Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?

1. Mengapa saat ini pemerintah dan DPR merevisi UU MK?

2. Apa latar belakang politik di balik revisi UU Mahkamah Konstitusi?

3. Bagaimana proses revisi UU MK saat ini?

4. Mengapa pemerintah dan DPR merevisi UU MK secara diam-diam?

5. Bagaimana pandangan kritis akademisi dan pengamat hukum tata negara terhadap proses revisi UU MK saat ini?

 

Mengapa saat ini pemerintah dan DPR merevisi UU MK?

Ada penilaian bahwa saat ini bukan saat yang tepat untuk membahas keanggotaan hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu alasan karena sekarang ini merupakan masa setelah putusan MK mengenai sengketa pemilu presiden. Perubahan-perubahan norma dapat dinilai melegitimasi atau membenarkan asumsi publik bahwa terjadi “pengancaman” hakim MK, terutama yang dissenting opinion.

Utak-atik UU MK memperkuat asumsi publik bahwa terjadi “pembersihan” pada hakim-hakim MK yang tidak sesuai dengan rezim pembentuk undang-undang, yang dalam hal ini adalah pemerintah dan DPR.

Apa latar belakang politik di balik revisi UU Mahkamah Konstitusi?

Revisi keempat UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinilai kental dengan kepentingan politis. Pengaturan ulang masa jabatan hakim konstitusi dalam revisi ini ditengarai untuk mengontrol komposisi hakim agar sesuai dengan kepentingan politik pemerintah dan DPR.

Ada kekhawatiran revisi UU MK dapat menyandera hakim konstitusi. Revisi sewaktu-waktu dapat berjalan, terutama jika ada kebijakan atau putusan MK yang tidak menguntungkan kepentingan politik tertentu.

Seperti diketahui, Pasal 87 huruf a draf RUU MK mengatur, hakim konstitusi yang telah menduduki jabatan selama lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun harus mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul apabila hendak melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun. DPR memang mengubah masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga pensiun pada usia 70 tahun menjadi lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu periode berikutnya (maksimal 10 tahun).

Baca juga: Menjaga Hakim Konstitusi

Bagaimana proses revisi UU MK saat ini?

Rapat persetujuan membawa RUU MK ke paripurna diambil dalam rapat tertutup antara Komisi III DPR dan pemerintah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/5/2024), notabene masih masa reses, yang semestinya dimanfaatkan anggota DPR menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya. Rapat tertutup ini dilangsungkan di luar masa persidangan DPR yang sesungguhnya baru akan dimulai pada Selasa (14/5/2024).

Dari Komisi III DPR hadir perwakilan dari delapan fraksi di DPR. Hanya perwakilan Fraksi PDI Perjuangan yang tidak hadir. Hadir mewakili pemerintah yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto dan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Asep Mulyana.

Mengapa pemerintah dan DPR merevisi UU MK secara diam-diam?

Revisi UU MK tak pernah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, meski sudah disepakati sebagai usul inisiatif DPR sejak Februari 2023. DPR pun menargetkan RUU ini tuntas dibahas dalam waktu dekat.

Baca juga: Tak Masuk Prolegnas, Revisi UU MK Tahu-tahu Dibahas dalam Senyap

Belakangan, dari seluruh fraksi di DPR, hanya fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang tidak hadir dalam rapat tertutup antara Komisi III DPR dengan pemerintah yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/5/2024). Pada rapat tersebut, semua sepakat RUU MK akan dibawa ke rapat paripurna.

Bagaimana pandangan kritis akademisi soal revisi UU MK saat ini?

Ada desakan untuk menghentikan pembahasan revisi keempat UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi karena terjadinya sejumlah pelanggaran serius. Pelanggaran dimaksud yakni digelarnya rapat pengambilan persetujuan tingkat pertama RUU MK di luar masa sidang.

Padahal, UU sudah membagi waktu DPR menjadi masa sidang dan masa reses. Pada masa sidang, DPR menjalankan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Sementara itu pada masa reses, DPR menjalankan fungsi pengawasan.

DPR dan pemerintah juga dinilai melanggar ketika rapat pengambilan keputusan tingkat pertama untuk RUU MK tersebut digelar secara tertutup. Seharusnya, pembahasan atau pengambilan keputusan di tingkat pertama digelar secara terbuka sehingga publik dapat memantau aneka pendapat yang berkembang.

Pelanggaran berikutnya adalah tidak terpenuhinya proses pembahasan RUU yang mensyaratkan prinsip partisipasi publik bermakna. Publik seharusnya dapat mengetahui proses pembentukan perundang-undangan sejak perencanaan hingga pengesahan dan memberikan masukan.

 
 
Editor:
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO