Zulhas didukung pimpin lagi PAN. PAN berpotensi mengikuti jejak sederet parpol yang tak kunjung berganti ketua umumnya.

JAKARTA, KOMPAS — Dukungan kepada Zulkifli Hasan untuk menjabat periode ketiga Ketua Umum Partai Amanat Nasional atau PAN kian menguatkan gejala mandeknya regenerasi kepemimpinan di pucuk pimpinan partai politik. PAN yang lahir dari rahim reformasi menyusul partai seperti PDI-P, Gerindra, dan Nasdem, yang tak kunjung berganti ketua umum. Imbas dari sistem kaderisasi dan demokrasi di internal partai yang tak berjalan meski proses demokratisasi Indonesia sudah berlangsung 25 tahun.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi fenomena personalisasi atau presidensialisasi partai politik (parpol) di Indonesia. Fenomena dimaksud terlihat dari minimnya pergantian ketua umum tidak hanya pada parpol yang dinilai dipimpin oleh tokoh karismatik. Belakangan, sejumlah parpol yang selama ini dinilai memiliki kultur yang lebih demokratis pun masuk pada tren yang sama. Hal itu juga terlihat dari merebaknya pembentukan dinasti politik.

Menurut dia, hal itu terjadi karena tidak berkembangnya demokrasi di internal partai. Kendati demokratisasi Indonesia sudah berjalan lebih dari 25 tahun pascareformasi 1998, sistem kaderisasi parpol cenderung tidak berjalan. Pihak yang merasa tak cocok dengan situasi tersebut lebih memilih keluar alih-alih bertahan untuk memperbaiki kondisi. ”Maka, partai-partai makin tergantung pada sedikit, bahkan (hanya) satu figur partai,” kata Djayadi saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (10/5/2024).

Kondisi itu tidak hanya berdampak pada demokratisasi parpol. Pada tingkat nasional, demokratisasi Indonesia juga berjalan dengan pola yang sama. ”Akibatnya, demokrasi kita lebih banyak ditentukan elite politik, terutama yang menguasai parpol-parpol. Apalagi kalau elite-elite tersebut juga bekerja sama dengan kalangan pemilik modal,” ujarnya.

Baca juga: Kongres PAN 2025, Agendanya Cuma Satu: Zulkifli Hasan Jadi Ketua Umum

Djayadi Hanan

KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Djayadi Hanan

Menurut Djayadi, tren ini juga akan berlangsung lama. Ia memprediksi, personalisasi parpol akan terus terjadi selama kepemimpinan elite parpol yang kini masih berkuasa. “Kita tunggu sampai generasi pemimpin parpol yang ada sekarang pensiun. Mungkin lima hingga 10 tahun lagi,” kata dia.

Zulkifli Hasan yang telah menjabat sebagai Ketua Umum PAN sejak 2015 didukung pengurus dan kader PAN agar kembali menduduki jabatan tersebut untuk periode ketiga atau 2025-2030, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PAN, di Jakarta, Kamis (9/5) malam.

Sebelum PAN, dalam beberapa tahun terakhir, tren mandeknya pergantian ketua umum terjadi di banyak parpol. Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P) sejak berubah bentuk dari Partai Demokrasi Indonesia pada era Orde Baru hingga saat ini masih dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Begitu pula Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto dan Partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun masih dipimpin Muhaimin Iskandar setelah mengalami perpecahan internal, yakni sejak tahun 2005 hingga saat ini. Partai Demokrat yang berdiri pada 2003 juga dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono selama tujuh tahun pada 2013-2020. Kepemimpinan Yudhoyono dilanjutkan oleh putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, sejak 2020 hingga saat ini.

Baca juga: Di Hadapan Prabowo, Zulhas Tegaskan PAN Bersama Gerindra Hadapi Pilkada

Ilustrasi. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Mardiono (dari kiri ke kanan) berpose di luar Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (2/5/2023) malam seusai bertemu dengan Presiden Joko Widodo.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Ilustrasi. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Mardiono (dari kiri ke kanan) berpose di luar Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (2/5/2023) malam seusai bertemu dengan Presiden Joko Widodo.

Setelah Pemilu 2024, gejala mandeknya regenerasi kepemimpinan di partai juga terjadi pada Partai Golkar. Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto terpilih secara aklamasi pada Musyawarah Nasional (Munas) 2019 setelah memimpin Golkar berdasarkan hasil Munas Luar Biasa Golkar 2017. Jelang Munas 2024, Airlangga juga menjadi calon kuat dan diharapkan para pengurus parpol tersebut untuk dipilih kembali secara aklamasi.

