Jakarta, Kompas – Seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK disebut sebagai pertaruhan terakhir bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meninggalkan warisan baik dalam pemberantasan rasuah di Tanah Air. Presiden diharapkan tidak memilih anggota panitia seleksi atau pansel calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK yang tidak berkualitas alias ”abal-abal”. Sebab, kualitas anggota pansel KPK akan berpengaruh pada calon pimpinan dan anggota dewan pengawas yang dipilih nantinya.
Pembentukan pansel KPK juga menjadi cermin itikad baik serta komitmen Presiden Jokowi terhadap pemberantasan korupsi yang selama lima tahun kepemimpinannya terus menurun. Hal ini setidaknya terlihat dari tren skor indeks persepsi korupsi yang justru anjlok di masa pemerintahan kedua Presiden Jokowi, dari 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2023.
”Kita harus mengingatkan bahwa itikad Presiden untuk memperbaiki KPK itu bisa dilihat dari panselnya. Itu jelas bisa diukur. Tatkala panselnya dibuat abal-abal, hasilnya juga abal-abal. Kalau panselnya dibuat lebih baik, maka pasti hasilnya akan lebih baik. Paling tidak kita berangkat dari kasus 2019,” ujar pegiat antikorupsi yang juga Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, Minggu (12/5/2024), dalam diskusi daring yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Selain Zainal, hadir sebagai narasumber mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, pendiri Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, mantan anggota Pansel KPK Natalia Subagjo, peneliti ICW Diky Anandya, serta peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) M Nur Ramadhan.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Daerah Agus Rahardjo melaporkan dugaan manipulasi penghitungan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS), dan kecamatan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rabu (13/3/2024).
Agus Rahardjo mengamini pernyataan Zainal. Menurut dia, pansel KPK yang tidak berkualitas dan berintegritas memang akan menghasilkan pimpinan KPK yang memiliki kualitas dan integritas serupa.
Hasil seleksi tahun 2019 diharapkan menjadi pelajaran. Dua pimpinan KPK hasil seleksi tahun 2019, yaitu Firli Bahuri (mantan ketua) dan Lili Pintauli Siregar, terjerat masalah etik. Lili diduga menerima tiket dan akomodasi gelaran MotoGP Mandalika senilai Rp 90 juta dari Pertamina. Proses etik tidak dapat dilanjutkan oleh Dewan Pengawas KPK karena Lili mengundurkan diri. Sementara itu, Firli diduga memeras mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, bahkan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Firli pun mengundurkan diri dari KPK.
Zainal juga mengingatkan agar Presiden Jokowi menahan diri untuk cawe-cawe dalam proses seleksi pimpinan KPK. Presiden diharapkan bisa mengakhiri masa kepemimpinannya dengan husnul khatimah (akhir yang baik), mewariskan pimpinan KPK yang berintegritas dan berkualitas demi membalikkan arah pemberantasan korupsi yang dinilai menurun dalam beberapa tahun terakhir.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Dosen sekaligus Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar, di Yogyakarta, Selasa (13/2/2024).
”Kita tahu bagaimana pada 2019 itu (calon pimpinan KPK) terpilih. Mana yang lebih dikedepankan, mana yang diinjak, mana yang ditutup (kesempatannya), dan sebagainya. Dalam sebuah proses pemilihan, selain panselnya harus ditunjuk secara baik, mereka juga harus dihindarkan dari godaan, termasuk intervensi dan pesanan. Atau kemudian menitipkan orang tertentu untuk lolos,” kata Zainal yang biasa dipanggil Uceng.
Meskipun pesimistis Presiden dapat menarik garis batas yang tegas dengan kepentingannya, Zainal tetap menaruh harapan seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK kali ini akan lebih baik dari sebelumnya. ”Saya berharap, seperti harapan kita semua, tiba-tiba Presiden mau untuk kemudian mendorong upaya yang lebih baik untuk pemberantasan korupsi,” tuturnya.
