Setelah 17 tahun menjadi peserta Bapertarum PNS, Zulfi menerima pengembalian dana dan imbal hasil kurang dari Rp 3 juta.

Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI

JAKARTA, KOMPAS - Sebelum Tabungan Perumahan Rakyat digulirkan dan menuai polemik publik, pemerintah pernah menerapkan skema serupa, yakni Tabungan Perumahan (Taperum) Pegawai Negeri Sipil (PNS) melalui Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) PNS. Belasan tahun digulirkan, pemupukan dana untuk pembiayaan perumahan dipandang masih belum menuntaskan akar masalah perumahan.

Bapertarum PNS dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1993 tanggal 15 Februari 1993. Presiden Soeharto kala itu menugaskan Bapertarum PNS untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri melalui skema bantuan pembiayaan kepemilikan rumah. Caranya dengan memotong gaji para PNS dan mengelola tabungan perumahan.

Sewaktu Bapertarum digulirkan, pemenuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah tengah menghadapi kendala. Pemerintah menargetkan perumahan yang akan dicapai dalam Pelita VI tersebut adalah 600.000 rumah. Sekitar 50 persen dari 600.000 rumah akan disediakan bagi pegawai negeri sipil yang telah memiliki tabungan perumahan. Sedangkan 50 persen lainnya untuk masyarakat (Kompas, 21/10/1993).

Berdasarkan PP No 14/1993, dana tabungan perumahan itu dipakai untuk membantu uang muka pembelian rumah dengan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) bagi pegawai yang belum memiliki rumah. Selain itu, sebagian biaya untuk membangun rumah bagi PNS yang sudah memiliki tanah. Bantuan itu diprioritaskan bagi PNS golongan I, II, dan III.

Besaran dana yang dapat disalurkan untuk bantuan paling besar 60 persen dari jumlah dana tabungan, sedangkan 40 persen sisanya disimpan dalam bentuk deposito atau jenis investasi lain yang aman untuk pemupukan dana jangka panjang.

Gotong royong

Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat 2005-2010 Zulfi Syarif Koto mengungkapkan, ia mengikuti kepesertaan Bapertarum PNS sejak 1993. Saat itu, gajinya sebagai golongan III PNS dipotong untuk simpanan Bapertarum sekitar Rp 7.000 per bulan. Besaran potongan gaji PNS untuk tabungan perumahan itu bervariasi menurut golongan.

Saat masuk kepesertaan Bapertarum PNS, Zulfi dan keluarga sudah memiliki rumah di Ciputat, Tangerang. Dengan demikian, ia tidak mengambil manfaat tabungan perumahan untuk bantuan pembelian rumah. Dana simpanan itu juga tidak ia gunakan untuk membangun ataupun merenovasi rumah. Baru pada saat pensiun di tahun 2010, setelah 17 tahun menjadi peserta Bapertarum PNS, Zulfi menerima pengembalian dana pokok dan hasil pemupukan dana. Nilai yang diterimanya tidak sampai Rp 3 juta.

”Kalau saya berpikir bisnis, (pengembalian) dana itu tentu tidak sepadan. Tetapi, saya tahu bahwa fungsi Bapertarum PNS sejak awal adalah gotong royong untuk membantu PNS yang belum mampu memiliki rumah,” kata Zulfi, Kamis (30/5/2024).

Pengelolaan dana Bapertarum PNS kemudian beralih sejalan dengan terbitnya Undang-Undang No 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tanggal 24 Maret 2016. Berdasarkan undang-undang tersebut, Bapertarum PNS dilebur menjadi Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

 

Dari data BP Tapera, jumlah peserta yang dialihkan dari Bapertarum PNS ke BP Tapera ketika itu sebanyak 5,04 juta peserta PNS, terdiri atas 1,02 juta peserta pensiun ahli waris dan 4,02 juta peserta aktif.

Selain itu, ada dana Rp 11,8 triliun yang terdiri atas dana peserta pensiun Rp 2,69 triliun dan Rp 9,18 triliun dari dana peserta aktif

Ketentuan Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2024 tentang perubahan atas PP No 25/2020 tentang Tapera yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Seluruh pekerja dan pekerja mandiri dengan penghasilan di atas upah minimum wajib terdaftar sebagai peserta Tapera dan menyisihkan penghasilan dalam simpanan Tapera.

Besaran simpanan peserta, yakni 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk pekerja mandiri. Besaran simpanan untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.