Baca juga: Kans Airlangga untuk Pimpin Kembali Partai Golkar Menguat

Zulkifli dinilai berhasil

Dukungan untuk Zulkifli dari 38 pengurus PAN tingkat provinsi dan organisasi sayap PAN dalam rakornas dibacakan Ketua DPW PAN Jawa Barat Desy Ratnasari. Dukungan diberikan karena Zulkifli dinilai berhasil memimpin PAN yang didirikan sebagai partai nasionalis religius yang bersifat inklusif serta menjunjung tinggi moralitas agama, nilai kemanusiaan, dan kemajemukan. Segenap pengurus dan kader optimistis PAN akan tumbuh semakin besar serta bermanfaat bagi bangsa dan negara di bawah kepemimpinan Zulkifli ke depan.

Selain itu, menurut Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno, kepercayaan diberikan kembali kepada Zulkifli karena di bawah kepemimpinannya, PAN berhasil meningkatkan perolehan suara di Pemilu 2024 dan raihan kursi PAN di DPR. Zulkifli bahkan dinilai sukses mengatasi berbagai tantangan, seperti potensi pengurangan suara, PAN tidak lolos ambang batas parlemen, hingga kelompok internal yang memisahkan diri dengan PAN.

Meski pengurus dan kader bulat mendukung Zulkifli, lanjut Eddy, PAN akan tetap menggelar kongres untuk menentukan Ketua Umum PAN periode 2025-2030 pada 2025. ”Kami akan tetap menggelar kongres pada tahun 2025, jadi tidak ada percepatan kongres. Yang jelas agendanya cuma satu, yakni aklamasi memutuskan dan menunjuk Pak Zulkifli Hasan sebagai ketua umum periode 2025-2030,” ujar Eddy.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan mendampingi Presiden Terpilih Pilpres 2024 Prabowo Subianto menuju podium pidato dalam acara pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Partai Amanat Nasional (PAN) di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta, Kamis (9/5/2024).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan mendampingi Presiden Terpilih Pilpres 2024 Prabowo Subianto menuju podium pidato dalam acara pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Partai Amanat Nasional (PAN) di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta, Kamis (9/5/2024).

Namun, Ketua DPW PAN DKI Jakarta Eko Patrio berpandangan berbeda. Ia mengusulkan kongres digelar tahun ini mengingat seluruh pengurus dan kader PAN sudah bersepakat menjadikan Zulkifli sebagai ketua umum. ”Ini datangnya dari arus bawah. Tidak ada rekayasa dari atas. Jadwal kongres biasanya di Februari. Tapi, menurut saya, terlalu lama. Seharusnya setelah pemilu, langsung kongres,” kata Eko.

Rival Zulkifli dalam Kongres PAN 2020 yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar PAN, Dradjad Wibowo, mengatakan, meski para pemegang hak suara di kongres telah mendukung Zulkifli, bukan berarti hal itu lantas meniadakan sistem demokrasi di PAN. ⁠

Di kongres kelak, siapa pun tetap berhak maju sebagai calon ketua umum asalkan memenuhi syarat dan mendapat dukungan. Namun, menurut dia, para pemilik suara di PAN rasional dan obyektif karena mereka melihat capaian PAN di bawah kepemimpinan Zulkifli, terutama pada Pemilu 2024 sehingga sangat wajar mereka mendukung kembali Zulkifli sebagai Ketua Umum PAN.

Menjauh dari reformasi

Meski demikian, peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, melihat ada problem di tubuh PAN di era kepemimpinan Zulkifli Hasan, terutama periode kedua dia menjabat, yakni 2020-2025. Setelah Zulkifli menyingkirkan Amien Rais dan orang terdekatnya, PAN tidak pernah lagi melakukan kritik kepada penguasa.

Baca juga: PDI-P Ingatkan Prabowo Tak Antikritik

Firman Noor

KOMPAS/INGKI RINALDI

Firman Noor

Kenyamanan itu berlipat setelah target partai menaikkan suara dan raihan kursi DPR di pemilu tercapai, plus kemenangan capres-cawapres yang mereka usung, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Kondisi itu membuat mereka menganggap Zulkifli telah berprestasi sehingga layak menjabat ketua umum lagi dengan mengabaikan bahwa Menteri Perdagangan itu akan menjabat untuk periode ketiga dan melalui proses aklamasi tanpa kontestasi di kongres. Padahal, PAN lahir dari rahim reformasi yang menekankan pentingnya pembatasan masa kekuasaan dan demokrasi.

”Saya katakan ini ada split personality. Inilah the new PAN yang sayangnya bukan semakin reformis, tapi malah menjauh dari reformasi. Artinya, bisa dikatakan PAN ini sudah tidak sesuai lagi dengan semangat awal,” katanya.