Kewajiban kepesertaan Tapera diberlakukan paling lambat 2027. Masalah transparansi dana simpanan menuai polemik.
Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI
JAKARTA, KOMPAS — Kepesertaan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera untuk pembiayaan perumahan secara gotong royong diwajibkan paling lambat 2027. Seluruh pekerja atau karyawan dengan penghasilan di atas upah minimum wajib terdaftar sebagai peserta Tapera dan menyisihkan penghasilan guna membantu masyarakat berpenghasilan rendah dalam memiliki rumah.
Ketentuan Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Regulasi ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, mengemukakan, BP Tapera memiliki peran menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang untuk pembiayaan perumahan bagi peserta Tapera, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Adapun kategori masyarakat berpenghasilan rendah, yakni berpenghasilan maksimal Rp 8 juta per bulan.
Besaran simpanan peserta, yakni sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk pekerja mandiri. Besaran simpanan untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.
”Tapera sifatnya wajib. Kami hanya melaksanakan Undang-Undang Tapera. Pelaksanaan Tapera menerapkan konsep gotong royong, yakni segmen pekerja yang berpenghasilan di atas upah minimum dan sudah memiliki rumah untuk bisa menabung dan membantu pegawai lain yang belum memiliki rumah,” ujarnya, saat dihubungi, Selasa (28/5/2024).
Heru mengemukakan, pemberlakuan kewajiban kepesertaan Tapera kini menunggu regulasi teknis. Saat ini kepesertaan Tapera masih sebatas pegawai negeri sipil, yang merupakan peralihan dari keanggotaan Bapertarum. Jumlah aparatur sipil negara itu sebanyak 4,1 juta orang, meliputi 900.000 ASN tingkat pusat dan 3,3 juta ASN tingkat daerah.
Kebijakan kewajiban Tapera bagi pekerja sempat viral di media sosial dua hari terakhir. Kekhawatiran muncul terkait transparanasi pengelolaan dana, serta pencairan dana saat berakhirnya masa kepesertaan.
Alina, karyawati swasta di Jakarta, mengemukakan, langkah pemerintah mewajibkan kepesertaan Tapera dinilai sebagai paksaan bagi warga negara. Di tengah penurunan daya beli masyarakat, iuran simpanan Tapera akan menambah beban biaya hidup. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa dana besar yang dihimpun dari masyarakat itu tidak mampu dikelola secara transparan.
”Terlalu banyak beban potongan (gaji), sedangkan beban hidup masyarakat semakin berat dengan biaya bahan pokok dan pengeluaran yang semakin tinggi. Sejauh mana pemerintah bisa menjamin transparansi penggunaan dana masyarakat?,” ujarnya, saat dihubungi terpisah, Selasa.
Alina menambahkan, sebagian besar masyarakat yang sudah memiliki rumah pun mengandalkan pembiayaan rumah dengan KPR. Jika cicilan KPR masih ditambah dengan iuran Tapera, beban pengeluaran semakin besar. Ia menilai, pemerintah perlu mengkaji sejauh mana kelayakan penerapan Tapera. Jika membebani masyarakat, sebaiknya ketentuan itu dibatalkan.
Terkait polemik yang muncul di masyarakat dan pelaku usaha terkait Tapera yang menambah beban pengeluaran, Heru menambahkan, prinsip iuran untuk simpanan Tapera perlu dimaknai upaya untuk kesejahteraan pegawai. Bagi pelaku usaha, hal ini memberikan keuntungan untuk lebih menyejahterakan pegawai, yakni dengan memiliki rumah lewat pembiayaan lebih terjangkau.
Adapun soal beban masyarakat yang masih memiliki kredit atau cicilan KPR tetapi tetap dipotong kewajiban simpanan Tapera, pihaknya menyatakan belum bisa berkomentar dan akan didiskusikan dengan pihak berwenang. Di sisi lain, pihaknya terus melakukan kajian agar prinsip menabung itu dikembangkan dengan keuntungan-keuntungan yang lebih besar.
Mengacu pada PP Nomor 21 Tahun 2024, regulasi Tapera untuk pekerja yang menerima upah yang bersumber dari APBN/APBD akan diatur oleh Menteri Keuangan berkoordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Adapun kepesertaan Tapera untuk pekerja/buruh BUMN/BUMD/BUMDes dan pekerja swasta akan diatur oleh Menteri Tenaga Kerja. Sedangkan BP Tapera menyusun peraturan untuk kepesertaan pekerja mandiri. ”Secara paralel akan dilakukan pembahasan aturan oleh kementerian terkait,” ujar Heru.
Saat ini, peserta Tapera memiliki akses pembiayaan rumah dengan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) 5 persen per tahun dengan jangka waktu pinjaman 20 tahun. Ke depan, pihaknya mengkaji besaran suku bunga pembiayaan perumahan oleh Tapera di bawah tingkat suku bunga komersial.
Proses pengelolaan Tapera dilakukan melalui simpanan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Kepesertaan Tapera berakhir, antara lain, saat pegawai pensiun, berusia di atas 58 tahun, mengalami pemutusan hubungan kerja, mengundurkan diri, atau meninggal dunia.
Ia menambahkan, pengelolaan dan pemupukan dana Tapera akan dialokasikan, antara lain, melalui obligasi negara dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. ”Simpanan akan menjadi tabungan yang nantinya akan dikembalikan ke peserta beserta keuntungan hasil pemupukannya (dana),” kata Heru.
Heru menambahkan, PP Nomor 21 Tahun 2024 merupakan upaya menyempurnakan PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang kewajiban kepesertaan, khususnya Tapera untuk pekerja mandiri yang dalam ketentuan sebelumnya belum diatur. Selain itu, regulasi teknis diharapkan dapat diterbitkan agar BP Tapera dapat mulai menghimpun dana dari ASN. Selama ini, pembiayaan perumahan dari BP Tapera mengandalkan sisa dana Bapertarum PNS.