Tapera bikin heboh masyarakat. Pekerja dan pengusaha kompak menolak program itu.
Oleh FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Pertanyaan sebagaimana terumuskan dalam judul di atas muncul dari seorang rekan wartawan yang mengikuti secara intens pembentukan dan kelahiran undang-undang yang mengatur soal Tapera sampai perkembangan program selama periode 2014-2020. Kasus Taspen, Asabri, dan Jiwasraya menjadi referensi yang tidak bisa ”ditenggelamkan” begitu saja.
Dalam dua hari terakhir, program Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat menjadi topik hangat di masyarakat. Warganet ramai membicarakannya. Di platform X, misalnya, Tapera menjadi salah satu topik paling tren. Berbagai media massa tak ketinggalan menjadikannya salah satu topik utama.
PP Nomor 21 Tahun 2024 merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Peraturan pelaksana itu sebenarnya diteken Presiden per 20 Mei 2024. Namun, informasinya baru beredar di masyarakat pada Senin (29/5/2024). Selanjutnya, Tapera menjadi salah satu topik hangat di masyarakat.
Hal yang menghebohkan masyarakat adalah bahwa skema itu mewajibkan iuran atau potongan sebesar 3 persen dari gaji atau penghasilan pekerja. Pekerja dalam hal ini mencakup karyawan perusahaan dan pekerja mandiri. Batasannya adalah mereka yang gaji atau penghasilannya senilai minimal upah minimum.
Untuk karyawan perusahaan, potongan ditanggung bersama oleh karyawan dan perusahaan, masing-masing sebesar 2,5 persen dan 0,5 persen dari gaji karyawan. Sementara untuk pekerja mandiri, potongan 3 persen sepenuhnya ditanggung pekerja yang bersangkutan.
Sekalipun potongan itu dihitung sebagai investasi, potongan itu bersifat wajib, bukan pilihan. Sementara di mana-mana, investasi itu pilihan. Mau investasi boleh, tidak juga boleh. Instrumennya pun bebas, sepenuhnya pilihan orang per orang.
Merujuk dasar hukumnya, Tapera memiliki tujuan normatif yang baik. Program pemerintah itu bermaksud menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan layak dan terjangkau bagi peserta.
Tapera berangkat dari persoalan besar bangsa Indonesia, yakni rendah atau bahkan nihilnya akses pemilikan perumahan layak oleh jutaan keluarga. Pada 2015, backlog perumahan atau kekurangan jumlah perumahan antara kebutuhan dan pasokan mencapai 7,6 juta unit. Pada 2023, mengacu data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2023, kekurangannya melonjak menjadi 12,7 juta unit.
Catatan Kompas menyebutkan, kebutuhan perumahan baru dengan munculnya keluarga muda rata-rata 600.000-800.000 unit per tahun. Sementara pasokannya rata-rata 400.000-500.000 unit per tahun. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan perumahan akan semakin membengkak pula.
Dengan kata lain, ada mismatch. Dan, mismatch ini berisiko untuk terus melebar seiring bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Apalagi jika tak ada terobosan untuk menyediakan akses pemilikan rumah bagi masyarakat menengah-bawah dalam jumlah yang seimbang dengan kebutuhan, mismatch hanya akan konsisten melebar setiap tahun.
Sensus Penduduk 2020 memproyeksikan, jumlah penduduk Indonesia akan terus bertambah sampai dengan 2050. Pada 2022, jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 juta orang. Pada skenario tren yang ada saat ini, jumlah penduduk Indonesia bertambah menjadi 308,37 juta orang pada 2035 dan 328,93 juta orang pada 2050.
Pada skenario optimistis, jumlah penduduk mencapai 309,63 juta orang pada 2035 dan 337,99 juta orang pada 2050. Pada skenario moderat, jumlah penduduk mencapai 309,22 juta orang pada 2035 dan 333,57 juta orang pada 2050.
Seiring tren pertambahan jumlah penduduk tersebut, kebutuhan perumahan di kawasan perkotaan akan semakin banyak. Berdasarkan Statistik Perumahan dan Permukiman 2022, tingkat urbanisasi yang makin tinggi akan meningkatkan kebutuhan hunian layak di perkotaan.
Persentase penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan diperkirakan akan meningkat dan mencapai 66,60 persen pada 2035. Artinya, lebih dari separuh penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan (Badan Pusat Statistik, 2020).
Pada 2022, masih merujuk Statistik Perumahan dan Permukiman 2022, hampir 10 persen penduduk di perdesaan tidak tinggal di rumah sendiri. Di perkotaan, angka lebih besar, yakni 22 persen.
Sekitar satu dari sepuluh rumah tangga pada status ekonomi tertinggi (kuintil 5) memperoleh rumah dengan cara membeli dari pengembang. Sementara hanya 0,40 persen rumah tangga pada status ekonomi terendah (kuintil 1) yang memperoleh rumah dengan cara membeli dari pengembang.
Hal ini, masih mengutip laporan Statistik Perumahan dan Permukiman 2022, sejalan dengan penemuan Noverita (2017) dalam penelitiannya yang menyebutkan, rumah-rumah yang disediakan oleh pengembang ataupun pemerintah melalui Perusahaan Umum Pembangunan Nasional (Perumnas) hanya dapat diakses oleh mereka yang berpenghasilan tinggi dan tetap.
Pola serupa ditunjukkan pada rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri dengan cara membeli dari bukan pengembang.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana pemerintah bersama dengan seluruh pemangku kepentingan memenuhi kekurangan jumlah pasokan rumah dengan harga terjangkau yang berpotensi terus menggelembung itu. Khusus pemerintah yang memiliki banyak instrumen, apa ikhtiarnya?
