Kepesertaan Tapera perlu ditinjau ulang agar tidak membebani pekerja swasta, terutama di sekotr informal.

Oleh ADRIAN FAJRIANSYAH

PALEMBANG, KOMPAS — Sejumlah pekerja swasta dan pekerja mandiri atau informal menilai program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera akan menjadi beban baru dalam kehidupan mereka. Selama ini penghasilan mereka sangat pas-pasan, khususnya pekerja mandiri yang berpenghasilan tak pasti.

Penarik ojek daring asal Alang-Alang Lebar, Palembang, Hendra (43), merasa waswas setelah mendengar isu pemerintah akan mengoperasikan program Tapera untuk pekerja mandiri atau informal selambat-lambatnya pada 2027. Itu artinya penarik ojek daring seperti dirinya bakal turut diwajibkan dalam program tersebut.

Kekhawatiran Hendra timbul karena penghasilan dari ojek daring cenderung tak pasti, yakni lebih kurang Rp 50.000 per hari atau sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Penghasilan itu sejatinya menjadi tambahan dari profesinya sebagai satpam kontrak di kantor swasta dengan gaji bulanan sekitar Rp 3,5 juta atau setara upah minimum kota (UMK) Palembang.

Penghasilan dari ojek daring sangat membantu Hendra membayar cicilan rumah subsidi sekitar Rp 1,3 juta per bulan yang baru dimulai sebulan untuk jangka waktu hingga 15 tahun ke depan. ”Sementara gaji sebagai satpam digunakan untuk biaya kebutuhan rumah tangga dan sekolah tiga anak,” kata Hendra saat diwawancarai pada Rabu (29/5/2024).

Kalau nantinya harus ikut Tapera, otomatis penghasilan Hendra akan semakin pas-pasan, terutama yang dari ojek daring. Apalagi gajinya sebagai satpam sudah banyak dipotong untuk sejumlah iuran, seperti Jaminan Sosial Kesehatan, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pajak, dan potongan lain-lain.

”Sekarang, persaingan ojek daring sudah semakin ketat. Mencari penumpang tidak semudah dahulu sewaktu awal-awal saya jadi ojek daring pada 2017. Selain itu, tarif yang dipatok oleh operator juga semakin murah. Untuk saat ini, saya membutuhkan uang tunai untuk melunasi cicilan rumah serta biaya rumah tangga dan sekolah anak-anak,” ujar Hendra yang istrinya berprofesi sebagai penjahit.

Berdasarkan berita Kompas.id, Selasa (28/5/2024), Tapera adalah program pemerintah yang bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan layak dan terjangkau bagi peserta. Tapera mengemban amanah berupa penyaluran pembiayaan perumahan yang berbasis simpanan dengan berlandaskan gotong royong.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat (5a) PP Nomor 21 Tahun 2024, target peserta Tapera diperluas ke karyawan BUMN, BUMD, swasta, dan pekerja mandiri atau informal. Khusus untuk karyawan swasta dan pekerja mandiri, Tapera dilaksanakan selambat-lambatnya pada 2027.

https://cdn-assetd.kompas.id/Vnos4APxnxv72wbiefw7cQc7U9M=/1024x1325/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F28%2F766fd23d-93c6-4220-9801-a094ab8906c0_png.png

Tapera hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir, yakni saat pensiun atau berakhir kerja/PHK. Iuran Tapera sebesar 3 persen dengan rincian 0,5 persen ditanggung pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung pekerja setiap bulannya.

Setelah satu tahun, peserta dapat memperoleh manfaat berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun serta suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar. Yang menjadi persoalan, ada unsur ”pemaksaan” kepesertaan Tapera sehingga menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat.

Untuk pekerja baru

Karyawan swasta di kawasan Ilir Barat I, Palembang, Ian (48), mengatakan, kalau pemerintah memang ingin mewajibkan kepesertaan Tapera, sebaiknya program itu menyasar pekerja-pekerja baru atau yang berusia awal 20-an. Dengan begitu, mereka bisa merasakan manfaat Tapera secara optimal.

Sebaliknya, kalau menyasar semua pekerja, khususnya yang sudah berusia tanggung atau menjelang pensiun, manfaat Tapera tidak akan betul-betul terasa. Sebagai contoh Ian, dirinya mengaku batas usia pensiun di kantornya adalah 55 tahun. Artinya, Ian hanya akan menjadi peserta Tapera selama tujuh tahun saja. Andai pekerja seperti Ian belum memiliki rumah, masa kepesertaan selama tujuh tahun itu dinilai tidak mampu untuk membeli atau melunasi cicilan rumah.

”Sekarang gaji saya sekitar Rp 5 juta per bulan. Kalau iuran Tapera 3 persen per bulan, artinya dana yang saya akan kumpulkan sekitar Rp 150.000 per bulan atau Rp 1,8 juta per tahun. Kalau ikut Tapera selama tujuh tahun, artinya simpanan saya hanya Rp 12,6 juta. Dengan simpanan itu, jangankan membeli rumah, untuk renovasi rumah saja tidak cukup,” tuturnya.

Beruntung, Ian sudah melunasi cicilan rumah subsidinya sejak 2018 silam. Dengan begitu, dia tidak lagi memiliki beban untuk mempunyai rumah kedua. ”Lagi pula, kalau masa kerja saya masih 30 tahun, di atas kertas simpanan saya maksimal hanya Rp 54 juta. Itu juga masih belum cukup untuk membeli ataupun mencicil rumah subsidi di Palembang yang saat ini harga termurahnya di kisaran Rp 150 juta,” ucapnya.