Kekhawatiran masyarakat terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi pascarevisi Undang-Undang KPK menjadi kenyataan. Alih-alih menangani kasus besar, KPK lebih banyak berkutat pada permasalahan internalnya. Harapan agar KPK bisa kuat kembali tersemat pada kehendak politik dari pemerintah. Di sisi lain, KPK harus mereformasi internalnya mulai dari tata kelola kelembagaan.
Sejumlah elemen masyarakat telah lama menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK. Bahkan, undang-undang ini digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) salah satunya oleh mantan pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang. Ketiganya menilai, pembentukan UU KPK tidak dilakukan sesuai dengan prosedur pembentukan regulasi yang baik.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pembentukan UU No 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengalami cacat formil pada tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan.
Dampak buruk dari revisi undang-undang ini, antara lain, pimpinan KPK tidak lagi berstatus penyidik dan penuntut. Selain itu, hilangnya independensi KPK dalam merekrut penyidik, pegawai KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN), dan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam menuntut.
Kepercayaan publik terhadap KPK pun semakin tergerus dengan berbagai polemik yang terjadi di lembaga antirasuah tersebut. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas periode Desember 2023, citra baik lembaga KPK berada di angka 47,5 persen. Angka tersebut terendah dari 22 kali survei sejak Januari 2015. Padahal, pada survei Januari 2015, citra baik KPK pernah berada di angka 88,5 persen.
Penurunan citra KPK itu tak lepas dari rentetan kejadian yang mengarah ke lembaga itu sepanjang empat tahun terakhir. Revisi UU KPK yang ditolak luas oleh publik, tes wawasan kebangsaan, dan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN jadi penyebabnya.
Polemik yang terjadi di KPK, di antaranya, Ketua KPK Firli Bahuri diberhentikan karena menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Masih di pucuk pimpinan KPK, Lili Pintauli Siregar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK di tengah kasus dugaan pelanggaran etik.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Dewan Pengawas KPK menyampaikan perkembangan perkara pungutan liar yang dilakukan 93 pegawai KPK terhadap tahanan kasus korupsi, di Jakarta, Senin (15/1/2024). Selain sidang etik, perkara itu juga ditindak secara pidana.
Saat ini, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan berkomunikasi dengan pejabat Kementerian Pertanian untuk kepentingan mutasi salah satu pegawai di kementerian tersebut. Ghufron disidang etik mulai Kamis (2/5/2024), tetapi ia tidak hadir. Ghufron meminta sidang etik ditunda dengan dalih sedang mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung dan menggugat Dewas KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Baca juga: Tak Hadiri Sidang Etik, Nurul Ghufron Dinilai Beri Contoh Buruk bagi Insan KPK
Di tingkat pegawai, bekas penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, divonis 11 tahun penjara karena terbukti menerima suap dari sejumlah pihak yang beperkara di KPK. Selain itu, salah satu pegawai KPK berinisial IGA dipecat karena melanggar kode etik setelah mencuri barang bukti perkara berupa emas seberat 1,9 kilogram untuk membayar utang. Ada juga kasus 93 pegawai KPK melanggar etik karena memeras tahanan di rumah tahanan (rutan) KPK.
Saat dihubungi, di Jakarta, Senin (29/4/2024), Saut Situmorang mengaku bahwa dirinya tidak terkejut dengan rentetan polemik yang terjadi di KPK sebagai imbas dari revisi UU KPK. Menurut Saut, rentetan peristiwa negatif itu bakal terus terjadi dan hanya tinggal menunggu waktu.
Ia melihat bahwa KPK sudah bergeser mulai dari struktur, strategi, sistem, gaya pimpinan, keahlian, sampai nilai yang dipegang. ”Kalau nilainya itu rontok, mau pakai strategi, gaji dinaikin berapa pun tetap saja korupsi. Itu yang agak sulit sekarang, makanya saya selalu bilang secepatnya kembalikan UU KPK itu supaya nilai itu kembali,” kata Saut.
