Kesimpangsiuran muncul terkait penerapan program Tabungan Perumahan Rakyat.

Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI

JAKARTA, KOMPAS — Penolakan publik terkait kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera terus bergulir. Menyikapi ini, pemerintah belum memberikan ketegasan bakal melanjutkan atau menunda pemberlakuan ketentuan yang akan memotong 3 persen dari gaji atau penghasilan pekerja.

Di tengah polemik publik terkait pelaksanaan Tapera, sinyal penundaan iuran Tapera muncul ketika Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyampaikan bahwa pelaksanaan Tapera tidak harus tergesa-gesa.

”Menurut saya pribadi, kalau ini memang belum siap, kenapa kita harus tergesa-gesa,” ujarnya saat ditemui wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Kamis pekan ini.

Komite Tapera saat ini diketuai Menteri PUPR serta beranggotakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Frederica Widyasari Dewi, dan satu profesional sebagai anggota. Meski demikian, penundaan iuran Tapera mensyaratkan perubahan regulasi Tapera. Produk Undang-Undang Tapera merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan PP Tapera disusun oleh lintas kementerian.

”Kalau misalkan ada usulan DPR, Ketua MPR, untuk diundur, menurut saya, saya sudah kontak Bu Menteri Keuangan juga, kita (pemerintah) akan ikut,” lanjut Basuki.

Ketentuan Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Regulasi itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Dalam PP Tapera, pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya kepada Badan Pengelola Tapera paling lambat tahun 2027 atau tujuh tahun sejak aturan itu berlaku. Pekerja dalam hal ini mencakup karyawan perusahaan dan pekerja mandiri. Batasannya adalah mereka yang gaji atau penghasilannya senilai minimal upah minimum.

Untuk karyawan perusahaan, simpanan Tapera ditanggung bersama oleh karyawan dan perusahaan, masing-masing dipotong 2,5 persen dan 0,5 persen dari gaji karyawan. Sementara untuk pekerja mandiri, potongan 3 persen sepenuhnya ditanggung pekerja yang bersangkutan. Potongan itu bersifat wajib dan dikelola oleh Badan Pengelola (BP) Tapera.

Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, saat dihubungi, Minggu (9/6/2024), mengemukakan, pihaknya akan mengikuti arahan Komite Tapera yang merupakan organ tertinggi di struktur BP Tapera dan berfungsi untuk pengawasan dan pembinaan BP Tapera. Sejak Bapertarum dilikuidasi dan dialihkan tugasnya ke BP Tapera pada tahun 2020, hingga kini belum ada potongan simpanan baru untuk kepesertaan aparatur sipil negara.

”Kami tentu akan selalu mengikuti arahan dan masukan Komite Tapera. BP Tapera akan tetap fokus untuk meningkatkan kualitas tata kelola untuk membangun kepercayaan publik,” ujar Heru.

Mengacu pada PP Nomor 21 Tahun 2024, regulasi kepesertaan Tapera untuk pekerja yang menerima upah bersumber dari APBN/APBD akan diatur oleh Menteri Keuangan dengan berkoordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sementara itu, kepesertaan Tapera untuk pekerja/buruh BUMN/BUMD/BUMDes dan pekerja swasta akan diatur oleh Menteri Ketenagakerjaan. Adapun BP Tapera menyusun peraturan untuk kepesertaan pekerja mandiri.

Program serupa

Pembiayaan rumah untuk peserta Tapera diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan maksimal Rp 8 juta per bulan. Kredit pemilikan rumah (KPR) Tapera saat ini memiliki suku bunga tetap (fixed rate) 5 persen per tahun serta jangka waktu pinjaman hingga 30 tahun.

Sementara itu, peserta Tapera yang tergolong nonmasyarakat berpenghasilan rendah atau sudah memiliki rumah bisa mendapat akses pembiayaan renovasi rumah atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Skema KPR Tapera itu serupa dengan program subsidi perumahan berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) yang digulirkan pemerintah melalui KPR-FLPP. KPR-FLPP yang diperuntukkan bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah selama ini memberikan fasilitas suku bunga tetap sebesar 5 persen per tahun dengan jangka waktu pinjaman hingga 20 tahun.

