JAKARTA, KOMPAS — Lontaran narasi dari anggota DPR terhadap upaya merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mulai terbagi-bagi. Terdapat kelompok yang sepakat bahwa pengubahan jumlah menteri menjadi kewenangan presiden. Ada pula yang mempertanyakan efisiensi dan tantangan seperti apa yang membutuhkan perombakan jumlah menteri.

Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengkritisi perubahan Pasal 15 UU Kementerian Negara dalam rapat panitia kerja (panja) Badan Legislasi DPR di Kompleks Parlemen, Rabu (15/5/2024). Fraksi lainnya cenderung sepakat dan masih menunggu pandangan yang akan dipaparkan dalam rapat berikutnya.

 

Baleg DPR mengusulkan Pasal 15 UU Kementerian Negara berubah dari ”Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat)” menjadi ”Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 ditetapkan sesuai dengan kebutuhan Presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan”.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI-P, Sturman Panjaitan, mempertanyakan apakah diksi efektivitas bakal meniadakan asas efisiensi. Aturan penjelasan atau lanjutan pun dibutuhkan untuk memberi kepastian hukum.

Anggota Komisi I DPR, Sturman Panjaitan (kanan), bergurau dengan Asisten Intelijen KSAL Mayor Jenderal Suaf Yanu Hardani (tengah) dan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Letnan Jenderal Rudianto di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (2/2/2023).

ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Anggota Komisi I DPR, Sturman Panjaitan (kanan), bergurau dengan Asisten Intelijen KSAL Mayor Jenderal Suaf Yanu Hardani (tengah) dan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Letnan Jenderal Rudianto di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (2/2/2023).

”Efisiensi ini perlu diperhatikan juga, tak bisa sekadar efektivitas. Memang untuk membunuh seekor nyamuk, memakai bom itu efektif, tetapi tak efisien. Gitu, loh. Maka perlu didefinisikan lebih lanjut efisiensi dan efektivitas ini,” ujarnya.

Apabila tidak diatur, setiap orang bisa bebas mendefinisikan secara mandiri. Lagi pula, jumlah kementerian bakal berhubungan dengan mitra kerja DPR dan anggaran pemerintah pusat dan daerah. Ini bakal menimbulkan masalah pada kemampuan pendanaan negara.

Tanpa pengaturan yang jelas, pemerintah bisa seenaknya mengatur negara.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI-P, Putra Nababan, menambahkan, alasan perubahan jumlah menjadi sesuai kebutuhan presiden juga membutuhkan kajian lebih lanjut. Sejauh ini, alasannya sekadar tantangan global dan kebutuhan zaman yang berbeda.

”Tantangan negara terberat sejauh ini adalah Covid-19. Yang seberat Covid-19 itu contohnya perang dunia kedua, bukan krisis moneter karena ada negara yang tidak terdampak. Ujian macam apa yang lebih dahsyat dari pandemi yang membuat postur pemerintahan terserah presiden terpilih,” katanya.

Meskipun demikian, ia sepakat bahwa jumlah kementerian tidak perlu diatur dalam undang-undang. Namun, melihat kajian empirik terkini, Indonesia berhasil melewati pandemi Covid-19.

Sementara itu, anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Ansori Siregar, menyebutkan, tanpa pengaturan yang jelas, pemerintah bisa seenaknya mengatur negara. Apabila dibebaskan, bisa dipastikan presiden akan menambah jumlah kementerian.

https://cdn-assetd.kompas.id/zv4uhfcLcUxj9Otpt017CuFgX9o=/1024x686/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F03%2F25%2Ff9f4ce02-86bd-43db-9d0b-2c762d7d3364_jpeg.jpeg

”Kenapa kita ubah-ubah ini. Kalau saya sudah pastikan dia (presiden) menambah. Saat ini saja, berbagai masalah stunting, pengangguran, dan pendidikan belum teratasi. Kalau kita ubah dengan sebebasnya, ya nanti semaunya mengatur negara. Kapan Indonesia jadi negara maju? Kalau memperbanyak, di mana efisiensinya?” jelasnya.

Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas menuturkan, parameter efektivitas menjadi kewenangan pemerintah sepenuhnya. Tentu pemerintah bakal menentukan yang terbaik untuk mencapai target nasional.

Dunia pendidikan kita belum bisa berbuat banyak untuk menurunkan angka kemiskinan. Dasar, menengah, perguruan tinggi menjadi satu, ini cukup gemuk.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Zainuddin Maliki, menjelaskan, negara yang mengejar efisiensi, tetapi mengesampingkan kerampingan struktur, maka tidak ada perubahan. Dalam dunia pendidikan, kementerian mencakup sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.

”Dunia pendidikan kita belum bisa berbuat banyak untuk menurunkan angka kemiskinan. Dasar, menengah, perguruan tinggi menjadi satu, ini cukup gemuk. Ini perlu dipecah, dasar dan menengah sendiri, perguruan tinggi digabung dengan penelitian. Ini memang tidak efisien, tetapi hasilnya efektif,” terangnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/g82I3pYx4W5uBYQi7LQX8AX8-DE=/1024x667/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F05%2Fbd062b38-2ed7-42e5-9def-4b5dc7cda290_png.png

Menurut anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Illiza Sa’aduddin Djamal, efisiensi memang suatu keharusan. Namun, sejarah jumlah kementerian dari beragam pemerintahan nasional cenderung variatif, bahkan sempat menyentuh angka ratusan menteri.

Saya kira presiden terpilih perlu mencapai visi dan misinya. Terkait pola dan caranya, presiden itu sendiri yang bisa menentukan yang terbaik.

”Saya kira presiden terpilih perlu mencapai visi dan misinya. Terkait pola dan caranya, presiden itu sendiri yang bisa menentukan yang terbaik,” ujarnya.

Melihat perdebatan tanpa ujung dari rekan-rekannya, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi PPP Achmad Baidowi meminta agar pembahasan dilanjutkan pada pertemuan besok dengan membawa bekal pandangan dari setiap fraksi.

Tanpa alasan

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mempertanyakan alasan revisi Undang-Undang Kementerian Negara. Alasan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilainya tidak tepat. Sebab, putusan MK yang perlu ditindaklanjuti adalah putusan yang MK sudah memberikan norma secara jelas seperti dalam putusan UU Perkawinan.

Misalnya mau bikin Kementerian Kebudayaan, ya bisa saja. Tetapi, hal itu dilakukan dengan mengurangi kementerian lain, seperti menggabungkan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan.

”Tetapi, ini, kan, tidak ada,” kata Charles. Dalil-dalil yang digunakan sebagai alasan merevisi UU Kementerian Negara, seperti untuk menguraikan kualifikasi menteri secara lebih detail, ujarnya, tidak tepat. Sebab, hal itu justru merupakan hak prerogatif presiden. Menurut Charles, hal tersebut hanya untuk bumbu-bumbu.

Baca juga: Beda Pendapat PDI-P dan Gerindra soal Revisi UU Kementerian Negara

Ia pun menolak revisi UU Kementerian Negara, apalagi hanya untuk menambah jumlah kementerian. Karena menolak revisi, pihaknya tidak akan memberikan masukan apa pun. ”Kalau kasih masukan malah sama saja memberikan legitimasi,” ujarnya.

Menurut Charles, yang seharusnya dilakukan adalah bukan merevisi UU Kementerian Negara untuk menambah jumlah kementerian. Pemerintah seharusnya cukup mengubah nomenklatur kementerian jika nomenklatur yang ada saat ini dinilai belum tepat. Hal itu cukup dilakukan dengan mengubah peraturan presiden.

”Misalnya mau bikin Kementerian Kebudayaan, ya bisa saja. Tetapi, hal itu dilakukan dengan mengurangi kementerian lain, seperti menggabungkan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan,” ujarnya.

 
 
Editor:
SUHARTONO