JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah didesak untuk menghentikan pembahasan revisi keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi karena ada tiga pelanggaran serius. Selain menggelar rapat pengambilan persetujuan tingkat pertama secara tertutup di luar masa sidang, DPR dan pemerintah juga dinilai melanggar prinsip partisipasi bermakna dalam pembentukan undang-undang.

Rancangan undang-undang perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi (RUU MK) telah disepakati untuk disahkan di Rapat Paripurna DPR. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (13/5/2024). Rapat tersebut digelar secara tertutup dan tidak dihadiri perwakilan semua fraksi partai politik di Komisi III DPR.

Persetujuan tingkat pertama RUU MK yang terkesan digelar secara sembunyi-sembunyi itu menuai kritik dari masyarakat. Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, misalnya, menilai terdapat tiga hal yang dilanggar dalam proses pembentukan RUU MK.

Pelanggaran pertama terkait dengan pembahasan RUU MK yang digelar di luar masa sidang. Padahal, persoalan mendesak, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), juga tidak boleh dibahas pada masa reses. DPR harus menunggu sidang berikutnya untuk membahas perppu.

Anggota DPR mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen,  Jakarta, Selasa (14/5/2024). Sebanyak 153 anggota DPR hadir dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang V tahun 2023/2024. Sementara 284 anggota DPR tak hadir.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Anggota DPR mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/5/2024). Sebanyak 153 anggota DPR hadir dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang V tahun 2023/2024. Sementara 284 anggota DPR tak hadir.

”Ini memang problematik. Segenting perppu saja, kalau DPR lagi reses, itu tidak dibahas. DPR membahas setelah masuk masa persidangan, bukan saat reses,” ujar Bayu saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Saat ditanya apakah ada larangan membahas sebuah RUU di masa reses, Bayu pun menjelaskan bahwa UU sudah membagi waktu DPR menjadi masa sidang dan masa reses. Pada masa sidang, DPR menjalankan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Sementara saat reses, DPR menjalankan fungsi pengawasan.

Pelanggaran kedua, menurut Bayu, adalah rapat pengambilan keputusan tingkat pertama untuk RUU MK digelar secara tertutup. Pada dasarnya, pembahasan atau pengambilan keputusan di tingkat pertama haruslah digelar secara terbuka sehingga publik dapat memantau pendapat-pendapat yang berkembang. Lain cerita dengan forum lobi, bisa dilangsungkan dalam pertemuan secara tertutup.

”Dalam pembahasan tingkat pertama, ada namanya forum lobi ketika tidak ada persetujuan. Forum lobi itu yang tertutup. Bukan rapat pembahasan tingkat satunya (yang tertutup),” katanya.

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto bersama perwakilan setiap fraksi partai menandatangani berkas pengambilan keputusan tingkat 1 atas RUU Mahkamah Konstitusi, Senin (13/5/2024), di kompleks Parlemen, Jakarta.

KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto bersama perwakilan setiap fraksi partai menandatangani berkas pengambilan keputusan tingkat 1 atas RUU Mahkamah Konstitusi, Senin (13/5/2024), di kompleks Parlemen, Jakarta.

Pelanggaran ketiga yang tak kalah serius, menurut Bayu, adalah tidak terpenuhinya proses pembahasan RUU yang mensyaratkan prinsip partisipasi publik bermakna atau meaningfull participation. Semestinya publik dapat mengetahui proses pembentukan perundang-undangan, sejak perencanaan, pembahasan, hingga pengesahan. Masyarakat juga dapat memberikan masukan kepada pembentuk undang-undang.

”Tiga hal itu sudah menunjukkan ada problem dalam tata cara revisi keempat UU MK ini. Kita tidak bisa bicara substansi tanpa kemudian melihat aspek prosedur. Harusnya dipenuhi dulu (prosedurnya) karena substansi itu sangat terkait dengan prosedur. Contohnya, jika partisipasi publik itu berjalan, ada pengaruhnya pada substansi, kan,” tutur Bayu.

Selain itu, pembentuk undang-undang seharusnya memperhatikan putusan MK Nomor 81/PUU0XXI/2023 terkait dengan revisi UU MK. Bayu menilai, revisi keempat UU MK tersebut dilakukan dengan mengabaikan putusan MK Nomor 81/2023.

Pelanggaran ketiga yang tak kalah serius, menurut Bayu, adalah tidak terpenuhinya proses pembahasan RUU yang mensyaratkan prinsip partisipasi publik bermakna atau meaningfull participation.

Putusan MK Nomor 81/2023 merupakan putusan terkait pengujian UU No 7/2020 (revisi ketiga UU MK) yang diajukan oleh Fahri Bachmid, dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar. Fahri yang didampingi oleh kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa, menguji Pasal 15 Ayat (2) UU No 7/2020 terkait dengan syarat usia minimum hakim MK 55 tahun. Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila dimaknai selain dari yang secara eksplisit tersurat dalam norma tersebut, yakni berusia minimal 55 tahun.

Pengujian ini dilakukan berkenaan dengan adanya upaya menaikkan syarat usia minimal hakim MK dari 55 tahun menjadi 60 tahun. Namun, upaya tersebut batal setelah mendapat protes dari kalangan masyarakat.

