Program Tapera mewajibkan semua pekerja di sektor formal dan pekerja mandiri berpartisipasi. Kok bisa?

Oleh DIMAS WARADITYA NUGRAHA

Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?

1. Tapera, berikut konteks dan latar belakangnya.

2. Dasar hukum pembentukannya.

3. Siapa saja target kepesertaannya.

4. Seperti apa model dan mekanismenya.

5. Siapa pengelolanya.

6. Beberapa pro-kontra.

Rencana pemerintah memotong gaji setiap pekerja di sektor formal untuk pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ramai jadi perbincangan warga di berbagai ruang publik.

Jika sebelumnya kepesertaan atau kewajiban pemotongan upah untuk Tapera baru menyasar pegawai negeri sipil, kini muncul mandatori perluasan kepesertaan Tapera ke penerima upah alias pegawai atau karyawan swasta serta BUMN/BUMD/BUMDes, TNI/Polri.

Apa itu Tapera?

Tapera merupakan program pemerintah yang bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan layak dan terjangkau bagi peserta. Tapera mengemban amanah berupa penyaluran pembiayaan perumahan yang berbasis simpanan dengan berlandaskan gotong royong.

Apa konteks dan latar belakangnya?

Presiden Jokowi meluncurkan Program Satu Juta Rumah pada 29 April 2015 di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Menjadi salah satu program strategis nasional, program ini dimaksudkan untuk mengatasi tantangan kesenjangan antara kebutuhan rumah dan pasokan rumah atau backlog di Indonesia.

Pada 2015, misalnya, jumlah backlog perumahan di Indonesia mencapai 7,6 juta unit. Tanpa terobosan kebijakan, akan semakin banyak keluarga Indonesia yang tak memiliki perumahan layak.

Pemerintah menempuh dua pendekatan sekaligus dalam mewujudkan Program Satu Juta Rumah, yakni dari aspek pasokan dan permintaan. Dari aspek pasokan, pemerintah, misalnya, mempermudah pengurusan perizinan pembangunan perumahan bagi para pengembang.

Dari aspek permintaan, pemerintah menyelenggarakan sejumlah program pembiayaan kepada rakyat berpenghasilan rendah. Salah satunya adalah Tapera.

Apa dasar hukumnya?

Pada 24 Maret 2016 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Berdasarkan undang-undang tersebut, Bapertarum PNS akan dilebur menjadi Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat, disingkat BP Tapera. Paling lambat dua tahun setelah undang-undang tersebut disahkan.

Sebelum Bapertarum-PNS dilebur, bagi PNS pensiun yang tidak menggunakan dana tabungan perumahan dapat mencairkan dana mereka di Bapertarum PNS, dan bagi PNS yang belum memasuki masa pensiun setelah Bapertarum dibubarkan, maka dana tabungan perumahan dijadikan saldo awal kepesertaan di BP Tapera.

Sejalan dengan rampungnya proses peleburan aset dan peralihan simpanan dari Bapertarum-PNS menuju BP Tapera, pada 20 Mei 2020, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. PP ini seperti petunjuk teknis bagi Badan Pengelola Tapera dalam melaksanakan tugas.

PP yang ditandatangani Presiden di tengah kondisi pandemi Covid-19 itu menyebutkan pengelolaan Tapera. Pengelolaan yang meliputi pengerahan dana, pemupukan dana, dan pemanfaatan dana untuk menjamin tujuan Tapera tercapai secara efektif dan efisien.

Kemudian, dengan maksud meningkatkan efektivitas penyelenggaraan dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera, pemerintah menetapkan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera pada 20 Mei 2024.

Siapa target dari kepesertaan Tapera?

Sagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat (5a) PP Nomor 21/2024, pada tahap awal, target peserta Tapera adalah PNS, kemudian TNI dan Polri. Kemudian, kepesertaan Tapera diperluas ke karyawan BUMN dan BUMD.

Sementara bagi karyawan swasta atau formal diberi waktu selambat-lambatnya tujuh tahun sejak BP Tapera beroperasi, atau 2025.

Pasal 15 Ayat (4) PP Nomor 21 Tahun 2024 menyebutkan, kepesertaan Tapera untuk pekerja diatur oleh menteri terkait. Ini berarti kepesertaan aparatur sipil negara (ASN) dan TNI/Polri akan diatur Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan.

Adapun kepesertaan pegawai swasta dan BUMN/BUMD/BUMDes diatur Menteri Tenaga Kerja. Di luar itu, aturan kepesertaan pekerja mandiri akan menunggu aturan dari BP Tapera.