Burhanudin Muhtadi juga punya harapan yang sama. Ada upaya untuk memperbaiki KPK yang saat ini mengalami krisis tingkat kepercayaan publik. Saat ini, kepercayaan publik kepada KPK hanya satu tingkat lebih baik dari tingkat persepsi masyarakat terhadap DPR atau partai politik. ”Ini menyedihkan karena KPK selama ini bertopang atau bersandar pada kekuatan publik. Tapi belakangan justru kehilangan kepercayaan publik,” katanya.
Secara logis, kalau pansel yang dibentuk pemerintah kualitasnya buruk, akan berdampak pada public trust atau approvalrating presiden berikutnya. Ini pertaruhan terakhir untuk pemerintahan Jokowi. Apakah beliau meninggalkan legacy yang baik atau tidak.
Salah satu cara untuk memperbaiki KPK adalah dengan memastikan kualitas pansel yang akan dibentuk oleh pemerintah. Ia bahkan menilai, baik-buruknya pansel yang dibentuk pemerintahan Jokowi akan berdampak pada pemerintahan pemimpin penggantinya, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
”Secara logis, kalau pansel yang dibentuk pemerintah kualitasnya buruk, akan berdampak pada public trust atau approvalrating presiden berikutnya. Secara logis seperti itu, tapi secara empiris kita tidak tahu karena belum ada surveinya. Cuma buat saya, ini pertaruhan terakhir untuk pemerintahan Jokowi. Apakah beliau meninggalkan legacy yang baik atau tidak,” kata Burhanudin.
Terlebih, masyarakat sudah mencatat bahwa Presiden Jokowi bersama DPR telah merevisi UU KPK pada tahun 2019 yang mengakibatkan KPK melemah. Oleh karena itu, Burhanudin menilai perlu ada upaya untuk terus mendesak kepada Presiden Jokowi dan Prabowo sebagai presiden terpilih untuk memperhatikan hal ini.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Presiden Joko Widodo bersantap siang dengan rival politiknya dalam Pemilu Presiden 2019, Prabowo Subianto, setelah menumpang MRT dari Stasiun MRT Lebak Bulus menuju Senayan, Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
”Dampaknya nanti ke Pak Prabowo. Kalau misalnya proses pemilihan pimpinan KPK tidak sesuai dengan ekspektasi, karena pemilihan pansel pimpinan KPK dan Dewas KPK yang di luar ekspektasi serta kurang berintegritas, apa pun yang dilakukan pemerintahan mendatang akan dianggap masa lalu yang kelam terhadap pemberantasan korupsi yang terus-menerus mengalami tren penurunan,” tuturnya.
Selain itu, Zainal juga mengharapkan pansel menghilangkan paradigma harus ada unsur atau perwakilan institusi penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian, di pimpinan KPK. Paradigma seperti itu keliru. Tidak harus ada unsur jaksa atau polisi dari lima pimpinan KPK.
”Itu keliru. Tidak wajib dan tidak harus. Karena cara kita mendorong keharusan ke sana itu yang keliru. Hal yang saya khawatirkan, kelembagaan seperti kejaksaan dan kepolisian sudah menyiapkan orang yang kemudian mau didorong ke sana (KPK). Kita tidak tahu untuk alasan apa, apakah alasan pemberantasan korupsi atau alasan kepentingan kepala kejaksaan, Jaksa Agung, atau kepentingan Kapolri misalnya,” kata Zainal.
SHARON PATRICIA
Tahap akhir seleksi Capim KPK, yakni uji publik dan wawancara di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).
Agus Rahardjo sepakat dengan harapan Zainal. ”Yang dikeluhkan Uceng jadi keluhan saya saat awal-awal menjadi pimpinan KPK. Apa? Justru KPK terlalu banyak pekerja yang berafiliasi dengan orang luar. Penyidik tunduk ke Kapolri, ada yang tunduk ke Kejaksaan. Ada yang tunduk ke Wakapolri. Lalu, BIN. Saya kebingungan harus kerja sama dengan siapa, kok orang punya jalur sendiri-sendiri,” katanya.
Oleh karena itu, menyarankan KPK semestinya tanpa perwakilan dari kejaksaan dan kepolisian. ”Betul-betul independen dan kompeten. Itu yang diharapkan. Jangan ada perwakilan,” katanya.