Polemik mengenai pungutan Tapera hanyalah puncuk gunung es dari persoalan regulasi dan institusi yang begitu besar.

Oleh AGUSTINUS PRASETYANTOKO PENGAJAR UNIKA ATMA JAYA JAKARTA

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menimbulkan polemik cukup keras. Sebetulnya, kebijakan ini tak sepenuhnya baru. Sebelumnya telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 yang merupakan turunan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Penolakan terutama terkait pasal wajib pungut sebesar 3 persen mulai 2027, di mana 0,5 persennya dibebankan pada pemberi kerja dan selebihnya ditanggung pekerja. Serikat pekerja keberatan karena gaji bulanannya akan berkurang. Sementara, asosiasi pengusaha menolak pasal wajib karena akan menambah beban.

Selama ini pemberi kerja sudah membayar banyak tanggungan, seperti jaminan tenaga kerja, hari tua, kematian, kecelakaan kerja, kesehatan, hingga cadangan pesangon. Total aneka pungutan tersebut mencapai sekitar 18-20 persen dari anggaran upah. Angka ini lebih tinggi dibandingkan beberapa negara tetangga.

Pokok persoalannya, perekonomian kita membutuhkan penggalangan dana lebih besar guna memastikan target pembangunan tercapai, tanpa harus menambah utang dan membebani anggaran pemerintah.

Masalahnya, kebijakan ini seperti “berburu di kebun binatang” atau menambah beban sektor formal. Sementara, kualitas regulasi dan institusi tak mendukung pergeseran sektor informal menjadi formal.

Pendalaman sektor keuangan

Situasi ini dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas, sehingga bertentangan dengan peta jalan menuju negara maju. Dan karena itu, perlu mencari akar persoalannya dan melakukan pembenahan terstruktur dan sistematis guna menyelesaikannya.

Jika tidak, kita hanya akan berputar-putar. Sementara arah yang seharusnya dituju sudah jelas, yaitu menjadi negara maju pada Indonesia Emas 2045.

Untuk menjadi negara maju, tingkat pendapatan per kapita penduduk harus naik lebih dari 2 kali lipat dari 4.900 dollar Amerika Serikat (AS) per kapita per tahun pada 2023 menjadi sekitar 12.000 dollar AS.

Mimpi ini bisa tercapai jika pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun ke depan setidaknya 6-7 persen. Itulah mengapa Presiden terpilih Prabowo Subianto mencanangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan (harus) mencapai 8 persen pada 2027.

Pertanyaannya, bagaimana mendanai target pertumbuhan tinggi tersebut. Sementara, sumber keuangan negara terbatas. Pilihan penerbitan utang justru akan meningkatkan risiko.

Guna mendanai program makan siang bergizi (gratis) saja diperlukan biaya sebesar Rp 460 triliun per tahun. Belum lagi meneruskan warisan Presiden Jokowi, yakni menyelesaikan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) senilai Rp 480 triliun hingga 2045.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan hunian penduduk, kekurangan pasokan rumah terus bertambah setiap tahun. Pada 2023, kekurangan pasokan rumah mencapai sekitar 10 juta unit sehingga diperlukan percepatan pembangunan sektor perumahan di masa depan.

Begitu panjang daftar investasi (sosial) yang diperlukan guna menjadi negara maju. Sementara, kapasitas fiskal terbatas. Oleh sebab itu, pemerintah ke depan perlu melakukan dua hal, yaitu meningkatkan rasio pajak dan melakukan pendalaman sektor keuangan domestik.

Rasio pajak terhadap perekonomian 2024 ditargetkan mencapai 11 persen. Bandingkan dengan rerata negara maju, sekitar 30 persen. Rasio tabungan masyarakat terhadap produk domestik bruto (PDB) baru mencapai 35 persen. Di negara maju, angkanya sudah di atas 100 persen.

Secara lebih rinci, hingga 2022, rasio total aset perbankan terhadap perekonomian baru sekitar 60 persen. Adapun rasio pasar modal sebesar 48 persen, asuransi sebesar 6 persen, dan dana pensiun sebesar 7 persen.

Di Malaysia, rasio total aset perbankan hampir mencapai 200 persen, pasar modal sebesar 110 persen, asuransi sebesar 20 persen, dan dana pensiun sebesar 60 persen. Di Thailand, rasio perbankan mencapai 146 persen, pasar modal sebesar 120 persen, asuransi sebesar 23 persen, dan dana pensiun sebesar 7 persen.

Pasar modal tidak bisa mengandalkan investor individu, melainkan institusi, seperti Jamsostek, perusahaan asuransi, dan dana pensiun. BPJS Ketenagakerjaan yang pada triwulan I-2024 memiliki total dana kelolaan senilai Rp 726,39 triliun telah menjadi pelaku penting di pasar modal. Demikian pula dengan BPJS Kesehatan yang total asetnya mencapai Rp 68 triliun.

https://cdn-assetd.kompas.id/bbHnG6aPvcZ1W3lMMeW3nrW_5aw=/1024x1596/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F01%2F36bbe9d3-f54e-41c0-afff-16055310877c_jpg.jpg

Jika program Tapera berjalan, maka akan ada penggalangan dana cukup besar yang mampu mendorong pendalaman pasar keuangan di Indonesia. Secara makro-finansial, ini sangat positif karena akan menambah likuiditas sektor keuangan. Namun secara mikro-prudensial, beberapa hal perlu diperhatikan, seperti tata kelola dan manajemen risiko pengelolaan aset.

Dalam kaitannya dengan target pembangunan sektor perumahan, masalah pendanaan hanya satu aspek saja. Kompleksitas persoalannya lebih banyak dari aspek lain, seperti penyediaan tanah, perijinan, dan aspek non-teknis lainnya. Jika mafia tanah yang melibatkan banyak oknum di Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional tidak disentuh, target pembangunan perumahan sulit dicapai.

Cerita serupa terjadi dalam setiap program strategis nasional, mulai pembangunan infrastruktur, IKN, hingga makan siang gratis. Diperlukan pengelolaan dengan kualitas tata kelola yang memadai, agar cerita mengenai kasus di PT Waskita Karya, Asabri, Jiwasraya, Taspen dan lainnya tidak terulang di masa depan.

Studi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengenai Diagnosis Pertumbuhan Indonesia menjelaskan mengapa inovasi dan investasi produktif kita rendah. Akar masalahnya adalah rendahnya kualitas regulasi dan institusi.

Para investor besar (asing) sering mengeluh gonta-gantinya peraturan yang menyulitkan perencanaan jangka panjang. Sementara para pelaku usaha mikro dan kecil menghindari menjadi formal.

Pertimbangannya, sekali menjadi formal, usaha akan banyak dibebani pungutan resmi. Pada saat yang sama, pungutan tidak resmi jalan terus. Lagi pula, tidak ada jaminan usahanya bisa berkembang dengan baik, karena aturan yang tumpang tindih dan cenderung menghambat.

Itulah mengapa dominasi sektor usaha mikro dan kecil begitu besar. Sementara unit usaha menengah hanya segelintir saja. Fenomena ini sering disebut sebagai missing middle atau hilangnya lapisan usaha kelompok menengah. Padahal, salah satu ciri negara maju adalah kuatnya sektor menengah ini.

Polemik mengenai pungutan Tapera hanyalah pucuk gunung es dari persoalan regulasi dan institusi yang begitu besar. Tanpa transformasi regulasi dan institusi dalam skala besar dan menyeluruh, negara maju 2045 hanyalah mimpi belaka.