Kualitas pemilu dan sistem politik mesti diperbaiki melalui revisi berbagai undang-undang politik.

Wacana mengenai revisi sejumlah undang-undang terkait kepemiluan kembali mengemuka setelah kontestasi Pemilu 2024 berakhir. Revisi beberapa aturan tentang kepemiluan—yakni partai politik, penyelenggara pemilu, pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, dan pemilihan kepala daerah—kembali dilontarkan pembentuk undang-undang.

Dalam rapat dengar pendapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat bersama Kementerian Dalam Negeri dan penyelenggara pemilu yang membahas evaluasi Pemilu 2024, Komisi II DPR menginginkan adanya revisi undang-undang terkait kepemiluan.

Gayung bersambut. Pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pun menegaskan komitmen pemerintah untuk mendesain ulang sistem pemilu, baik untuk pemilu maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).

Rapat evaluasi tersebut menyimpulkan, ada banyak hal terkait Pemilu 2024 yang perlu disempurnakan. Oleh karena itu, Komisi II DPR mengajak semua elemen bangsa untuk mengevaluasi secara menyeluruh dan menyempurnakan sistem pemilu melalui revisi berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pemilu dan sistem politik.

Baca juga: Pemerintahan Baru, Momentum Perbaikan Menyeluruh Regulasi Pemilu

Komisi II DPR juga menilai perlu memberikan catatan terhadap penyelenggara pemilu yang akan datang. Harus ada evaluasi untuk memastikan penyelenggara pemilu yang terpilih memiliki integritas, kapasitas kepemiluan yang baik, profesional, dan bertanggung jawab.

Suasana rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Suasana rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, Komisi II DPR mendorong adanya revisi undang-undang terkait kepemiluan. Sebab dari hasil evaluasi Pemilu 2024 yang telah dilakukan, banyak hal-hal yang perlu dievaluasi, dibenahi, dan ditata ulang.

“Terutama undang-undang yang terkait dengan kepemiluan. Kami memiliki perhatian untuk memperbaiki aturan main pemilu secara menyeluruh,” ujar Saan di Jakarta, Jumat (17/5/2024).

Menurut Saan, DPR ingin memperbaiki kualitas pemilu agar lebih sehat dan mencerdaskan. Sebab pada dua kali pemilu yang menerapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, parpol dan calon anggota legislatif (caleg) mengeluhkan praktik politik uang semakin marak. Akibatnya, kontestasi pemilu menjadi kurang sehat, bahkan membuat pemilih semakin permisif terhadap praktik-praktik tersebut.

Baca juga: Mahasiswa Serukan Elite Hentikan Politik Gentong Babi

Di sisi lain, anggaran dan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan Pemilu 2024 juga dianggap tidak efisien. Anggaran untuk melaksanakan pemilu lima kotak secara bersamaan sangat besar, mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Namun, kualitas pemilu tidak berbanding lurus dengan besarnya anggaran tersebut.

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia (kiri) didampingi Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa memimpin rapat dengar pendapat dengan penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia (kiri) didampingi Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa memimpin rapat dengar pendapat dengan penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Bahkan saat pilkada, penyelenggara pemilu harus kembali merekrut badan ad hoc untuk melaksanakan tahapan yang dimulai sejak Januari atau saat pemungutan suara Pemilu 2024 belum dilaksanakan. Para penyelenggara pemilu tidak bisa melanjutkan kerja-kerja tahapan pilkada karena harus mengikuti rekrutmen ulang. Sebab rezim pemilu dan pilkada masih berbeda.

“Sekarang, kan, masih ada dikotomi antara pemilu dengan pilkada. Padahal peserta, penyelenggara, dan pemilihnya sama. Ini membuat pelaksanaan pemilu dan pilkada jadi tidak efisien," tutur Saan.

