JAKARTA, KOMPAS — Proses revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang diam-diam dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat dan komposisi panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang didominasi pemerintah dapat menjadi ancaman bagi demokrasi. Ini karena ada indikasi kedua langkah itu akan melemahkan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, dua lembaga yang merupakan anak kandung reformasi.

Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Wahyudi Kumorotomo melihat, upaya melemahkan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu dilakukan oleh pemerintah bersama politisi di DPR.

”Kita melihat bagaimana keseimbangan tiga kekuatan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, itu tidak akan berlaku lagi. Semuanya akan berada di bawah kendali eksekutif,” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Pada Senin (13/5), Rancangan Undang-Undang Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah disepakati dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui dan disahkan menjadi UU. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto, di Jakarta, yang digelar tertutup dan tidak dihadiri perwakilan semua fraksi parpol di Komisi III.

Dari tiga poin revisi dalam RUU MK, salah satunya, yaitu Pasal 87, mengatur masa jabatan hakim konstitusi saat ini. Mereka hanya dapat melanjutkan jabatannya setelah mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul, yakni pemerintah, DPR, atau Mahkamah Agung (MA). Para hakim dimaksud adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Anwar Usman.

Sementara itu, dari sembilan anggota panitia seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK (pansel capim dan Dewas KPK), lima dari unsur pemerintah dan empat dari unsur masyarakat. Presiden Joko Widodo, Selasa (14/5/2024), berjanji akan mengisi pansel itu dengan sosok berintegritas.

Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengikuti sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 oleh hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengikuti sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 oleh hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).

Hingga Rabu, kesembilan hakim MK tetap fokus menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Anggota Legislatif 2024. Saat dikonfirmasi apakah para hakim terganggu dengan isu revisi UU MK, Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih menyatakan, ”Kami tetap bekerja seperti biasa, apalagi menyidangkan perkara harus full konsentrasi, supaya tidak ada keadilan yang tercederai.”

Kepanjangan tangan

Wahyudi memandang ada indikasi MK dan KPK diupayakan untuk dijadikan sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan. Terlebih, pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah di depan mata. ”Tak tertutup kemungkinan revisi UU MK itu terkait kepentingan menghadapi sidang sengketa hasil pilkada nanti,” tuturnya.

Ada indikasi MK dan KPK diupayakan untuk dijadikan sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan. Terlebih, pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah di depan mata.

Kekhawatiran Wahyudi itu berangkat dari materi revisi UU MK yang, antara lain, terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi. Menurut dia, tak menutup kemungkinan revisi UU MK itu akan memengaruhi posisi hakim konstitusi yang menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda di sidang perselisihan hasil Pilpres 2024. Mereka adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

”Di atas kertas kita bisa lihat, nama-nama yang kemarin itu, dalam sidang (sengketa) pilpres, (hakim konstitusi) yang menyampaikan dissenting opinion, tampaknya bakal yang paling cepat tersingkir. Ini saya kira kecenderungan yang menunjukkan semakin dalamnya kemunduran demokrasi kita,” kata Wahyudi.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura melihat revisi UU MK sebagai salah satu upaya mengganggu independensi kekuasaan kehakiman, dalam hal ini hakimnya.

Di balik itu, Charles menduga, revisi UU MK menjadi salah satu upaya melumpuhkan MK. Baginya, saat ini merupakan situasi menuju era yang menolak checks and balances.

Tanda Tanya di Balik ”Operasi Senyap” Revisi UU MK, Sarat Kepentingan Politis?

KOMPAS

Tanda Tanya di Balik ”Operasi Senyap” Revisi UU MK, Sarat Kepentingan Politis?

Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Muhamad Nurdin, menyampaikan, revisi RUU MK sudah selesai dan diputus oleh Komisi III. Saat ini prosesnya berlanjut untuk disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna.

Saat ditanya apakah PDI-P bakal menunjukkan sikap penolakan dan lainnya, Nurdin tak menjawab gamblang. Bagi dia, pembahasan sudah selesai meski PDI-P tidak dilibatkan secara resmi.

Pansel KPK menentukan

Sejumlah kelompok masyarakat juga khawatir komposisi pansel capim dan Dewas KPK akan lebih memenuhi kepentingan pemerintah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah pun meminta agar Presiden memperbanyak unsur masyarakat pada pansel.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyampaikan, masukan itu telah disampaikan lewat surat kepada Presiden. Pertimbangannya, sampai saat ini masih marak korupsi dalam berbagai bentuk dan modus yang semakin menyengsarakan kehidupan sosial ekonomi rakyat, terancamnya kualitas sumber daya alam, dan luruhnya martabat kenegaraan.

Apalagi, kepercayaan publik terhadap KPK semakin tergerus dengan berbagai polemik di lembaga tersebut. Hasil survei Litbang Kompas periode Desember 2023, citra baik KPK ada di angka 47,5 persen, menjadi yang terendah dari 22 kali survei sejak Januari 2015. Padahal, pada survei Januari 2015, citra baik KPK pernah di angka 88,5 persen.

Menurut Busyro, pansel capim KPK tahun 2024 merupakan momentum emas untuk memulihkan citra KPK. Selain itu, membangkitkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemberantasan korupsi yang tangguh dan unggul serta independen. Proses pembentukan pansel ini menjadi momentum masyarakat untuk berpartisipasi dalam gerakan bersama pemberantasan korupsi. (MDN)

 
 
Editor:
MADINA NUSRAT