Perbincangan tentang Tapera mengingatkan kembali perihal krisis hunian di Indonesia.
Oleh DEBORA LAKSMI INDRASWARI
Tingginya kebutuhan hunian masyarakat belum sepadan dengan penyediaan pasokan rumah tinggal. Akibatnya, harga rumah atau properti meningkat relatif signifikan dalam waktu singkat. Di sisi lainnya, daya beli masyarakat terhadap hunian sangat terbatas karena tidak diimbangi dengan kenaikan tingkat penghasilan yang memadai.
Ramainya perbincangan tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mengingatkan kembali pada kenyataan bahwa Indonesia masih berada dalam kungkungan krisis hunian. Keluhan masyarakat karena sulitnya membeli rumah tidak terhitung lagi. Penyebabnya beragam, mulai dari sulitnya menemukan lokasi tempat tinggal yang layak hingga harga rumah yang kian melonjak. Jika diusut, salah satu faktor pemicunya adalah tidak seimbangnya ketersediaan lahan serta jumlah perumahan dengan kebutuhan akan hunian.
Menurut data Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, angka backlog di Indonesia tahun ini sebesar 9,9 juta unit. Angka itu memang jauh lebih rendah dibandingkan dengan 14 tahun lalu. Waktu itu, menurut data Kementerian Perumahan Rakyat, kekurangan rumah rakyat di Indonesia mencapai 13,6 juta unit. Akan tetapi, penurunan itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1998. Kompas mencatat pada tahun itu angka backlog sebesar 5,3 juta unit.
Baca juga: Tapera dan Pembenahan Institusi
Jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga di Indonesia sekitar 70 juta kepala keluarga, angka backlog itu memanglah tidak seberapa. Namun, karena rumah adalah salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan, sudah seharusnya negara menjamin ketersediaannya. Berapa pun jumlah backlog tidak dapat disepelekan.
Bagaimanapun juga angka backlog itu menunjukkan krisis hunian yang nyata dialami masyarakat. Bagi kelompok masyarakat bawah, rasanya sangat sulit untuk memiliki hunian pribadi. Bagi kelompok masyarakat menengah, biaya yang dibutuhkan untuk membeli rumah yang diinginkan dan dibutuhkan tidak sedikit sehingga banyak yang harus mencicil hingga bertahun-tahun.
Saat ini baru ada 83,99 persen rumah tangga yang menempati hunian pribadi. Menariknya, ada perbedaan cukup kentara antara kepemilikan rumah sebagai tempat tinggal keluarga di perdesaan dan perkotaan. Menurut data hasil Susenas 2022, sebanyak 91,76 persen rumah tangga di perdesaan menempati rumah milik sendiri. Sementara di kota, persentasenya jauh lebih kecil, yaitu 78,31 persen.
Perbedaan itu dipengaruhi ketersediaan lahan dan kondisi demografi dua wilayah itu. Di perdesaan, lahan yang tersedia masih lebih luas dan kebutuhan terhadap perumahan juga tidak setinggi di kota. Selain itu, masyarakat di desa biasanya juga menempati rumah secara turun-temurun dan membangun rumah di lahan yang diberikan leluhurnya. Hal ini memudahkan mereka untuk memiliki tempat tinggal pribadi.
Sementara di perkotaan, migrasi dari desa ke kota mendorong kebutuhan terhadap rumah tinggal melonjak drastis. Di sisi lain, lahan yang tersedia terbatas sehingga mendorong apresiasi harga tanah dan properti terus meningkat setiap saat. Permintaan tinggi, tetapi daya beli relatif terbatas sehingga mendorong sebagian masyarakat menyewa tempat tinggal untuk sementara.
Fenomena tersebut sangat kentara di kota-kota besar, misalnya di Jakarta. Menurut data Cushman & Wakefield, perusahaan jasa perdagangan real estat, rata-rata harga tanah di Jakarta pada semester I-2023 sebesar Rp 15,67 juta per meter persegi. Rata-rata harga tanah meningkat Rp 300.000-Rp 400.000 setiap tahun. Dengan kondisi ini, sangat sulit membeli rumah di Jakarta dengan harga kurang dari Rp 500 juta saat ini. Warga yang berencana membeli rumah terpaksa harus memilih lokasi hunian di pinggiran Jakarta.
Meskipun cukup sulit membeli rumah, tetap saja hunian pribadi masih menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia yang ingin untuk dipenuhi. Data Susenas 2022 juga mengungkapkan dua dari 10 rumah tangga berencana membeli atau membangun rumah sendiri. Mereka yang berencana membeli rumah mencakup sejumlah masyarakat, baik yang belum memiliki hunian maupun yang sudah memiliki rumah.
Hanya saja, sebagian besar rencana tersebut belum akan direalisasikan dalam waktu dekat. Mayoritas rumah tangga yang berencana membeli rumah belum tahu kapan akan membeli atau membangun rumah. Empat dari 10 rumah tangga sudah menentukan akan berencana membeli atau membangun rumah rumah lebih dari setahun atau beberapa tahun kemudian. Hanya 7,5 persen rumah tangga yang berencana membeli atau membangun rumah dalam setahun ke depan.
Dari rumah tangga yang berencana membeli dan membangun rumah, sebagian besar sudah mencicil upaya untuk mewujudkan rencana itu. Mayoritas sudah menabung demi merealisasikan impian. Ada pula yang sudah memiliki tanah untuk dibangun dan menyediakan bahan bangunan secara bertahap.
Tingginya angka backlog dan banyaknya rumah tangga yang berencana membeli atau membangun rumah secara tidak langsung menggambarkan tingginya permintaan akan hunian. Situasi ini bisa bertambah kompleks mengingat masih maraknya fenomena urbanisasi dan pertumbuhan jumlah penduduk. Tingginya laju urbanisasi itu akan menambah panjang permasalahan mahalnya harga lahan dan terbatasnya jumlah kebutuhan rumah tinggal.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kompleks perumahan bersubsidi yang baru selesai dibangun di kawasan Cibentang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (31/5/2024). Sejak program sejuta rumah diluncurkan pada 29 April 2015, hingga kini telah didirikan 9.206.379 rumah di beberapa wilayah di Indonesia yang sebagian besar ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Asumsinya, semakin banyaknya penduduk, semakin banyak pula kebutuhan akan hunian. Menurut tulisan pengamat properti Panangian Simanungkalit dalam Kompas (25/8/2023), laju pertumbuhan keluarga baru yang membutuhkan rumah berkisar 700.000-800.000 keluarga per tahun. Masalahnya laju pertumbuhan kebutuhan perumahan itu belum dapat diikuti dengan penyediaan perumahan dari pemerintah. Kemampuan membangun rumah setiap tahun hanya 220.000-240.000 unit.
Dengan kondisi ini, beban masyarakat yang berencana membeli dan membangun rumah juga terkendala pasokan hunian yang terbatas. Hal ini membuat krisis hunian seakan-akan tanpa ujung yang jelas. Pemerintah dengan segala kebijakan dan program yang dikeluarkan, mulai dari Program Sejuta Rumah, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, hingga Tapera, diharapkan dapat mengurangi peliknya problem laten itu. (LITBANG KOMPAS)