Bila kemudian yang masuk ke dalam pikiran mereka adalah pungutan, Tapera dianggap sebagai beban dibandingkan solusi.
Oleh REDAKSI
Begitu informasi tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) muncul, publik langsung merespons negatif rencana pemerintah ini.
Rencana pemerintah memotong gaji setiap pekerja di sektor formal untuk pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ramai menjadi perbincangan warga di berbagai ruang publik.
Jika sebelumnya kepesertaan atau kewajiban pemotongan upah untuk Tapera baru menyasar pegawai negeri sipil, kini muncul kewajiban perluasan kepesertaan Tapera ke penerima upah alias pegawai atau karyawan swasta serta BUMN/BUMD/BUMDes, TNI/Polri. Presiden Jokowi meluncurkan Program Satu Juta Rumah pada 29 April 2015 di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Menjadi salah satu program strategis nasional, program ini dimaksudkan untuk mengatasi tantangan kesenjangan antara kebutuhan rumah dan pasokan rumah atau backlog di Indonesia (Kompas.id, 28/4/2024).
Pemerintah tentu mempunyai alasan untuk memberlakukan kebijakan ini. Niatnya baik di tengah kesulitan sejumlah orang dan generasi baru untuk mendapatkan rumah. Akan tetapi, respons publik berkebalikan. Mereka langsung menangkap dampak yang akan menimpa mereka, bukan keuntungan yang akan didapat. Masyarakat melihat pungutan yang bakal diberlakukan akan membebani mereka. Respons seperti ini wajar karena mereka tak sedikit yang sedang tertimpa masalah, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok dan kesulitan mendapatkan pekerjaaan.
Lebih jauh, masalah ini direspons buruk oleh publik karena kepercayaan mereka terhadap program-program pungutan sejenis yang niatnya baik tetapi tak sedikit yang diselewengkan. Konteks seperti ini jamak di masyarakat. Mereka sudah lama merasa bahwa program yang berbasis pungutan kerap tidak memberi manfaat bagi mereka. Oleh karena itu, sangat wajar program Tapera tidak direspons dengan baik. Masyarakat sudah telanjur kecewa.
Konteks lainnya yang perlu dipahami adalah perubahan generasi yang membutuhkan cara komunikasi yang lebih baik. Pemerintah mungkin berpikir sederhana karena dasar hukum sudah ada, maka program ini dengan mudah diterima masyarakat. Akan tetapi, kenyataannya generasi Z yang sudah masuk dunia kerja dan merupakan populasi yang sedang bertumbuh memiliki cara komunikasi yang jauh berbeda. Mereka tidak bisa begitu saja menerima kebijakan atau program yang jatuh dari langit.
Generasi Z yang terpapar oleh berbagai masalah, seperti pandemi Covid 19, masalah ekonomi, perubahan iklim, dan disrupsi digital, merasa bahwa mereka adalah generasi yang tertimpa masalah.
Mereka merasa menjadi korban generasi berikutnya. Apabila kemudian yang masuk ke dalam pikiran mereka adalah pungutan, maka Tapera dianggap sebagai beban dibandingkan solusi. Oleh karena itu pemerintah perlu membenahi komunikasi Tapera agar niat baik diterima dengan baik. Di samping itu, pemerintah perlu membangun kepercayaan warga dalam hal pungutan.