Program Tapera memicu pro dan kontra karena melibatkan pungutan 2,5 persen dari penghasilan masyarakat.

Oleh YOHANES ADVENT KRISDAMARJATI

Pemerintah kembali menggalakkan Program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera setelah mengendap pascapencanangannya pada 2020. Hal ini memicu pro dan kontra karena melibatkan pungutan 2,5 persen dari penghasilan masyarakat untuk implementasi program itu. Jika diterapkan, apakah Tapera akan berhasil menjawab persoalan kebutuhan perumahan bagi rakyat?

Program Tapera merupakan upaya pemerintah untuk menghimpun dana masyarakat supaya dapat menyediakan rumah layak dan terjangkau dengan pinjaman murah jangka panjang. Asas gotong royong menjadi dasar falsafah dari pemberlakuan Tapera.

Dasar hukum program Tapera mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan tersebut mengacu pula pada dua aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat serta UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Belakangan ini Tapera mendapat sorotan tajam karena pemerintah kembali memperluas kepesertaan Tapera bagi karyawan swasta dengan skema pemotongan wajib sebesar 2,5 persen dari nilai upah. Ditambah lagi 0,5 persen dari pemberi pekerjaan atau perusahaan sehingga pemerintah bakal menarik 3 persen dari setiap peserta Tapera.

Sejak Tapera dicanangkan pada 2020, pemerintah menargetkan bahwa peserta yang akan dilayani lebih luas lagi ragamnya dibandingkan ketika fungsinya masih dijalankan oleh lembaga Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS). Saat berada di bawah naungan Bapertarum-PNS, program itu hanya melayani pegawai negeri sipil. Selanjutnya, kepesertaan Tapera bagi pegawai swasta dan BUMN/BUMD/BUMDes diatur oleh Menteri Tenaga Kerja.

Perluasan kepesertaan Tapera dapat dipandang sebagai upaya pemerintah untuk mengejar target jumlah peserta program tersebut. Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, menyampaikan bahwa pemberlakuan kewajiban kepesertaan Tapera masih menunggu regulasi teknis.

Hingga saat ini peserta Tapera masih sebatas pegawai negeri sipil yang merupakan anggota Bapertarum. Aparatur sipil negara yang menjadi peserta sejumlah 4,1 juta orang, yang meliputi 900.000 ASN tingkat pusat dan 3,3 juta ASN tingkat daerah (Kompas, 28/5/2024).

Sementara itu, pada tahun 2020, BP Tapera ditargetkan mencapai jumlah kepesertaan hingga 13 juta orang yang harus terpenuhi pada tahun 2024 (Kompas, 17/7/2020).

Artinya, ada agenda dari BP Tapera untuk mengejar target sekitar 8 juta peserta untuk memenuhi target tersebut. Oleh sebab itu, ada kemungkinan motif pemerintah yang hendak mewajibkan pekerja menjadi peserta Tapera adalah dalam rangka memenuhi target peserta sekaligus menghimpun dana masyarakat untuk turut membiayai program sejuta rumah.

Gotong royong, wajib atau sukarela?

Dengan menetapkan kepesertaan sebagai bentuk kewajiban, apakah masih dapat dikatakan bahwa Tapera berlandaskan asas gotong royong? Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari gotong royong adalah gerakan bekerja bersama-sama, dengan tujuan mencapai suatu hasil yang diinginkan.

Pengertian gotong royong juga dapat mengacu pada pemikiran Koentjaraningrat. Menurut antropolog ini, gotong royong adalah aktivitas pengerahan tenaga tanpa bayaran untuk suatu proyek yang bermanfaat untuk umum atau yang berguna untuk pemerintah.

Definisi gotong royong dalam konteks budaya Indonesia tidak memuat kata ”wajib”. Artinya, keikutsertaan seseorang dalam gerakan gotong royong tidak didasarkan pada mandat yang mengharuskan, melainkan berdasarkan kerelaan diri untuk ikut serta mendukung gerakan bersama demi mencapai tujuan tertentu.