Menurut Basuki, APBN yang digelontorkan negara untuk FLPP selama 10 tahun mencapai Rp 105 triliun untuk subsidi bunga KPR. Sementara dana Tapera jika dihimpun selama 10 tahun kemungkinan akan terkumpul sekitar Rp 50 triliun.

https://cdn-assetd.kompas.id/nuh2wjqTiKYkbzOWP7mMxYhfFSo=/1024x997/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F25%2F30c2a7e6-306c-46e7-968d-ed957b343b5f_png.png

Selain FLPP, skema pembiayaan perumahan juga telah dimiliki BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja terkena pemotongan gaji/upah, antara lain untuk mengikuti program jaminan sosial ketenagakerjaan. Program itu mencakup jaminan hari tua sebesar 3,7 persen, jaminan kematian 0,3 persen, jaminan kecelakaan kerja 0,24-1,74 persen, dan jaminan pensiun 2 persen.

Berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, aset dana jaminan hari tua bisa dimanfaatkan untuk program manfaat layanan tambahan perumahan pekerja. Program itu mencakup KPR senilai maksimal Rp 500 juta, pinjaman uang muka perumahan sampai dengan Rp 150 juta, pinjaman renovasi perumahan hingga Rp 200 juta, dan fasilitas kredit konstruksi.

Salah satu jalan tengah pendanaan adalah mengalihkan sebagian dana jaminan hari tua BPJS Ketenagakerjaan untuk program layanan tambahan perumahan pekerja untuk dikelola ke dalam BP Tapera. Dengan demikian, masyarakat yang sudah mengiur untuk program jaminan hari tua tidak perlu lagi terkena tambahan pemotongan upah/gaji untuk iuran Tapera.

Persoalan perumahan belum mampu teratasi menjelang 79 tahun kemerdekaan Indonesia. Kekurangan rumah di Indonesia berkisar 12,7 juta unit. Dengan kata lain, sebanyak 12,7 juta keluarga di Indonesia belum memiliki rumah. Sementara itu, seiring pertumbuhan keluarga baru, laju kekurangan rumah cenderung bertambah 600.000-800.000 unit per tahun.

Harga tak terkendali

Head of Research Rumah123, Marisa Jaya, menilai, masyarakat mencari hunian dengan melihat banyak aspek, mulai dari lokasi yang terjangkau dengan tempatnya bekerja, harga atau skema pembiayaan, keberadaan fasilitas dan infrastruktur publik yang memadai, hingga pertimbangan lain.

Ia menilai, program Tapera memiliki tujuan positif karena memberikan masyarakat akses pembiayaan yang lebih mudah dan ringan dengan bunga flat 5 persen dengan tenor panjang hingga 30 tahun. Sementara KPR-FLPP berlaku untuk tenor 20 tahun.

Meski demikian, implementasi rencana kebijakan Tapera diharapkan bisa mengedepankan prinsip kehatian-hatian dengan melihat lebih jauh berbagai masukan, pertimbangan, ataupun rekomendasi berbagai pihak/pemangku kepentingan dalam pelaksanaannya. ”Ini untuk memastikan program ini bisa benar-benar membawa dampak baik bagi masyarakat,” kata Marisa dalam keterangan tertulis, Minggu (9/6/2024).

Sebelumnya, Co-Founder Finansia Consulting, Eko Endarto, mengingatkan, laju kenaikan harga rumah jauh melampaui kenaikan gaji pekerja. Peserta Tapera yang menunggu giliran untuk mendapatkan akses KPR Tapera akan terkena kenaikan harga rumah yang semakin tinggi. Dengan jumlah nilai yang dipotong dari gaji, kenaikan gaji, dan kenaikan harga rumah, masyarakat berpenghasilan rendah tetap akan kesulitan menjangkau rumah.

”Kenaikan harga rumah jauh melebihi kenaikan gaji. Secara fungsi, Tapera akan sulit menjamin bisa dapat rumah, kecuali lokasi rumah jauh sekali atau ada subsidi besar dari pemerintah,” ujar Eko.

Dengan asumsi nilai rumah Rp 300 juta, skema pembiayaan KPR Tapera itu hanya bisa dijangkau masyarakat berpenghasilan Rp 8 juta. Sementara kelompok masyarakat berpenghasilan rendah di bawah Rp 8 juta per bulan dengan kemampuan cicilan KPR yang lebih rendah bakal kesulitan membayar uang muka rumah, di samping beban pengeluaran semakin besar karena wajib membayar iuran Tapera.