penting untuk mewujudkan demokrasi yang sehat, menurut Titi, adalah adanya kekuatan penyeimbang antarcabang kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan demikian, kekuasaan tidak digunakan dengan sewenang-wenang.
Baca juga: "Roller Coaster" Demokrasi Indonesia
”Jangan sampai kebebasan berpendapat dan berekspresi publik dianggap sebagai gangguan atau serangan terhadap praktik demokrasi dan pemerintahan yang ada,” kata Titi.