Menjelang Pilkada 2024, parpol ramai-ramai menyandingkan figur beken dari internal dengan figur partai lain.
Tiga bulan menjelang tahapan pendaftaran calon kepala-calon wakil kepala daerah di Pemilihan Kepala Daerah 2024, musim semi perjodohan para kandidat mulai berlangsung. Sejumlah partai politik berupaya memasangkan kader-kadernya dengan tokoh populer yang potensial menjadi kepala daerah. Berjodohkah mereka?
Meski belum tentu sejalan dengan partai-partai politik yang juga memberikan dukungan kepada Khofifah Indar Parawansa untuk menjadi calon gubernur (cagub) Jawa Timur, Partai Demokrat percaya diri merekomendasikan kadernya, Emil Elestianto Dardak, untuk menjadi pasangan Khofifah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jatim 2024. Emil yang merupakan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Jatim saat ini juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Jatim. Emil menduduki posisi tersebut setelah memenangi Pemilihan Gubernur Jatim 2018 bersama dengan Khofifah.
”Demokrat sudah menyerahkan surat tugas kepada Bu Khofifah berpasangan dengan Emil Dardak. Adapun partai lainnya, setahu saya sudah juga menyerahkan hal serupa, tetapi baru untuk Bu Khofifah sebagai cagub,” kata Ketua Badan Pembina Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi (BPOKK) Demokrat Herman Khaeron, Jumat (10/5/2024).
Baca juga: Jelang Pilgub, Bobby Mulai Pasang ”Kaki” di Sejumlah Daerah di Sumatera Utara
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak menyapa para jurnalis sebelum dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur di Istana Negara, Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Selain Demokrat, sejumlah parpol anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pemilihan Presiden 2024 juga telah sepakat untuk mengusung Khofifah sebagai cagub Jatim. Parpol selain Demokrat yang dimaksud adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Akan tetapi, belum satu pun dari ketiga parpol itu menyepakati pencalonan Emil untuk mendampingi Khofifah.
Herman menyadari, upaya untuk memasangkan Emil membutuhkan persetujan dari parpol lain. Sebab, tak satu parpol pun di Jatim memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sehingga harus berkoalisi. Oleh karena itu, komunikasi, baik antarparpol maupun kandidat dengan parpol, bakal menjadi tahap yang menentukan.
”Selain para kandidat yang langsung berkomunikasi dengan partai-partai, DPP Partai Demokrat juga akan bantu komunikasi,” ungkap Herman.
Ia juga tidak memungkiri, upaya menjodohkan Emil dengan Khofifah sejak jauh-jauh hari bakal berdampak positif. Kendati belum ada persetujuan dari semua parpol pengusung, ia meyakini, langkah itu bakal berbuah pada peningkatan popularitas dan elektabilitas pasangan tersebut. ”Kami yakin pasangan ini akan mendapatkan dukungan yang besar dari masyarakat,” kata Herman.
Baca juga: Belum Semua Parpol KIM Dukung Khofifah-Emil Dardak di Jatim
KOMPAS
Ridwan Kamil
Bukan hanya Demokrat, PAN juga mulai memantik perjodohan sejumlah kadernya dengan para tokoh populer yang dijagokan parpol lain. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pada awal April lalu mengatakan, parpolnya memiliki kader-kader potensial yang bisa dipasangkan dengan Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Mereka, antara lain, Ketua DPP PAN Bima Arya Sugiarto dan Ketua DPP PAN yang juga putri Zulkifli Hasan, Zita Anjani.
Baik Zita maupun Bima dinilai bisa mendongkrak perolehan suara Kamil di mana pun dia mengikuti pilkada nantinya, apakah di Jawa Barat ataupun di Jakarta. Zita dinilai memiliki kekuatan di Jakarta karena hingga saat ini ia masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jakarta. Adapun Bima berpotensi menjadi pasangan kuat bagi Kamil jika berkontestasi di Jabar karena tokoh tersebut pernah menjabat sebagai Wali Kota Bogor, Jabar, sepanjang dua periode, 2014-2024.
Selain nama Bima dan Zita, Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno menyebut sejumlah nama kader PAN lain, yakni Ketua DPW PAN Jakarta Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio dan politisi PAN yang pernah menjabat Wakil Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah, Sigit Purnomo alias Pasha Ungu, untuk disandingkan dengan cagub parpol lain sebagai calon wakil gubernur (cawagub) di ajang Pilgub Jakarta. Adapun untuk cawagub di Pilgub Jabar, Eddy menyebut pula nama Ketua DPW PAN Jabar Desy Ratnasari.
”Nama-nama ini kita telah sampaikan ke teman-teman kita sesama anggota parpol. Mudah-mudahan kita bisa bersama dengan mereka menjalin koalisi,” ujarnya.
Baca juga: PAN Terbitkan 400 Rekomendasi untuk Bakal Calon Kepala Daerah
TIM RELAWAN BIMA ARYA
Mantan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menyatakan maju sebagai calon gubernur Jawa Barat periode 2024-2029. Bima mendeklarasikan dirinya sebagai calon gubernur di halaman Gedung Sate, Kantor Gubernur Jabar, Kota Bandung, Sabtu (4/5/2024).
Tak sebatas itu, telah mulai diluncurkannya nama-nama itu juga bagian dari strategi parpol untuk melihat penerimaan publik di daerah terhadap setiap kandidat. Hasil survei elektabilitas dari setiap kandidat bakal jadi penentu akhir pemberian tiket pencalonan dari PAN.