Oleh karena itu, Saan melanjutkan, aturan main pemilu perlu ditata dalam satu bingkai undang-undang. Dibutuhkan satu undang-undang yang mengatur pemilu dan sistem politik mulai hulu sampai hilir.

Baca juga: Berharap Pemilu Mudah dan Sederhana

Ada lima undang-undang yang idealnya dikodifikasi dalam satu bingkai undang-undang, yakni undang-undang tentang partai politik (parpol), penyelenggara pemilu, pemilihan presiden (pilpres), pemilihan anggota legislatif (pileg), dan pilkada. Kelima undang-undang sebaiknya dikodifikasi karena saling terkait dan terintegrasi.

Sekarang masih ada dikotomi antara pemilu dengan pilkada. Padahal peserta, penyelenggara, dan pemilihnya sama. Ini membuat pelaksanaan pemilu dan pilkada jadi tidak efisien.

Setidaknya ada lima undang-undang yang harus direvisi sebelum pelaksanaan Pemilu 2029, yakni undang-undang tentang partai politik, penyelenggara pemilu, pilpres, pileg, dan pilkada. “Namanya bisa undang-undang politik,” tutur Saan.

Calon anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) mengikuti tes tertulis dengan metode "computer assisted test" (CAT) di laboratorium komputer UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Selasa (7/5/2024).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Calon anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) mengikuti tes tertulis dengan metode "computer assisted test" (CAT) di laboratorium komputer UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Selasa (7/5/2024).

Lebih jauh, menurut Saan, idealnya revisi undang-undang tersebut diusulkan oleh pemerintah. Pemerintah pasti memiliki komitmen untuk memperbaiki kualitas pemilu dan sistem politik. Sedangkan jika diusulkan oleh DPR, draf revisi kemungkinan besar sarat kepentingan dan subjektif sesuai dengan kepentingan masing-masing parpol.

Bahkan pembahasannya membutuhkan energi yang sangat besar karena perdebatan sudah dimulai sejak pembentukan draf di DPR. Proses pembahasan pun bisa lebih lama karena dapat terjadi dua kali perdebatan, yakni saat pembuatan draf serta ketika pembahasan bersama pemerintah.

“Seperti draf revisi UU Pemilu pada 2020 silam yang batal, satu pasal memiliki beberapa opsi. Jadi drafnya tidak tunggal,” kata Saan.

Baca juga: Revisi UU Pemilu Mendesak, Realisasi Tergantung Pimpinan Parpol dan Pemerintah

Menurutnya, revisi undang-undang politik kemungkinan bisa direalisasikan oleh pemerintahan mendatang. Sebab semua parpol merasa perlu ada revisi terkait aturan main pemilu yang digunakan dalam dua kali pemilu terakhir. Masing-masing parpol juga mempunyai bahan evaluasi untuk perbaikan pemilu ke depan.

“Semua parpol punya pemahaman dan kesadaran mengenai kompleksitas realita yang dialami pada dua kali pemilu terakhir. Jadi, saya rasa tidak ada lagi hambatan untuk merevisinya,” ujar Saan.

Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti

Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, mengatakan, kodifikasi undang-undang politik sudah mulai diusulkan sejak 2015. Saat itu, Kemitraan dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) membuat naskah akademis dan draf rancangan undang-undang terkait pilpres, pileg, pilkada, dan penyelenggara pemilu. Draf itu rencananya diusulkan menjadi revisi UU inisiatif DPR.

Namun saat itu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut rezim pemilu dan pilkada berbeda. Akibatnya, kodifikasi hanya dilakukan untuk tiga undang-undang, yakni hanya undang-undang tentang pilpres, penyelenggara pemilu, dan pileg menjadi UU 7/2017. Ketiga undang-undang disatukan dan disederhanakan menjadi satu undang-undang sebagai landasan hukum bagi pemilu serentak.