Bagaimana model dan mekanismenya?

Proses pengelolaan Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Berdasarkan Pasal 61 Ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera, dana Tapera berasal dari hasil penghimpunan dan pemupukan simpanan peserta, hasil pengembalian/kredit pembiayaan peserta, hasil pengalihan aset tabungan perumahan PNS yang dikelola Bapertarum-PNS, serta dana wakaf.

Iuran Tapera adalah sebesar 3 persen dengan rincian 0,5 persen ditanggung pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung pekerja. Ini berarti, setiap bulan gaji peserta akan dipotong 2,5 persen untuk kebutuhan iuran Tapera.

Peserta dapat memperoleh manfaat berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Selain tenor yang panjang, BP Tapera juga menyediakan fasilitas pembiayaan dengan plafon yang memadai dan suku bunga rendah melalui skema pembiayaan konvensional maupun syariah.

Plafon yang disediakan untuk KPR dengan limit KPR disesuaikan dengan kapasitas pembayaran kembali yang ditetapkan bank pelaksana dengan suku bunga paling rendah sebesar 5 persen (fixed). Secara lebih rinci, plafon kredit diklasifikasikan berdasarkan kelompok penghasilan dan zonasi.

Siapa pengelola dana Tapera?

Pengelolan dana Tapera dilakukan Badan Pengelola (BP) Tapera. Badan ini menetapkan alokasi dana pemupukan, pemanfaatan, dan cadangan untuk memastikan manfaat program Tapera dapat dirasakan semua peserta.

Untuk pemupukan dana, BP Tapera bermitra dengan manajer investasi, bank kustodian, bank, dan perusahaan pembiayaan yang secara rutin melaporkan pengelolaan dana kepada BP Tapera.

Bagaimana sejarahnya?

BP Tapera merupakan badan hukum publik di Indonesia yang dibentuk untuk mengelola tabungan perumahan rakyat. BP Tapera bertanggung jawab pada Komite Tapera yang beranggotakan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Keuangan, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta unsur profesional yang memahami perumahan dan permukiman.

Cikal-bakal terbentuknya Tapera dimulai pada tahun 1993 dengan berdirinya Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS). Lembaga pemerintah nonkementerian ini dibentuk untuk mengelola tabungan perumahan PNS dengan asas gotong royong.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1993 tentang Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil, setiap PNS akan dipotong gaji pokoknya untuk tabungan perumahan. Jumlah potongan berbeda-beda sesuai dengan golongan kepegawaiannya.

PNS yang akan membeli rumah dengan fasilitas kredit kepemilikan rumah akan dibantu dalam pembayaran uang muka melalui dana yang dikelola Bapertarum-PNS. Namun, PNS yang tidak memanfaatkan dana tersebut hingga pensiun dapat mencairkan tabungan perumahan beserta hasil pemupukannya.

Pencairan ini bisa dilakukan melalui PT Taspen bagi pensiun PNS aktif dan melalui Bank BRI bagi pensiun PNS non-aktif atau sudah meninggal dunia.

Kemudian, pada 2018, setelah beroperasi sekitar 15 tahun, Bapertarum-PNS dilebur dengan BP Tapera yang memang dibentuk untuk menjangkau kepesertaan yang lebih luas, tak hanya PNS, tetapi semua warga negara Indonesia. Namun, untuk tahap awal, kepesertaan BP Tapera baru diprioritaskan untuk PNS yang sebelumnya merupakan peserta Bapertarum-PNS.

Beberapa pro-kontra

”Pemaksaan” kepesertaan Tapera jelas menghasilkan pro-kontra di tengah masyarakat. Sebagian pihak, terutama yang bergerak di sektor pengembang perumahan, meyakini perluasan kepesertaan Tapera dapat mengatasi backlog atau defisit perumahan.

Namun, banyak juga masyarakat yang merasa kewajiban pembayaran iuran Tapera sebagai hal yang sia-sia. Pendapat ini terutama muncul dari masyarakat yang memang belum punya rencana memiliki atau menambah kepemilikan rumah dalam jangka waktu tertentu.

Kalaupun sampai akhir masa keanggotaan peserta dapat mencairkan hasil pemupukan dana, imbal hasil yang didapat tidak dijamin lebih tinggi dari berbagai instrumen investasi yang tersedia di pasar keuangan.

Belum lagi beragam fraud yang terjadi pada banyak badan pengelola dana masyarakat, sebut saja Jiwasraya dan Asabri, semakin membuat masyarakat semakin skeptis akan masa depan dana mereka yang ”diambil paksa”.