Oleh NINA SUSILO

Wapres Ma’ruf Amin menengarai, kritik publik terhadap program Tapera disebabkan sosialisasi yang masih terbatas.

ANDA ACEH, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin menegaskan program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera bisa membantu masyarakat memiliki tempat tinggal. Kritik dari publik ditengarai muncul lantaran program ini belum tersosialisasikan dengan baik.

”Sebenarnya (akar) soalnya belum tersosialisasi dengan baik,” kata Wapres Amin kepada wartawan seusai meresmikan gedung baru Bank Syariah Indonesia (BSI) cabang Aceh di Banda Aceh, Provinsi Aceh, Kamis (30/5/2024).

 

Wapres menjelaskan, Tapera memberi kesempatan kepada warga untuk saling membantu dalam penyediaan rumah. Untuk yang belum memiliki rumah, ada kredit pemilikan rumah (KPR), sedangkan mereka yang memiliki tanah bisa menggunakan kredit bangun rumah (KBR). Adapun warga yang sudah mempunyai rumah bisa menggunakan kredit renovasi rumah (KRR) untuk memperbaiki rumah.

Dengan demikian, Tapera tetap bisa dimanfaatkan oleh semua yang menjadi peserta. Kalaupun belum diperlukan, dana tersebut bisa diambil pada saatnya.

”Jadi, sebenarnya ini tabungan, Tapera itu, ya,” ujar Wapres.

Oleh karena itu, perlu sosialisasi supaya masyarakat memahami bahwa kebijakan Tapera juga berarti bergotong royong atau dalam bahasa agama namanya ta’awun atau saling membantu.

Untuk itu, perlu dijelaskan supaya para pekerja yang memerlukan rumah atau yang punya tanah bisa dengan mudah untuk mengakses program ini. Bagi mereka yang tidak memerlukan, dana itu tetap aman dan di kemudian hari dikembalikan dengan imbal hasilnya.

Wapres Amin pun meyakinkan bahwa tabungan masyarakat akan aman. ”Kalau (tabungan) itu semua aman. Saya kira tidak ada yang menjadi tidak ada masalah, tapi sekarang ini belum terkomunikasi dengan baik,” ujarnya.

Karena itu, Wapres meminta para penyelenggara supaya melakukan komunikasi, sosialisasi, dan edukasi kepada masyarakat. Dengan demikian, kebijakan ini bisa dipahami dengan baik.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri, Rabu (29/5/2024), di Jakarta mengatakan, Kemenaker masih mencermati respons para pemangku kepentingan dan akan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga untuk menentukan dasar penghitungan perkalian simpanan Tapera (batas atas upah dan komponen upah).

Indah menjelaskan, secara prinsip program ini akan memungkinkan setiap pekerja dapat memiliki rumah melalui skema tabungan. Namun, mekanisme pengumpulan dana tabungan harus diatur lebih baik dan diterima semua pihak di pasar kerja. Gaji/upah pekerja tidak akan dipotong secara langsung selama peraturan menteri yang mendapat amanat untuk menetapkan dasar penghitungan perkalian simpanan belum disahkan.

https://cdn-assetd.kompas.id/Vnos4APxnxv72wbiefw7cQc7U9M=/1024x1325/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F28%2F766fd23d-93c6-4220-9801-a094ab8906c0_png.png

Selain itu, lanjut Indah, masih terdapat masa penahapan kepesertaan bagi pekerja swasta. Pekerja swasta baru diwajibkan menjadi anggota Tapera setelah tujuh tahun disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, yaitu pada tahun 2027.

Sejauh ini, baik kalangan pekerja maupun pengusaha menolak kebijakan ini. Serikat pekerja seperti Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menolak potongan Tapera yang dinilai memberatkan buruh, apalagi pemutusan hubungan kerja masih marak. Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat meminta pemerintah memaksimalkan program subsidi perumahan.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga menolak potongan Tapera. Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani dalam keterangan pers, Selasa (28/5/2024), menyatakan telah berdiskusi, berkoordinasi, dan berkirim surat dengan Presiden.

Potongan ini dinilai menambah beban bagi pekerja ataupun pemberi kerja. Padahal, saat ini beban pungutan yang ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24 sampai 19,74 persen dari gaji pekerja. Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.