Dalam pertimbangan putusan No 81/2023 yang dibacakan pada 29 November 2023 lalu, MK memberikan batasan atau rambu-rambu yang harus dijadikan pedoman oleh pembentuk undang-undang. Perubahan UU tersebut tidak boleh merugikan subyek yang menjadi adresat dari substansi perubahan regulasi yang dimaksud.

”Khusus berkenaan dengan UU MK, terutama berkenaan dengan persyaratan usia, perubahan tersebut tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Artinya, bilamana pembentuk undang-undang berhendak untuk mengubah persyaratan, selain persyaratan yang diatur dalam UUD 1945 termasuk perubahan masa jabatan (periodisasi), perubahan tersebut haruslah diberlakukan bagi hakim konstitusi yang diangkat setelah undang-undang tersebut diubah,” demikian bunyi pertimbangan putusan MK No 81/2023 halaman 33.

Ketua persidangan, yaitu hakim konstitusi Suhartoyo (tengah) bersama hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh (kiri) dan Muhammad Guntur Hamzah (kanan), menangangi perkara di sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilihan legislatif panel 1 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/4/2024).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua persidangan, yaitu hakim konstitusi Suhartoyo (tengah) bersama hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh (kiri) dan Muhammad Guntur Hamzah (kanan), menangangi perkara di sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilihan legislatif panel 1 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/4/2024).

Lebih lanjut MK menyatakan, manakala ketentuan mengenai persyaratan dan masa jabatan dibuah dan diberlakukang langsung kepada mereka yang sedang menjabat, dapat dikatakan perubahan demikian berdampak pada yang sedang menjabat. Berkaitan dengan hal tersebut, UU No 12/2011 telah menegaskan jaminan atau perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak perubahan ketentuan peraturan perundangan.

MK juga menegaskan, perubahan regulasi yang sering kali dilakukan—termasuk mengubah syarat usia dan masa jabatan—akan mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Padahal, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menjamin adanya kemandirian kekuasaan kehakiman.

Hentikan pembahasan

Dengan adanya tiga pelanggaran serius dalam proses pembahasan revisi keempat UU MK dan pengabaian putusan MK, Bayu menyarankan agar pembahasan perubahan UU MK dihentikan. DPR dan pemerintah berwenang untuk memutuskan penghentian pembahasan sebuah RUU meski sudah mendapatkan persetujuan tingkat pertama. Penghentian pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada tahun 2019 lalu bisa menjadi preseden. Kala itu, DPR dan pemerintah sepakat untuk menunda pembahasan RUU KUHP karena muncul penolakan masif dari masyarakat di berbagai daerah.

Oleh karena itu, Bayu mengusulkan agar Badan Musyawarah (Bamus) DPR tidak menjadwalkan atau mengagendakan revisi keempat UU MK dibawa ke rapat paripurna. Cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan tetap membawa RUU MK ke rapat paripurna, tetapi kemudian diputuskan untuk dikembalikan ke Komisi III DPR karena ada problem pelanggaran prosedur yang serius.

”Meski sudah disetujui di tingkat satu, paripurna bisa memerintahkan untuk dilakukan pembahasan kembali,” kata Bayu.

Hakim konstitusi Saldi Isra (kanan) dan Enny Nurbaningsih mengiikuti sidang pembacaan putusan PHPU Pilpres 2024 oleh hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Hakim konstitusi Saldi Isra (kanan) dan Enny Nurbaningsih mengiikuti sidang pembacaan putusan PHPU Pilpres 2024 oleh hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).

Secara terpisah, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat ditemui di DPR enggan menjawab saat dimintai tanggapan mengenai desakan untuk menghentikan proses pengesahan RUU MK. Ia hanya menegaskan, dengan adanya persetujuan tingkat pertama itu, DPR tinggal mengesahkan RUU MK di rapat paripurna.

”Kalau saya lihat bahwa keputusan yang sudah diambil antara pemerintah dan DPR tinggal dilanjutkan di paripurna,” ujar Dasco.

Terlepas dari itu, lanjut Dasco, sisa dua masa sidang ini sampai Oktober 2024 mendatang. Di sisa waktu tersebut, Komisi III DPR dan pemerintah bisa saling berkoordinasi untuk mendalami hasil kesepakatan yang telah dibuat. ”Nanti, kita tunggu saja hasilnya,” ujarnya.

Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan keterangan pers sebelum memasuki ruang rapat pimpinan nasional  Partai Gerindra di Jakarta, Senin (23/10/2023).

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan keterangan pers sebelum memasuki ruang rapat pimpinan nasional Partai Gerindra di Jakarta, Senin (23/10/2023).

Selain itu, Dasco juga menanggapi Komisi III yang menggelar rapat pembahasan tingkat pertama atas RUU MK pada masa reses. Menurut Dasco, pembahasan di masa reses harus seizin pimpinan DPR. Ia pun mengklaim, pimpinan sudah memberikan izin untuk digelar rapat pembahasan tingkat pertama atas RUU MK, Senin kemarin.

”Ya seharusnya kalau ada pembahasan di masa reses, harusnya sudah izin pimpinan, dan (rapat) itu sudah saya cek, ada izin pimpinannya,” kata Dasco.

 
 
Editor:
ANITA YOSSIHARA