Meski hingga kini belum ada hasil survei tersebut, Eddy tetap meyakini nama-nama yang diajukan merupakan kader-kader yang mumpuni untuk diturunkan, baik di Pilgub Jakarta maupun Jabar. PAN meyakini jika salah satu nama itu dipilih parpol lain sebagai cawagub, bakal menambah daya saing dan daya juang dari cagub yang diusung.
Partai Golkar pun tak ketinggalan dalam ajang perjodohan menjelang pilkada tahun ini. Di Pilgub Jabar, misalnya, Ketua DPD Partai Golkar Jabar Tubagus Ace Hasan Syadzily menyampaikan, pihaknya tengah menyeleksi sosok pendamping Ridwan Kamil. Sosok Bima Arya dan Ketua DPD PDI-P Jabar Ono Surono masuk dalam pertimbangan Golkar sebagai calon wagub Jabar.
Ia mengungkapkan, terdapat sejumlah syarat yang ditetapkan Golkar untuk cawagub, antara lain memiliki chemistry kuat atau rasa saling memahami serta komunikasi yang lancar dengan Kamil dan sesuai dengan ideologi partai.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Ono Surono saat diwawancarai, Senin (16/10/2023).
”Kami siap bekerja sama dengan semua pihak yang ingin berkontribusi bagi Jabar. Nama Bima Arya patut dipertimbangkan, sedangkan saya sudah bertemu Ono pada Minggu (5/5) di Bandung untuk membangun komunikasi politik,” kata Ace.
Golkar pun telah membuka komunikasi dengan pimpinan DPD partai politik lainnya di Jabar untuk membicarakan cawagub yang bisa mendampingi Kamil. Hal ini juga untuk memenuhi syarat pencalonan dalam Pilgub Jabar karena raihan suara ataupun kursi Golkar di Jabar tak memenuhi syarat untuk bisa mengusung pasangan calon sendiri.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan, langkah parpol menjodohkan kadernya dengan para tokoh populer untuk maju di pilkada menunjukkan upaya untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan parpol-parpol lain. Oleh karena itu, kader yang diusulkan pun umumnya sudah memiliki bekal elektoral untuk memperbesar peluang kemenangan tokoh yang dibidik guna berpasangan dengan mereka.
”Misalnya, apabila Bima Arya dipasangkan dengan Ridwan Kamil untuk Pilkada Jabar, karena dua-duanya tokoh populer, maka pasangan itu potensi menangnya semakin besar sehingga daya tawar PAN menjadi semakin tinggi,” ujarnya.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Djayadi Hanan
Tak hanya bekal elektoral, kader parpol yang memiliki modal logistik untuk menopang kampanye umumnya juga akan dijodohkan dengan tokoh populer. Zita, misalnya, meski merupakan politisi muda, dia memiliki jejaring politik yang kuat sebagai putri kandung Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. ”Bila demikian (mampu membawa logistik yang banyak untuk kampanye), posisi tawarnya jadi tinggi juga,” kata Djayadi.
Peningkatan daya tawar itu krusial karena parpol berkepentingan untuk menempatkan kadernya sebagai pemimpin di daerah. Jika parpol memiliki kader yang menjadi kepala atau wakil kepala daerah, kemampuan untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan sumber daya akan semakin mudah. Pada tingkatan berikutnya, hal itu akan mengukuhkan posisi parpol sekaligus memudahkan pemenangan pada pemilu atau pilkada periode berikutnya.
Selain itu, ada pula tokoh-tokoh yang belum populer, tetapi turut diperjodohkan dengan bakal kandidat kepala daerah. Langkah ini dinilai lebih terkait dengan kepentingan jangka panjang parpol guna memperkenalkan kader yang diproyeksikan untuk berkontestasi pada periode berikutnya. Perkenalan lebih awal, apalagi disandingkan dengan tokoh populer, bisa menjadi jalan pintas untuk memperkenalkan kader parpol tersebut kepada publik.
”Apabila menang, itu juga akan menjadi (proses) kaderisasi yang sangat baik baginya untuk mempersiapkan diri menjadi kepala daerah di pemilu berikutnya,” tutur Djayadi.
Baca juga: Edy Rahmayadi Menguat sebagai Cagub Sumut dari PDI-P, Foto Jokowi Diturunkan
KOMPAS
Ilustrasi wacana duet Anies-Ahok di Pilkada Jakarta
Terlepas dari berbagai niatan internal parpol, kata dia, peluang keberhasilan perjodohan antarkandidat kepala dan wakil kepala daerah sangat dipengaruhi oleh kapasitas kandidat untuk menambah perolehan suara. Apalagi pada sejumlah daerah krusial yang memiliki jumlah pemilih besar dan beragam, misalnya, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta.
”Kandidat pendamping yang berasal dari basis suara yang berbeda akan dipertimbangkan,” ujar Djayadi.
Di Jabar, misalnya, Kamil membutuhkan kandidat yang kuat di wilayah non-Priangan. Di Jatim, Khofifah membutuhkan wakil yang kuat di daerah Mataraman. Sementara jika Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta dan calon presiden (capres) 2024, kembali maju di Pilkada Jakarta 2024, ia membutuhkan pasangan yang bisa menggaet penduduk beretnis Jawa.
Tanpa kekuatan untuk menambah suara itu, sulit bagi para tokoh yang dipromosikan parpol untuk bisa berpasangan dengan kandidat-kandidat populer. Alih-alih membantu, mereka justru bisa terkesan hanya mendompleng popularitas pasangannya.