JAKARTA,KOMPAS – Revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang sudah disetujui oleh pemerintah dan Komisi III DPR dinilai kental dengan kepentingan politis. Revisi UU tersebut ditengarai untuk mengontrol komposisi hakim MK agar sesuai dengan kepentingan politik pemerintah dan DPR. Hakim-hakim yang tidak mendukung dengan kepentingan politik tersebut, diduga akan dibersihkan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, mengaku prihatin jika ada proses pembahasan RUU MK lagi. Saat ini, bukan masa yang tepat untuk membahas keanggotaan hakim MK. Salah satu alasannya, saat ini adalah masa setelah putusan MK mengenai sengketa pemilu presiden.
Baca juga:
Ia melanjutkan, “Nah sekarang, kalau diutik-utik lagi UU MK hanya karena masa jabatan, ini memperkuat asumsi publik bahwasannya terjadi “pembersihan” pada hakim-hakim MK yang tidak sesuai dengan rezim pembentuk undang-undang. Rezim pembentuk undang-undang alah pemerintah dan DPR.”
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus hakim konstitusi Suhartoyo (empat dari kiri) didampingi hakim konstitusi lainnya (kiri ke kanan) Arsul Sani, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Arief Hidayat, Daniel Yusmic Foekh, M Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur membuka sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Seharusnya, pada masa transisi seperti saat ini, dipertahankan status quo. Apabila ada agenda legislasi yang harus dibahas, seharusnya menurut Aan menunggu waktu hingga terjadi pergantian tampuk kekuasaan pada bulan Oktober mendatang.
Selain itu, Aan menilai tak ada urgensi untuk mengatur ulang masa jabatan hakim MK. Masa jabatan hakim konstitusi baru diubah pada tahun 2020 lalu melalui revisi ketiga UU MK. Masa jabatan hakim yang semula 5 tahun diubah menjadi maksimal 15 tahun atau berusia paling tinggi 70 tahun.
“Saya sih menduganya hakim yang DO (dissenting opinion), membersihkan itu. Itu kan tambah tidak karu-karuan. Jadi pembentukan hukumnya lebih condong untuk kepentingan politik. Bukan aspek hukum lagi. Bukan keadilan lagi yang menjadi penjuru,” ujarnya.
Mengontrol MK
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Managing Partner sekaligus pendiri Themis Law Office, Feri Amsari. Ia menilai revisi UU MK merupakan dagelan legislasi yang berkelanjutan. Revisi dilakukan untuk memastikan hakim-hakim yang tidak bisa ditundukkan dengan kepentingan politik karena selalu bicara penegakan konstitusi, hendak disingkirkan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
“Bukan tidak mungkin ini cara politisi untuk menawan hakim konstitusi berkaitan dengan kepentingan politik ke depan. Misalnya, revisi UU Kementerian Negara yang hendak ditambah jumlah kementeriannya. Jadi, hakim hendak ditarik ke politik praktis. Padahal, dengan selalu mengancam para hakim dalam proses penentuan masa jabatan, itu makin menunjukkan bahwa ini bukan peradilan. Ini lembaga yang punya palu untuk mengesahkan (kepentingan politik penguasa-red),” kata Feri.
MK nantinya hanya akan menjadi alat politik untuk membenarkan langkah-langkah politik yang diambil penguasa.
Baginya, revisi UU MK merupakan upaya untuk mengendalikan MK dengan mengendalikan komposisi hakim-hakim yang ada di dalamnya. “Upaya mengendalikan komposisi hakim itulah yang terlihat akhir-akhir ini. Mana hakim yang tidak disenangi didepak, seperti Aswanto,” kata Feri.
Berdasarkan draf yang diperoleh, ada tiga pasal yang direvisi. Pertama, DPR dan pemerintah menambahkan pasal 23A yang mengatur tentang masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun. Setelah menjabat selama lima tahun, maka akan dikembalikan ke lembaga pengusul untuk mendapat persetujuan/tidak mendapatkan persetujuan melanjutkan jabatannya. Jika tidak disetujui oleh lembaga pengusul, maka lembaga pengusul mencari hakim konstitusi baru.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Hakim Konstitusi (kiri ke kanan) Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Arief Hidayat saat sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 oleh hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Kedua, revisi Pasal 27A UU MK terkait komposisi Majelis Kehormatan MK. Keanggotaan MKMK diubah menjadi lima orang yang berasal dari unsur hakim konstitusi aktif, satu orang diusulkan oleh MK, satu orang diusulkan Mahkamah Agung, satu orang diusulkan DPR, dan satu orang lagi diusulkan Presiden.
Sementara itu, pasal ketiga yang direvisi adalah terkait aturan peralihan atau Pasal 87 yang mengatur nasib hakim konstitusi saat ini. Bagi hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun, hanya dapat melanjutkan jabatannya setelah mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul (Pasal 87 huruf a).
Saat ini, hakim konstitusi Saldi Isra sudah menjabat selama 7 tahun 1 bulan. Ia pertama kali dilantik menjadi hakim konstitusi 11 April 2017. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih sudah menjabat hakim konstitusi sejak 13 Agustus 2018, atau per 13 Mei 2024 sudah menjabat selama 5 tahun 8 bulan. Sedangkan hakim konstitusi Suhartoyo sudah menjabat sejak 17 Januari 2015 atau sudah sekitar 9 tahun 4 bulan.
Sementara itu, Pasal 87 huruf b mengatur hakim konstitusi yang sedang menjabat dan masa jabatannya sudah melebihi 10 tahun, masa jabatannya berakhir pada usia 70 tahun jika mendapat persetujuan dari lembaga pengusul. Ketentuan ini berlaku untuk hakim konstitusi Arief Hidayat yang sudah menjabat sebagai hakim konstitusi 1 April 2013 atau sudah sekitar 11 tahun 1 bulan dan hakim konstitusi Anwar Usman yang sudah menjabat sejak 6 April 2011 atau sudah menjabat selama 13 tahun 1 bulan.