Nilai yang dipegang KPK itu adalah integritas, sinergi, kepemimpinan, profesionalisme, dan keadilan. Selain itu, pegawai KPK memiliki nilai jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil.
Kalau nilainya itu rontok, mau pakai strategi, gaji dinaikin berapa pun tetap saja korupsi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Dia menceritakan iklim kerja di masa kepemimpinannya pada 2015-2019. Saat itu, pimpinan KPK selalu duduk bersama setiap hari untuk berkumpul membahas kasus-kasus yang ditangani KPK. Ritme itu, menurut Saut, sudah terbangun sejak awal KPK berdiri. Mereka selalu bekerja secara kolektif kolegial dan egaliter.
Bahkan, mereka sampai tahu hal-hal yang sifatnya pribadi, seperti ketika ada pimpinan yang izin ke rumah sakit. Saut pun selalu berusaha menghindari untuk keluar dari Gedung KPK menimbang risikonya terlalu besar, seperti ancaman.
Kebiasaan tersebut tidak hanya dilakukan pada tingkat pimpinan. Para deputi dan pegawai pun melakukan hal yang sama. Mereka saling mengawasi sebagai bentuk kontrol.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (dari kiri) seusai menyampaikan laporan kinerja KPK 2016-2019 di kompleks Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Menurut Saut, KPK saat ini berada pada situasi yang rumit. Dewas KPK tidak akan mungkin bisa memperbaikinya. Itu terbukti dari Dewas KPK yang hanya bisa memberikan hukuman sanksi moral kepada pegawai KPK setelah berubah menjadi ASN. Disiplin ASN bukan ranah Dewas KPK untuk mengadilinya.
Bahkan, lanjut Saut, KPK akan kesulitan menangani kasus-kasus korupsi jelang Pemilihan Kepala Daerah 2024 karena berbagai persoalan di internalnya tersebut. Padahal, harapan terhadap pemberantasan korupsi itu disematkan pada KPK sebagai agen perubahan.
Menurut Saut, saat ini harapan satu-satunya ada pada presiden dan KPK untuk berpihak pada pemberantasan korupsi. Pimpinan KPK seharusnya dipanggil presiden untuk dimintai pertanggungjawaban atas segala polemik yang terjadi di internal KPK.
”Kalau dulu (sebelum revisi UU KPK), kan, (presiden) manggil saya, kan, tidak boleh sembarangan. Sekarang, kan, dia (KPK) bagian dari pemerintah. Rapat sidang kabinet (pimpinan KPK) saja ikut. Jadi, (sekarang pimpinan KPK) bisa dipanggil (presiden) kapan saja,” ujar Saut.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng (kiri), bersama Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memberikan keterangan kepada wartawan di Gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (10/6/2021).
Saat ditemui di Jakarta, Selasa (30/4/2024), anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, KPK bukan sekadar organisasi atau lembaga. KPK merupakan simbol harapan.
”Simbol harapan bangsa ini bagi Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang bersih. Mungkin bebas korupsi masih terlalu jauh, tetapi paling tidak korupsi makin berkurang,” kata Robert.
Oleh karena itu, Robert selalu menangani laporan terkait KPK yang masuk ke Ombudsman dengan sungguh-sungguh. Sebab, KPK harus diselamatkan dan diperkuat.
Adapun kasus yang ditangani, antara lain, pemecatan pegawai KPK melalui tes wawasan kebangsaan yang kontroversial dan polemik pengembalian Direktur Penyelidikan KPK Brigadir Jenderal (Pol) Endar Priantoro ke Polri.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Poster yang dibawa mahasiswa saat berunjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/9/2021).
Menurut Robert, KPK harus mereformasi internalnya. Tata kelola internal KPK menjadi pekerjaan berat bagi pimpinan periode berikutnya. KPK harus menata internalnya menjadi lebih terbuka dan menegakkan integritas—mulai dari pimpinan sampai bawahan—untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Sebab, eksistensi KPK tidak lepas dari dukungan masyarakat. Ketika kepercayaan itu mengalami penggerusan, KPK mengalami pelemahan bahkan kehilangan legitimasi moral publiknya. ”Jangan lupa, KPK ini produk reformasi. Produk harapan publik yang harus terus dirawat dan diperkuat,” ucap Robert.