Kembali pada soal potongan 2,5 persen bagi karyawan peserta Tapera, wajar apabila muncul polemik di masyarakat. Sebab, tidak semua pihak mau menyisihkan 2,5 persen penghasilannya ditarik pemerintah untuk dana pembangunan perumahan. Ketika muncul resistensi, artinya sudah jauh dari unsur sukarela, yang maknanya juga jauh dari prinsip gotong royong.

Kecil kontribusinya

Skema pendanaan perumahan yang dananya ditarik dari masyarakat bukanlah kebijakan baru di negeri ini. Proporsi nilai dana dari masyarakat dalam kontribusi pembiayaan pembangunan perumahan murah terbilang kecil. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman pemerintah pada masa lalu.

Konteksnya pada saat Orde Baru tahun 1987, ketika pemerintahan tengah berada pada periode Repelita IV (1984-1989). Pada saat itu upaya pembangunan rumah rakyat diemban oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat yang dijabat Cosmas Batubara pada periode 1978-1988.

Cosmas menyebutkan bahwa sumber pembiayaan pembangunan rumah rakyat kala itu diperoleh dari Departemen Keuangan (Kementerian Keuangan), Bank Indonesia, serta melalui pinjaman dari Bank Dunia. Pada waktu itu, dana yang terkumpul dari tabungan masyarakat masih sedikit jumlahnya.

Menurut Cosmas, berkaca dari pengalaman di Amerika Serikat, dana tabungan masyarakat menjadi komponen pendanaan yang dominan untuk membiayai pembangunan rumah rakyat. Sebagai gambaran, dari seluruh dana yang dihimpun Bank Tabungan Negara (BTN) pada situasi tahun 1987, untuk kredit perumahan rakyat hanya sekitar 25 persen yang berasal dari dana tabungan masyarakat. Padahal, idealnya, dana dari masyarakatlah yang seharusnya menjadi komponen pembiayaan yang utama.

Proporsi simpanan masyarakat untuk pembangunan perumahan pada periode 1988 justru lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Disebutkan bahwa pengerahan dana dari BTN hanya 16,1 persen dari total anggaran yang dibutuhkan.

Pernyataan Cosmas terkait minimnya nilai tabungan perumahan rakyat tertuang dalam artikel di Kompas edisi 27 Oktober 1987 yang berjudul ”Menpera: Galakkan Tabungan Masyarakat untuk Perumahan”. Hal tersebut menjadi penanda bahwa persoalan minimnya dana yang terkumpul dan sedikitnya kepersertaan tabungan perumahan rakyat kemungkinan akan menjadi tantangan yang sama hingga saat ini.

Program sejuta rumah

Meski masih dililit oleh masalah klasik, upaya pemerintah untuk menyediakan akses perumahan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah patut diapresiasi. Sejak program sejuta rumah diluncurkan pada 29 April 2015 di Jawa Tengah, telah didirikan sebanyak 9.206.379 rumah di beberapa wilayah di Indonesia yang sebagian besar ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Situasinya pada tahun 2015 terjadi kesenjangan antara kebutuhan rumah dan pasokan rumah atau backlog pada angka 11,4 juta rumah. Seiring berjalannya waktu dan bergulirnya program sejuta rumah, ada indikasi bahwa program tersebut berdampak positif pada backlog di Indonesia. Merujuk dari hasil Susenas 2023, diperkirakan terjadi backlog sejumlah 9,9 juta unit rumah. Angka tersebut menurun dibandingkan dengan pada 2015.

Agar pembangunan perumahan bagi rakyat tersebut lebih gencar lagi, memang dibutuhkan biaya yang salah satunya bersumber dari partisipasi masyarakat. Meski demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali skema yang mewajibkan potongan gaji bagi para pekerja di negeri ini.

Program yang menyasar pekerja dengan upah maksimal Rp 8 juta per bulan ini artinya akan memungut maksimal Rp 200.000 per bulan dari para buruh. Uang dengan nilai tersebut akan sangat berarti bagi masyarakat yang digolongkan dalam kelompok berpenghasilan rendah. Jangan sampai pungutan wajib tersebut membebani belanja masyarakat, dan harus mengorbankan alokasi anggaran yang dianggap lebih mendesak dibandingkan dengan membayar iuran perumahan. (LITBANG KOMPAS)