Maksimal Rp 8 juta

BP Tapera memiliki peran menghimpun dana tabungan untuk penyediaan dana murah jangka panjang bagi pembiayaan perumahan bagi peserta Tapera, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah. Kategori masyarakat berpenghasilan rendah yakni berpenghasilan maksimal Rp 8 juta per bulan. Tahap awal kewajiban kepesertaan Tapera, yakni pegawai negeri sipil.

Menurut komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, sejak peralihan Bapertarum PNS ke BP Tapera, pada 2020-2024, pihaknya belum melakukan pemotongan gaji terhadap PNS untuk simpanan Tapera. Hal itu karena masih menunggu regulasi teknis dari kementerian keuangan.

”Belum ada pengumpulan dana dari aparatur sipil negara oleh BP Tapera. Selama ini, pembiayaan perumahan masih menggunakan sisa dana eks Bapertarum PNS,” kata Heru, Selasa (28/5/2024).

Peserta Tapera dengan kategori penghasilan rendah saat ini memiliki akses pembiayaan rumah dengan suku bunga KPR 5 persen per tahun, dengan jangka waktu pinjaman 20 tahun. Pada 2024, pembiayaan rumah Tapera ditargetkan 8.717 unit atau senilai Rp 1,3 triliun.

https://cdn-assetd.kompas.id/Vnos4APxnxv72wbiefw7cQc7U9M=/1024x1325/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F28%2F766fd23d-93c6-4220-9801-a094ab8906c0_png.png

Sementara itu, peserta Tapera yang tergolong nonmasyarakat berpenghasilan rendah atau sudah memiliki rumah dapat memperoleh akses pembiayaan untuk renovasi rumah, atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Kewajiban kepesertaan dan pemotongan gaji pekerja untuk simpanan Tapera yang wajib berlaku paling lambat 2027 kini tengah menuai polemik di masyarakat. Penolakan dan keberatan disampaikan sejumlah kalangan, baik asosiasi pengusaha maupun organisasi dan serikat buruh, di tengah kondisi perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja.

Sorotan lainnya, skema bantuan pembiayaan perumahan yang digulirkan lewat Bapertarum PNS ataupun fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang bersumber dari APBN hingga kini belum mampu mengurai angka defisit rumah. Meski bantuan pembiayaan telah bergulir belasan tahun, angka kekurangan rumah saat ini masih mencapai 12,7 juta unit.

Zulfi, yang juga Ketua Lembaga Pengkajian Pembangunan Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (HUD Institute), menuturkan, di tengah pro dan kontra pemberlakuan Tapera, pemerintah perlu mempertimbangkan solusi ”jalan tengah” agar rakyat tidak terbebani iuran tambahan, tetapi pembiayaan perumahan rakyat dapat tetap diperluas.

Selama ini, pekerja terkena pemotongan gaji/upah, antara lain untuk mengikuti program jaminan sosial ketenagakerjaan. Program itu mencakup jaminan hari tua 3,7 persen, jaminan kematian 0,3 persen, jaminan kecelakaan kerja 0,24-1,74 persen, dan jaminan pensiun 2 persen. Iuran jaminan hari tua beserta hasil pengembangannya dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan penyelenggaraan program jaminan hari tua.

Berdasarkan PP No 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, aset dana jaminan hari tua bisa dimanfaatkan untuk program manfaat layanan tambahan perumahan pekerja. Program itu mencakup kredit pemilikan rumah sampai maksimal Rp 500 juta, pinjaman uang muka perumahan sampai dengan Rp 150 juta, pinjaman renovasi perumahan hingga Rp 200 juta, dan fasilitas kredit konstruksi.

Salah satu jalan tengah pendanaan adalah mengalihkan sebagian dana jaminan hari tua BPJS Ketenagakerjaan untuk program layanan tambahan perumahan pekerja untuk dikelola ke dalam BP Tapera. Dengan demikian, masyarakat yang sudah mengiur untuk program jaminan hari tua tidak perlu lagi terkena tambahan pemotongan upah/gaji untuk iuran Tapera.

”Program jaminan hari tua BPJS Ketenagakerjaan yang diperuntukkan bagi layanan tambahan perumahan pekerja dapat ditarik dan diserahkan untuk dikelola oleh BP Tapera. Ada pembagian peran. Tinggal bagaimana political will Presiden RI,” kata Zulfi.