Baca juga: Menggagas Perbaikan Sistem Pemilu

Menurut Ramlan, kodifikasi undang-undang politik sebaiknya menyatukan lima undang-undang, yakni undang-undang tentang parpol, penyelenggara pemilu, pilpres, pileg, dan pilkada. Undang-undang pemilu perlu dikodifikasi karena tidak akan ada pemilu jika tidak ada parpol. Sedangkan undang-undang pilkada sudah bisa dikodifikasi karena MK telah menyatakan pemilu dan pilkada merupakan satu rezim yang sama.

“Kalau lebih dari lima undang-undang seperti Omnibus Cipta Kerja, jadi tidak efektif karena terlalu banyak aturan yang dikodifikasi. Saya juga tidak yakin proses pembahasannya memenuhi unsur partisipasi bermakna kalau terlalu raksasa,” kata Ramlan.

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (ketiga dari kanan) didampingi anggota KPU, Mochammad Afifuddin (kiri), Idham Holik (kedua dari kanan), dan August Mellaz (kanan), serta mantan Ketua KPU periode 2004-2007 sekaligus Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Prof Ramlan Surbakti (ketiga dari kiri), dan dosen Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta, Ahsanul Minan (kedua dari kiri), menyampaikan keterangan pers di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (21/12/2022).

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (ketiga dari kanan) didampingi anggota KPU, Mochammad Afifuddin (kiri), Idham Holik (kedua dari kanan), dan August Mellaz (kanan), serta mantan Ketua KPU periode 2004-2007 sekaligus Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Prof Ramlan Surbakti (ketiga dari kiri), dan dosen Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta, Ahsanul Minan (kedua dari kiri), menyampaikan keterangan pers di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (21/12/2022).

Lebih jauh, lanjut Ramlan, penguatan parpol harus menjadi perhatian dalam kodifikasi undang-undang politik. Sebab parpol masih menjadi titik lemah demokrasi karena tidak mampu menjalankan peran kaderisasi dan rekrutmen politik secara optimal. Parpol juga dinilai belum optimal dalam menyiapkan rencana kebijakan publik atau visi dan misi.

“Penguatan parpol harus dilakukan karena dasar dari pemilu adalah parpol, termasuk konsekuensi pembiayaan parpol dari negara agar parpol mampu menjalankan fungsinya dengan optimal,” ujarnya.

Namun demikian, Ramlan mengingatkan agar revisi mampu memenuhi tujuan dari undang-undang pemilu, salah satunya membuat sistem yang sederhana. Sederhana bukan hanya untuk parpol dan penyelenggara, tetapi juga pemilih. Sebab sistem pemilu sekarang sangat kompleks yang salah satu akibatnya membuat suara tidak sah selalu berada di dua digit.

Baca juga: Surat Suara Tidak Sah Dimanfaatkan untuk Untungkan Caleg Tertentu

Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, setidaknya ada empat kelompok besar yang harus diperbaiki dalam revisi mendatang. Pertama, terkait sistem pemilu beserta variabel teknisnya. Pembenahan bukan hanya terkat pilihan sistem pemilu yang berkaitan dengan metode pemberian suara, tetapi juga soal ambang batas parlemen dan model jadwal atau keserentakan pemilu.

Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Senin (13/11/2023).

KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Senin (13/11/2023).

Pembentuk undang-undang harus serius mengevaluasi model keserentakan pemilu dan pilkada yang dilakukan pada tahun yang sama. Desain keserentakan model itu berdasar praktik di Pemilu 2024 yang terbukti tidak efektif, tidak efisien, dan menimbulkan banyak masalah teknis penyelenggaraan.

Desain keserentakan itu juga memicu memburuknya praktik transaksional di masyarakat. Partai dan calegpun menjadi sangat pragmatis akibat perhatian publik yang terfokus pada pilpres dan cenderung abai pada pemilu legislatif. Isu lokalpun tenggelam oleh isu nasional.