Baca juga: Mulai Redupnya Pamor ”Anak-anak” Reformasi
Selain perbaikan tata kelola, KPK juga harus menghindarkan diri dari konflik kepentingan dengan para pihak, terutama yang terkait dengan kasus. Sebab, konflik kepentingan merupakan bagian dari malaadministrasi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana saat digelar sidang etik Dewan Pengawas KPK terkait putusan etik terhadap bekas Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Anti Corruption Learning Center (ACLC) KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2023).
Robert juga berharap Dewas KPK diperkuat sebagai instrumen internal KPK untuk mengawasi penyimpangan etik dari pimpinan dan pegawai. Dewas KPK bisa berfungsi untuk menegakkan marwah lembaga. Sebab, kekuasaan KPK sangat besar. Semakin besar kekuasaan, godaan untuk menyimpang semakin besar juga.
Terkait isu penggabungan KPK dengan Ombudsman, Robert mengatakan, Ombudsman merupakan lembaga yang melaksanakan undang-undang. Oleh karena itu, Ombudsman akan melaksanakan apa pun putusan dari pembentuk undang-undang, yakni presiden dan DPR.
Baca juga: Nasib ”Anak-anak Reformasi” di Tangan Pembentuk Regulasi
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, melihat permasalahan yang terjadi di KPK saat ini bersumber dari kekeliruan arah pemberantasan korupsi. Politik hukum pemberantasan korupsi yang mengedepankan KPK dikalahkan oleh kepentingan politik. Semua yang terjadi di KPK saat ini akibat keberhasilan mereka dalam memberantas korupsi politik.
Menurut Kurnia, harapan ada pada proses pergantian pimpinan KPK nanti. Berkaca dari permasalahan di KPK, harus ada kehendak politik dari pemerintah untuk memilih pemimpin KPK yang berintegritas. Untuk jangka panjang, UU KPK harus diubah. Sebab, undang-undang tersebut telah menimbulkan banyak permasalahan, seperti alih status kepegawaian KPK menjadi ASN.
Jelang Pilkada 2024, menurut Kurnia, KPK harus tetap bisa memitigasi potensi terjadinya dugaan korupsi. Sebab, banyak calon kepala daerah yang akan mencari modal untuk mendanai pemenangannya. KPK harus menindak dan mencegah potensi korupsi yang bakal terjadi, termasuk memitigasi terjadinya konflik kepentingan.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, saat memberikan pernyataan ketika menggelar aksi teaterikal "4 Tahun Harun Masiku Tak Tertangkap" di depan Gedung KPK, Jakarta, Senin (15/1/2024).
Adapun Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto melihat persoalan KPK sudah sangat kompleks. KPK sibuk dengan persoalan lembaganya sendiri, mulai dari pegawai hingga pimpinan.
Akibatnya, mereka lupa memberantas kasus-kasus korupsi besar. Bahkan, sampai sekarang belum bisa menangkap tersangka kasus suap penetapan anggota DPR periode 2019-2024, Harun Masiku, yang telah buron sejak 2020.
Tujuan revisi UU KPK untuk menghambat pemberantasan korupsi pun menjadi kenyataan. ”Sepertinya desain besar untuk pelemahan KPK (terlaksana). Yang ini justru merugikan niat awal untuk betul-betul melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Aan.
Sebagai upaya perbaikan jangka pendek, pimpinan dan pegawai KPK harus berkomitmen membawa KPK ke jalur pemberantasan korupsi. Hal itu bisa diawali dengan pembenahan struktur KPK. Adapun untuk perbaikan jangka panjang, UU KPK direvisi lagi demi memperkuat fungsi pengawasan dan kelembagaan internal KPK.