Pemerintah selama ini telah berupaya memenuhi kebutuhan dasar warganya tersebut dengan dua pendekatan sekaligus, aspek pasokan dan permintaan. Pada aspek pasokan, pemerintah, misalnya, berusaha mempermudah perizinan dan memberikan insentif pembangunan perumahan kepada industri.
Dari sisi permintaan, pemerintah melalui sejumlah skema berusaha membuka akses masyarakat untuk membeli rumah.
Sejauh ini, ikhtiar yang telah dilakukan belum cukup. Terbukti backlog mencapai jutaan unit dan berisiko kian menggelembung. Tapera adalah ikhtiar terbaru yang diharapkan menambah skema-skema yang sudah ada selama ini, seperti subsidi bunga kredit pemilikan rumah.
Tantangan awal program Tapera adalah rendahnya kepercayaan masyarakat. Konsep menghimpun dana masyarakat oleh badan bentukan pemerintah memiliki catatan buruk di benak masyarakat.
Kasus penyelewengan dana peserta di PT Asuransi Jiwasraya (Persero), PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan PT Taspen atau Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri tidak bisa tidak pasti menjadi referensi masyarakat.
Kompas mencatat, kasus korupsi dana asuransi Jiwasraya pada 2008-2018 menyebabkan kerugian negara senilai Rp 16,8 triliun. Klaim nasabah tak terbayar. Solusinya restrukturisasi.
Pada PT Tapsen, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyidik kasus dugaan investasi fiktif senilai Rp 1 triliun pada 2019 dengan melibatkan perusahaan lainnya. Sejauh ini, KPK telah menetapkan dua unsur pimpinan sebagai tersangka dalam kasus yang merugikan negara senilai raturan miliar rupiah itu.
Sementara pada PT Asabri, kasus korupsi pengelolaan dana pensiun pada 2012-2019 menyebabkan kerugian negara senilai Rp 22,8 triliun. Pada tiga kasus ini, ujung-ujungnya, peserta dirugikan.
Belakangan, muncul kasus penyelewengan dana pensiun di BUMN. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir pada konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/10/2023), mengatakan, 34 dari 48 dana pensiun di bawah payung BUMN berstatus tidak sehat.
”Dari hasil audit dengan tujuan tertentu, ada kerugian mencapai Rp 300 miliar. Ini belum menyeluruh dibuka BPKP. Artinya, angkanya bisa lebih besar lagi,” ujar Erick.
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh mengatakan, temuan kerugian pengelolaan dana pensiun di BUMN senilai Rp 300 miliar itu baru dari hasil audit sampel transaksi investasi empat dana pensiun BUMN. Cakupan auditnya pun baru 10 persen dari total transaksi investasi senilai Rp 1,13 triliun.
Penyelewengan terindikasi pada audit terhadap dua dari empat dana pensiun BUMN. ”Kami menemukan transaksi-transaksi investasi ini, beberapa di antaranya dilakukan tanpa memperhatikan prinsip tata kelola yang baik,” katanya.
Berdasarkan data OJK pada 2022, total aset dana pensiun BUMN mencapai Rp 126 triliun. Untuk program manfaat pasti, rata-rata rasio kecukupan dana (RKD) dari dana pensiun milik BUMN di kisaran 93 persen, di bawah batas RKD 100 persen.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, pada rapat dengan Komisi VI DPR, Juni 2023, memaparkan, terdapat belasan entitas dana pensiun BUMN dengan imbal hasil investasi hanya 2 persen per tahun. Artinya, imbal hasil itu jauh di bawah imbal hasil surat berharga negara (SBN) yang mencapai 6 persen per tahun.
Kasus di PT Asabri, PT Jiwasraya, PT Taspen, dan dana pensiun BUMN, menunjukkan, dana peserta rawan diselewengkan. Kebetulan pengelolanya adalah lembaga-lembaga di lingkaran pengaruh pemerintah.
Dan kebetulan pula, Tapera ini adalah amanat undang-undang yang lembaga pengelolanya di lingkaran pengaruh pemerintah. Apakah program Tapera akan berakhir sama dengan empat kasus penyelewengan di atas? Belum tentu, tapi risiko itu tetap saja terbuka.
Tantangan lain yang tak kalah serius adalah skema Tapera yang dianggap memberatkan para pemangku kepentingan utama, yakni pekerja dan perusahaan. Serikat pekerja dan pekerja di sejumlah daerah menyatakan menolak Tapera. Mereka keberatan karena program itu memberatkan.
Potongan 2,5 persen dari gaji akan semakin menyisakan sedikit uang di kantong pekerja setiap bulan. Padahal, selama ini gaji pekerja sudah dipotong untuk iuran jaminan sosial kesehatan (1 persen), jaminan hari tua (2 persen), jaminan pensiun (1 persen), Pajak Penghasilan (5 persen dari pendapatan tidak kena pajak), dan potongan koperasi (variatif).
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani pada siaran pers, Selasa (28/5/2024), menyatakan, sejak UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera berlaku, Apindo dengan tegas keberatan.
Apindo bahkan telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, hingga berkirim surat kepada presiden. Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran, baik dari sisi pelaku usaha maupun pekerja/buruh.
”Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali berlakunya PP Nomor 21 Tahun 2024. Sebab, ini akan menambah beban bagi pekerja (2,5 persen) dan pemberi kerja (0,5 persen) dari gaji,” ujarnya.
Saat ini, menurut Shinta, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24 -19,74 persen dari gaji pekerja. Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
Akhirnya kembali ke pertanyaan awal. Serius mau Tapera, setelah kasus Taspen, Asabri, dan Jiwasraya?