Baca juga: Menguatnya Pragmatisme Politik dan Rendahnya ”Party ID”

Kedua, penguatan desain kelembagaan penyelenggara pemilu. Hal ini dibutuhkan untuk memastikan struktur dan sifat kemandirian lembaga penyelenggara pemilu yang lebih kokoh dan tidak didistorsi oleh model rekrutmen yang parsial dan sarat kepentingan politik praktis.

Ketiga, pembenahan dari aspek manajemen tahapan pemilu yang harus sejalan dengan prinsip tata kelola pemilu demokratis dan lebih mampu menjamin kepastian dan keadilan prosedur pemilu dalam praktik pemilu yang kompetitif.

Terakhir, soal pengawasan dan penegakan hukum pemilu. Hal ini khususnya menyangkut efektivitas dalam mengeliminasi praktik transaksional, baik berupa mahar politik, jual beli suara, ataupun politisasi program dan keuangan negara.

Delapan hakim konstitusi tanpa hakim konstitusi Anwar Usman hadir dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (1/4/2024).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Delapan hakim konstitusi tanpa hakim konstitusi Anwar Usman hadir dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (1/4/2024).

"Selain untuk memperbaiki aturan main pemilu, revisi dibutuhkan untuk mengakomodir sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah substansi undang-undang bidang politik," kata Titi.

Menurut Titi, revisi undang-undang politik sebaiknya tidak menggunakan model omnibus melainkan kodifikasi pengaturan. Sebab, isu dari berbagai aturan main pemilu tersebut saling berhubungan satu sama lain sehingga membutuhkan koherensi pengaturan dalam satu naskah undang-undang.

“Omnibus bisa digunakan untuk isu lintas sektor, sementara revisi paket undang-undang politik berasal dari rumpun substansi yang sama. Pengaturan dalam satu naskah terkodifikasi lebih tepat untuk digunakan,” katanya.

Titi menilai, kodifikasi yang lebih tepat untuk pengaturan pilpres, pileg, pilkada, dan penyelenggara pemilu harus dilakukan dalam satu naskah undang-undang. Sementara undang-undang tentang parpol tetap perlu dibuat secara terpisah.

Baca juga: Pragmatisme Politik, Calon Tunggal Diprediksi Bakal Menjamur

Sebab, fungsi parpol bukan hanya ketika pemilu sehingga perlu dibuat optimal dalam memastikan fungsionalisasi partai politik sebagai instrumen demokrasi. Selain itu ada keuangan politik yang perlu diatur dengan komprehensif sebagai salah satu hulu yang paling menentukan tata kelola partai yang demokratis.

“Parpol diatur dalam RUU tersendiri, namun pembahasannya harus dilakukan bersamaan dengan RUU Pemilu agar tidak tumpang tindih dan inkonsisten satu sama lain,” tutur Titi.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Nurlia Dian Paramita

ARSIP PRIBADI

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Nurlia Dian Paramita

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita mengatakan, revisi undang-undang pemilu sebaiknya dilaksanakan untuk memperkuat pengawasan atau kontrol terjadap penyelenggara pemilu. Berbagai problem yang membuat penyelenggara pemilu tidak mandiri dan independen mesti diperbaiki agar penyelenggara terpilih dapat menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara optimal.

Baca juga: Kritik Pengamat soal Pemilu Serentak: Caleg Ambil Jalan Pintas

Di sisi lain, desain keserentakan pemilu mesti ditata ulang. Pembentuk undang-undang dapat memilih salah satu alternatif sebagaimana putusan MK. Pelaksanaan pemilu dan pilkada yang terlalu berdekatan berpotensi membuat penyelenggara tidak mampu melaksanakan seluruh tahapan secara optimal karena beban ganda.

Kodifikasi berbagai undang-undang politik sekian lama timbul tenggelam. Sudah saatnya memperbaiki kualitas pemilu dan sistem politik melalui revisi berbagai undang-undang politik. Kepentingan negara harus diutamakan oleh pembentuk undang-undang.