JAKARTA, KOMPAS — Revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diduga untuk melumpuhkan lembaga peradilan politik tersebut dengan cara mengutak-atik komposisi hakim. Revisi diduga untuk memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintahan di masa mendatang ketika dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura menduga revisi UU MK menjadi salah satu upaya untuk melumpuhkan MK dan memastikan pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka bisa mengendalikan seluruh lembaga. Baginya, saat ini merupakan situasi menuju era yang menolak checks and balances.
Ia menilai, pemerintah saat ini memang ingin mematikan lembaga peradilan. Apalagi, dalam konteks ini, MK adalah garda terakhir upaya menjaga prinsip negara hukum.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Hakim konstitusi, Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Suhartoyo (dari kiri ke kanan), bersiap memimpin persidangan pengujian materiil Kitab Undang-undang Hukum Perdata di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (13/3/2023).
Revisi UU MK juga dinilai sebagai salah satu upaya mengganggu independensi kekuasaan kehakiman, dalam hal ini hakimnya. Padahal, hakim seharusnya tidak diganggu, baik keamanan pribadinya maupun jaminan atas masa jabatannya.
”Kalau begini, kan, mengganggu, ya. Apalagi ini masih dalam proses sibuk menangani sengketa pemilu legislatif. Sementara DPR juga sedang reses kemarin (Senin, 13/5/2024), selain lagi lame duck session. Perilaku ini menunjukkan perilaku DPR yang memiliki kebiasaan di setiap akhir masa jabatannya mereka meninggalkan legacy yang buruk,” kata Charles.
Secara terpisah, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menilai revisi keempat UU MK aneh dan berpotensi mengganggu independensi hakim, khususnya dalam aturan peralihan (Pasal 87). Oleh karena itulah, saat menjadi Menko Polhukam, Mahfud menolak menyetujui draf revisi UU MK.
”Kenapa? Orang ini secara ditakut-takuti, kami ini diganti, lo, dikonfirmasi. Tanggal sekian dijawab tidak, berhenti, habis kamu sebagai hakim. Jadi, independensinya sudah mulai disandera,” kata Mahfud dalam rilisnya, Rabu.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mahfud MD
Menurut Mahfud, UU MK tersebut—meskipun jika substansinya bagus—tidak berlaku untuk para hakim yang tengah menjabat saat ini. Para hakim tersebut harus dibiarkan menjabat hingga habis masa jabatannya, baru kemudian diganti. Namun, menurut Mahfud, DPR tidak sepakat dengan hal tersebut karena mereka menginginkan hakim-hakim yang ada sekarang langsung diganti.
”DPR tidak mau, pokoknya langsung, begitu UU ditetapkan hakim yang belum 10 tahun tapi sudah di atas lima tahun dikonfirmasi lagi. Wah, saya bilang ini tidak benar, dalam ilmu hukum ini keliru, saya bilang. Akhirnya apa? Deadlock-kan saja saya bilang. Maka deadlock selama saya jadi menko,” kata Mahfud.
Di tengah isu yang mencuat mengenai pembahasan revisi UU MK, kesembilan hakim MK tetap fokus menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) legislatif. Saat dikonfirmasi apakah para hakim terganggu dengan isu revisi tersebut, Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih mengungkapkan, ”Kami tetap bekerja seperti biasa, apalagi menyidangkan perkara harus full konsen supaya tidak ada keadilan yang tercederai.”
Charles mengungkapkan, masyarakat sipil akan melawan upaya pelumpuhan MK melalui revisi MK. Masyarakat sipil akan mengajukan uji formil dan uji materiil terhadap RUU tersebut setelah disahkan menjadi undang-undang.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, Senin (24/2/2020).
”Beberapa teman masyarakat sipil juga sudah siap-siap untuk judicial review. Sebab, itu satu-satunya jalan yang bisa digunakan untuk menolak UU MK (hasil revisi keempat),” kata Charles.
Pihaknya juga akan mengampanyekan permasalahan tersebut ke publik dan mengajak masyarakat untuk melakukan perlawanan. Apalagi, ada putusan 81/PUU-XXI/2023 yang mengandung penegasan bahwa segala bentuk perubahan regulasi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang tidak berlaku untuk para hakim yang sedang menjabat.
Sementara pasal 87 huruf a dan b draf RUU MK mengatur perlunya persetujuan dari lembaga pengusul bagi hakim MK yang sudah menjabat selama 5 tahun dan menuju 10 tahun. Konfirmasi juga diperlukan hakim yang sudah menjabat lebih dari 10 tahun jika akan melanjutkan hingga usia pensiun 70 tahun.
Kami tetap bekerja seperti biasa, apalagi menyidangkan perkara harus full konsen supaya tidak ada keadilan yang tercederai.
Namun, Charles menilai, persoalan perlunya konfirmasi tersebut bukan hanya untuk para hakim yang sudah menjabat lebih dari 5 tahun. Namun, para hakim baru, seperti Arsul Sani, Ridwan Mansyur, Daniel Yusmic P Foekh, dan Guntur Hamzah, juga harus mendapatkan konfirmasi ketika akan melanjutkan lima tahun kedua.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Muhamad Nurdin, menyampaikan, revisi RUU MK sudah diputus telah selesai dan diputus oleh Komisi III. Saat ini prosesnya berlanjut untuk disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna.
”Revisi RUU MK sudah diputus, disetujui untuk dibawa ke proses selanjutnya, paripurna,” kata Nurdin.
Saat ditanya apakah PDI-P bakal menunjukkan sikap penolakan dan lainnya, Nurdin tak menjawab gamblang. Bagi dia, pembahasan sudah selesai meskipun PDI-P tidak dilibatkan secara resmi.