Pemerintah menegaskan, program kepesertaan wajib Tapera tidak akan diimplementasikan dalam waktu dekat.
Oleh A TERAS NARANG
Mengatasi masalah tanpa masalah. Jargon yang akrab di telinga publik ini perlu direfleksikan kembali oleh pemerintah dalam kebijakan publik terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang belakangan viral.
Kebijakan yang didasari pada upaya penyelesaian masalah kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah ini belakangan ramai ditentang. Berbagai pihak seperti serikat buruh hingga pemberi kerja pun resah dengan adanya kebijakan ini yang dikhawatirkan akan menimbulkan beban yang tak mudah.
Tapera lahir dari konsekuensi terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2024 tentang Perubahan atas PP No 25/2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Ini aturan turunan dari UU No 4/2016 tentang Tapera (UU Tapera).
UU Tapera merumuskan Tapera sebagai penyimpanan yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tapera, tujuannya adalah untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Selanjutnya dalam Pasal 7 disebut, setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit dari upah minimum wajib menjadi peserta. Namun, menariknya, pada Pasal 27 manfaat dari program ini ditujukan bagi peserta yang mempunyai masa kepesertaan paling singkat 12 bulan, berpenghasilan rendah, belum memiliki rumah, dan/atau menggunakannya untuk pembiayaan kepemilikan rumah, pembangunan rumah, atau perbaikan rumah pertama.
Menilik dari tiga pasal itu, sejatinya dapat dilihat bagaimana Tapera sebagai sebuah agenda telah problematis sejak kelahirannya. Sebab, program Tapera ditujukan bagi seluruh pekerja, termasuk pekerja mandiri yang tidak mengandalkan penghasilan pada pemberi kerja, tetapi di sini hanya kelompok pekerja tertentu yang menikmatinya.
Maka, ketika PP No 21/2024 sebagai aturan turunan UU Tapera menetapkan kewajiban 3 persen potongan gaji untuk disertakan di program ini, kebijakan ini pun kian problematis. Terlebih residu politik Pemilu 2024 masih terasa dan terbilang tinggi. Pemberitaan tentang tak amanahnya oknum pengelola program sosial asuransi seperti Asabri dan Jiwasraya juga masih lekat di benak publik.
Tapera sebagai sebuah kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah akhirnya diuji kembali secara publik. Dalam hal ini publik bisa mengenali dan melakukan kritik atas model kebijakan yang tengah/sedang diambil pemerintah.
Merujuk Salisbury dan Heinz dalam Sharkansky (1975), kebijakan publik dibagi dalam empat corak. Pertama, kebijakan distributif yang dilakukan untuk dapat memberikan hasil pada suatu kelompok atau lebih banyak kelompok. Kedua, kebijakan redistributif yang merupakan kebijakan membagi kembali, di mana hasil sebuah kebijakan diberikan ke satu atau beberapa kelompok, tetapi dengan mengorbankan yang lain.
Ketiga, kebijakan regulatory yang sifatnya pengaturan dengan pembatasan terhadap tindakan/perilaku satu atau lebih kelompok. Keempat, kebijakan self-regulatory yang diarahkan untuk mengatur diri sendiri dalam menentukan aturan terhadap satu/lebih kelompok.
Dengan adanya sisi problematis dari kebijakan Tapera yang diambil pemerintah, langkah evaluasi perlu segera dilakukan, terutama untuk menjawab problem kontradiksi antara kepesertaan, manfaat, dan penerima manfaat yang ada dalam rumusan UU Tapera itu. Jangan sampai, akibat kurangnya kebijaksanaan dari penyelenggara kebijakan publik, masyarakat lalu melihat corak kebijakan ini sebagai kebijakan redistributif yang justru mengorbankan kelompok masyarakat tertentu demi memenuhi kebutuhan masyarakat lain, dalam hal ini masyarakat berpenghasilan rendah.
Terlebih, masalah akses terhadap perumahan layak sebenarnya adalah juga masalah masyarakat berpenghasilan menengah, khususnya kalangan muda di kota besar seperti di Jabodetabek.
Ulasan jurnalisme data Kompas.id,”Kelas Menengah Mendamba Hunian Murah” (Februari 2024), mengungkap suara kalangan muda yang menilai skema kredit pemilikan rumah 35 tahun justru menambah persoalan. Sebab, skema yang digunakan untuk mengurangi backlog rumah ini dinilai memberi beban lama kepada debitur.
Indonesia bagaimanapun memang menghadapi persoalan terkait backlog atau kesenjangan kebutuhan dan realisasi pembangunan rumah untuk rakyat. Hingga saat ini, menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS 2023, angka backlog rumah masih terbilang tinggi, yakni 9,9 juta unit, meski turun dari tahun sebelumnya, 10,51 juta unit.
Tingginya backlog dan juga sulitnya mengatasi tantangan pembiayaan memang menjadi perhatian pemerintah yang dirumuskan lewat berbagai kebijakan. Kendati demikian, penetapan kebijakan sungguh perlu menimbang berbagai aspek, terlebih kesiapan dan manfaatnya bagi masyarakat itu sendiri.
Bagaimanapun kebijakan pemerintah perlu pertama-tama diarahkan untuk siapa sebagai penerima manfaatnya. Jangan sampai narasi kebijakan publik disampaikan demi sebesar-besarnya manfaat untuk rakyat, tetapi sebaliknya rakyat berpikir bahwa manfaatnya justru pada pembuat kebijakan. Jika penilaian demikian muncul, ketidakpercayaan publik bisa menjadi bumerang yang lebih membuat posisi pemerintah lebih problematis.
Untuk itu, disarankan kepada pemerintah untuk segera menangkap suara publik, memetakan dan mengelolanya, serta mengkaji dari berbagai perspektif. Jika perlu, UU Tapera segera dievaluasi ulang bersama DPR dan DPD, terutama di sisi problematis kepesertaan dan penerima manfaat yang bisa menimbulkan rasa ketidakadilan sosial bagi sebagian besar masyarakat kita.
Perlu dicatat, saat ini pekerja setidaknya dibebani beberapa potongan. Sebut saja PPh 21 yang merupakan Pajak Penghasilan dengan potongan 5-35 persen, sesuai penghasilan pekerja. Berikutnya, potongan 5 persen untuk BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua, dengan potongan 2 persen ditanggung pekerja. Juga BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun dengan potongan 1 persen ditanggung pekerja hingga Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang potongannya 0,24 persen dan 0,3 persen.
Khusus PNS/ASN dan TNI/Polri, pada 2021 sudah masuk dalam program Tapera. Semua ini tentu perlu dan harus dipertimbangkan dengan saksama. Pemimpin negara diharapkan punya sensitivitas dalam melihat suara publik, terutama di tengah masa transisi pemerintahan, agar dalam mengambil keputusan politik, tidak justru meninggalkan warisan beban pada masyarakat.
Kebijakan terkait Tapera ini dalam hemat saya memiliki tujuan yang baik, tetapi mekanisme dan pemilihan momentum tidak tepat dan tidak bijak. Terlebih situasi kebatinan masyarakat pasca-Pemilu 2024 masih belum sepenuhnya kondusif dan diwarnai pula oleh dinamika ekonomi yang meresahkan publik lewat pemberitaan soal kenaikan beberapa harga komoditas.
Untuk itu, pemerintah dan para pemimpin politik diharapkan untuk selalu mampu bersikap arif.
A Teras Narang Anggota DPD RI, Gubernur Kalimantan Tengah Periode 2005-2015, dan Mantan Ketua Komisi II DPR